Sebagai seorang tamu, aku tidak banyak berkomentar meskipun benakku disarangi keheranan, dirong-rong rasa penasaran dan tentunya digentayangi ketakutan.
Aku terperanjat saat sebuah tepukan terasa menghentak di bahuku. Ragu-ragu aku menoleh dan mendapati pemilik rumah menatapku dingin. "Jangan melamun!" katanya penuh penekanan.
"Eh, iya, Bu," sahutku pelan. "Oh iya apa ada yang saya bisa bantu?" Pada akhirnya aku menanyakan hal itu agar tidak dianggap melamun lagi.
Bu Asih menggeleng sambil berlalu ke dapur, lalu kembali lagi ke ruangan depan dengan membawa keranjang bambu. "Saya mau pergi, ada urusan. Ingatkan temanmu itu, kalau hari sudah gelap masuk ke rumah jangan berani-berani kelayapan."
"B—aik."
Setelah Bu Asih pergi, aku beringsut ke kamar menunggu Riana yang sedang ada keperluan. Sebelum kami berpisah ia melempar senyum yang ganjil. Aku bergidik, betapa misteriusnya warga-warga di sini.
Peringatan seperti tadi sebenarnya itu bukan kali pertama, sejak kedatanganku tiga hari yang lalu, Bu Asih selalu memperingatkanku agar tidak melamun.
Sebenarnya aku tidak demikian, hanya saja kalau tak ada kegiatan, aku sering menekuri keadaan di luar sana dari jendela. Pikiranku tetap terkoneksi dengan sekitar tidak sampai kosong seperti anggapannya.
Selain itu, Bu Asih juga berpesan tegas, "Jaga sikap dan tindakan jangan sampai berbuat macam-macam, hargai budaya dan aturan di sini." Aku manggut-manggut paham, toh aku memegang erat pepatah "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung".
Namun, yang jadi masalahnya temanku, Riana. Ia tipe orang yang ceplas-ceplos. Sampai-sampai aku harus memperingatkannya berkali-kali agar menjaga perilaku dan ngerem tutur katanya.
Di sore menjelang pergantian hari saat aku menutup jendela kamar, dari luar terdengar jeritan Riana tepatnya di jamban. Aku melongokan kepala, "Riana? Ada apa?"