Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Penunggu Rumah

30 Agustus 2023   11:50 Diperbarui: 6 Oktober 2023   12:02 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara tuts keyboard memantul dari dinding ke dinding bergumul dalam ruangan gelap. Cahaya layar laptop menyembur menyirami wajah berkacamata seorang gadis yang tetap terjaga terduduk di kursi kerjanya. Dia sesekali mendesah kecil sembari menekan tombol backspace, menghapus kata perkata yang telah dirangkainya dengan susah payah. Aneh sekali, idenya sulit berkembang, dan kelopak matanya selalu nyaris tertutup, kantuk, tidak seperti biasanya. Padahal sebelum menulis di tengah malam seperti ini, dia sudah memiliki semacam ritual agar kantuk atau rasa bosan tak sampai mengusiknya. 

Dari pukul 20:00 jika pekerjaan lain sudah selesai dia lekas tidur, lalu bagun setengah jam sebelum memulai perkejaan rutinnya sekitar pukul 23:00. Selama kurang lebih 30 menit, dia pergi mencuci muka, menyiapkan kopi dan membaca beberapa lembar novel kesukaannya.

Sejenak dia merenung bingung, kenapa dengan malam ini? Dia bertanya-tanya heran. Bayang-bayang wajah oriental nan tampan sang editor berkelebatan di benaknya yang besok pagi pasti bertanya mengenai kemajuan naskah yang tengah diselesaikannya ini. Meski berusaha memaksakan diri memperkejakan otaknya yang tersendat seolah ada gumpalan aneh menghalangi proses berpikir, dia akhirnya merasa tak tahan dan menghempaskan punggungnya ke belakang. 

"Kamu itu kenapa sih Ananta?" gerutunya jengah. Sudah merasa tak minat melanjutkan mengetik, selagi tangan kiri menutupi mulut yang tengah menguap, tangan kanannya meraba menyisir permukaan meja di samping laptopnya untuk mencari ponsel. Yang diharap benda pipih itu cepat diraihnya, akan tetapi yang tersentuh hingga menggesernya tak sengaja adalah tupperware-nya. Botol yang terisi setengah air itu jatuh ke bawah menimbulkan suara bedebum yang terdengar nyaring di senyapnya malam.

Dia berdecak semakin jengkel, menambah pekerjaan saja, kesalnya. Tanpa terlintas akan menyulitkan dirinya sendiri dengan pencahayaan minim seperti itu, dia praktis menunduk untuk mengambil. Tidak ada, sepertinya bergelinding ke bawah lemari atau memang karena gelap jadi tak mampu menangkap sekadar bentuk bayangannya saja. Dia menggerutu padahal sebelum berniat mengambilnya, harusnya temukan dulu ponsel atau setidaknya hidupkan lampu. Tepat saat dia mulai mengangkat tubuh, terdengar sayup-sayup langkah dari koridor di depan kamarnya. Gerakan Ananta melambat telinganya merekam jelas suara itu.

Ananta kembali ke posisi duduk dengan degup dada tenang. Derap langkah itu palingan milik adikku, demikian perkiraannya. Dia bangkit membalikkan badan melangkah dengan hati-hati memperkirakan langkahnya agar tidak salah arah atau menabrak sesuatu. Dia berniat mengarah ke tembok di samping pintu yang tertempel saklar untuk menyalakan lampu gantung sederhananya. Satu tekanan jari telunjuknya membuat pergantian penerangan dari gelap menjadi terang yang membuat matanya mengerjap karena silau. Dia menoleh dan menengadah melihat jam cuckoo atau kukuk, asli dari Schwarzwald, Jerman, pemberian teman ayahnya yang habis berlibur dari negeri Panzer. Jam berbentuk rumah-rumahan mini yang terbuat dari kayu dengan segala ornamen uniknya itu tertempel di dinding menunjukkan hampir pukul dua belas. Masih banyak waktu karena biasanya dia akan menulis hingga jam satu dini hari, hanya saja kali ini otak dan matanya mendadak tidak bisa diajak sejalan. Ananta kembali menghadap tembok sembari membuang napas kasar, lalu melangkah lagi ke meja kerja mencari ponsel yang ternyata sepotong permukaannya menyelip di lembaran novel yang sempat dibacanya, tergeletak tepat di belakang laptop.

Sebelum meraih ponselnya, terlebih dahulu dia mengamankan mug porcelain bergambar beruang kodiak berisi seperempat kopi susu sudah mendingin ke tempat yang lebih aman, nakas di sebelah ranjangnya. "Untung saja bukan gelas kopi yang jatuh," katanya seraya kembali ke meja. Benda pipih itu sudah digenggamannya,  jempol Ananta nyaris mendarat di layar ponsel ketika ketepak-ketepok langkah menembus tembok kamar. Seiring waktu suaranya mengabur teredam jarak. 

