"B-baik, Bu." Kami menyahut bersamaan.
"Sebelum hari terang selambat-lambatnya jam lima pagi kalian sudah harus keluar desa. Kalau mau selamat kalian pergi saat masih gelap."
Napasku tertahan, pergi subuh-subuh? Desa ini seram bukan main belum lagi nanti harus melewati hutan. Aku dan Riana harus jalan kaki karena pulang lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan pihak puskesmas. Jadi takkan ada yang menjemput, di sini tak ada sinyal apalagi di hutan nanti. Aku pasrah harus berjalan sebegitu lama dibandingkan harus tetap tinggal di desa aneh ini.
"Nanti pagi saya antar kalian sampai pintu masuk desa. Sekarang saya siapkan bahan-bahan dulu untuk kebutuhan subuh nanti."
Bu Asih pergi ke dapur. Riana menyikutku. "Bahan-bahan apa. Makanan buat bekal kita, kah?" tanyanya polos.
"Sesajen, mungkin," jawabku. Mengingat segala kegiatan di sini selalu melibatkan sesajen.
Raina merotasi matanya, ia tampak jengah lalu menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Terbesit dalam pikiranku, kekhawatiran binatang buas saat di hutan nanti, tapi lebih mengerikan memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika kami menunda kepulangan. Aku siap dan aku yakin Riana juga sama sepertiku. Semoga di perjalanan pulang, aku dan Riana selamat sampai tujuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H