Aku mulai berhenti beberes pakaian dan alat-alat kesehatan seperti stetoskop, tensimeter juga obat-obatan ketika mendengar suara janggal di tengah-tengah keheningan.
Sontak dadaku bergolak, tubuhku menegang dan merinding secara bersamaan. Suasana kamar berdinding anyaman bambu itu terasa lebih dingin dan pengap, entah aura apa yang baru saja memenuhi seisi ruangan.
Aku berputar dengan harapan bisa mendeteksi dari mana dan siapa yang tengah nyinden tersebut. "Riana? Bu Asih?" Aku pikir itu suara salah satu dari mereka.
Namun, tidak ada jawaban. Nyanyian sinden yang ku ketahui berbahasa Jawa itu malah mengalun kian kencang, aku ngibrit ke luar kamar dan saat di lorong menuju dapur, aku tak sengaja menabrak Riana. Aku baru ingat, tadi ia pamit pergi ke jamban.
Riana terlonjak, terdorong mundur oleh tubuhku. "Lho, Kenapa Sekar? Kok kelihatan ketakutan?" tanyanya kaget.
Aku menelan ludah, menggeleng berusaha menyembunyikan rasa takut. Aku memilih untuk tidak memberitahunya.
"Aku hanya kebelet."
***
Mengemban tugas ke sebuah desa yang masih akrab dengan hal-hal berbau klenik, memegang erat budaya leluhur, konsisten menjaga adat istiadat dan rutin melakukan ritual-ritual, membuatku harus mengakrabkan diri dengan kepulan menyengat dari kemenyan, bau berbungaan seperti kantil dan melati di setiap harinya.
Setelah mengamati, aku teringat pelajaran sekolah dulu tentang paham animisme di zaman prasejarah. Dan jika membandingkannya dengan tempatku tinggal, peradaban sejenis ini jejaknya sudah tak lagi terdeteksi tergilas oleh kemodernan.