Aku dan Riana terbelalak, ajaib. Rumah Bu Asih kembali terang. "Tapi Bu, tad—"
"Kenapa?" Bu asih memotong ucapan Riana. Tatapannya menusuk dan dipertajam oleh seringainya.
Aku tak tahu harus menjelaskan apa lagi tentang keanehan itu. Aku cepat-cepat membuang tatapan darinya, sejatinya jika semuanya normal-normal saja, tak ada yang harus ditakutkan dari sosok Bu Asih.
Beliau bisa dibilang satu dari beberapa perempuan paling menarik di desa, usianya mungkin 40-an, tapi masih terlihat muda, segar, kulitnya bersih bak ibu-ibu kota yang melek perawatan. Rambutnya selalu digelung dan memakai kebaya tradisional.
Meskipun tanpa riasan hari-harinya selalu sedap dipandang. Kali pertama bertemu dengannya, aku dan Riana cukup terkejut ada wanita secantik itu di desa terpencil. Namun, berkebalikan dengan suaminya yang terlihat lebih tua, jambang dan kumis mendominasi area wajahnya, terkesan tidak bisa merawat diri.
Mereka hanya tinggal berdua tanpa kehadiran anak, dari kabar yang kudapat Bu Asih sudah pernah tiga kali melahirkan. Tapi saat menginjak usia dua bulan, bayi-bayinya meninggal. Makam ketiga bayi itu terletak tepat di belakang kamarku dan Riana. Aku pernah melihat di atas pusara anak-anaknya ditaruh segelas kopi hitam dan tembakau yang dilinting sejenis daun kering.
Anehnya ketika keesokan paginya, kopi dan tembakau itu habis seakan-akan ada yang meminum dan mengisap. Entah apa tujuannya. Tapi aku sempat berteori liar, keawetan fisiknya yang masih bak remaja, apa ada hubungannya dengan kematian bayi-bayinya? Menyedot sukma sang bayi untuk mempermuda diri sendiri. Teori konyol, tak masuk akal meskipun dalam dunia ilmu hitam bisa saja ada ritual sejenis itu. Namun, intinya aku tak mengerti dengan segala keanehan-keanehan ini.
Aku menutup pintu rumah, Bu Asih menyuruhku agar langsung menguncinya, kunci yang hanya berupa grendel sederhana. Walaupun sang pemilik rumah sudah bersama kami, rasa ngeri tak kunjung pergi, ketidaknyamanan ini sepertinya akan tetap menghantui hingga pagi menjelang. Apalagi aku teringat dengan sosok wanita berambut panjang di kamar Bu Asih.
Aku dan Riana beberapakali melirik pintu kamar yang tertutup rapat itu sembari menelan ludah, merasa was-was dan menahan takut. Semua cempor minyak tanah benar-benar menyala seperti semula, sungguh di luar nalar, kenapa bisa? Padahal tadi padam total.
"Saya tidak bisa menjamin keselamatan kalian jika kalian bersikukuh ingin tetap tinggal di sini. Kami tidak butuh petugas kesehatan seperti kalian, sejak lama kami punya sistem pengobatan sendiri. Jadi lebih baik kalian segera pergi!" kata Bu Asih sangat dingin. "Tak ada gunanya kalian lama-lama di sini, karena lebih lama akan semakin bahaya," lanjutnya semakin tak ramah.
Perkataan dan nada bicaranya yang sangat tak bersahabat itu, membuatku dan Riana membatu. Langkahku dan Riana yang hendak menuju kursi kayu dekat sana, otomatis terhenti. Dalam keremangan cahaya cempor, kami bersitatap. Belum terlambat, karena memang kami sudah ingin pulang.