Atensinya teralihkan. "Siapa yang turun t---angga?" Dia mengernyit, memang itu gemeretak dari tangga. Ananta menelan ludah, dia ingat adiknya sudah pindah kamar sebulan yang lalu ke lantai bawah begitupun dengan kamar orangtuanya yang memang sejak rumah ini berdiri ada di bawah. Hanya kamar dirinyalah yang ada di atas, jadi itu siapa? Otot dan saraf tubuhnya mulai menegang. Dia menyadari sesuatu, tanpa sadar Ananta melempar ponsel ke ranjang dengan asal, lalu bergegas ke arah pintu dan membukanya meskipun ragu. Seperti ada benturan dua energi saat udara dingin dari luar masuk ke kamar yang terasa pengap meskipun pentilasi dan AC berfungsi dengan baik. Gemeretak tadi lenyap, keremangan dan keheningan di rumah seolah menelannya. 

Baca juga: Celengan Ayam Anita

Jantungnya sudah tidak aman, berdetak semakin tak karuan. Ananta mengigit bibir bawahnya cemas, mau tidak mau dia harus ke luar bahkan turun ke bawah. Kata hatinya mengiyakan tetapi raganya mendadak kaku tak ingin kemana-mana kalau saja ada lem, rela saja kakinya dilem agar tak pergi mengikuti keinginan hati. "Come on Ananta!" gumamnya menyakinkan dirinya sendiri. Ananta harus memastikan ibu dan adiknya ada di kamar masing-masing. 

Satu langkah dipaksakan, dua langkah berikutnya, dia berdiri dalam keremangan koridor lantas atas. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri, napasnya tersekat, ekor mata berkacamatanya terpaku di sudut kiri koridor yang mana dia melihat pintu bekas kamar adiknya sedikit terbuka memperlihatkan bayangan cahaya dari lampu di dalamnya yang tak pernah dimatikan meskipun sudah tak ada yang menempatinya sekalipun itu siang hari. Ananta membuang napas berat, kepalanya ikut berdenyut seperti akan meledak. Siapa yang membukanya? Yang tadi kah? Pertanyaan itu bergelayutan di benak si gadis.

Ananta menggeleng ketakutan. "Tak ada orang di sana," gumamnya lemas. Dia menelan ludah, membenarkan kacamata yang sedikit melorot. Dengan ketakutan yang nyaris membuatnya ingin menyerah dan kembali ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Akhirnya dia pun meneruskan langkah menyusuri lantai linoleum dengan sangat grasak-grusuk. Ketika tangannya berhasil menyentuh susuran tangga. Di melongok ke bawah melihat dua pintu kamar keduanya tertutup rapat di bawah sana. "Noah?" panggilnya pada si adik. Suaranya menggema. "Ibu?" Beberapa detik berlalu, masih nihil jawaban. Ananta semakin ketar-ketir, toh masuk diakal ini tengah malam, mereka pasti sudah terlelap, bermain-main di alam mimpi. Walaupun sebenarnya Noah sendiri bisa dikecualikan, oleh karena itu tadi Ananta mengira derap langkah itu milik adiknya sebelum menyadari Noah telah pindah kamar sebulan yang lalu. Alasannya karena bocah laki-laki berusia lima tahun itu memiliki kebiasaan sleepwalking atau somnambulisme, berjalan saat tidur. Berkeliaran meski matanya terpejam. Dikarenakan kebiasaan anehnya itu, demi meminimalisir hal-hal tidak diinginkan, kamar bawah jadi solusinya. Noah baru sekitar enam bulan pisah kamar dari orangtuanya dan berbarengan dengan itu kebiasaan sleepwalking muncul begitu saja. Itu berarti hanya lima bulan adiknya tidur di kamar sebelahnya dan sudah terbiasa dengan suara langkah kaki di tengah malam seperti ini.

Ananta bergegas turun, dia tergopoh-gopoh untuk sampai di lantai dasar, butir-butir peluh dingin meluncur dari kening dan punggungnya. Di sana sama temaramnya seperti di atas, lampu gantung klasik kebanggaan ibunya yang menggantung anggun di plafon selalu dimatikan ketika malam. Hanya lampu-lampu meja antik di setiap sudut ruangan saja yang dinyalakan. Rumah dengan interior klasik begitupula perabotannya yang mayoritas furniturnya terbuat dari material kayu begitu terasa menyeramkan dibandingkan siang hari yang terkesan hangat dan nyaman. Di tengah-tengah ketakutan yang menggulungnya, Ananta sadar betul jika vibes rumahnya sangat mendukung dengan suasana horor seperti di film-film. Rumah ini dibangun atas kesukaan ibunya yang sangat menggilai hal-hal berbau klasik Eropa. 

Sebelum deal dengan arsitektur yang sekarang, bahkan ibunya sempat berkeinginan membangun dengan gaya Victoria. Tapi sang ayah yang begitu apa adanya tidak neko-neko, tak pernah suka dengan hal rumit dan detail, mematahkan keinginannya dengan mengancam tidak akan membiayai pembangunan rumah tersebut. Ananta sebagai si sulung, lebih sering sejalan dengan ayahnya walaupun pada akhirnya mereka akan kalah juga, the power of emak-emak memang bukan hanya sekadar cerita saja. Namun, untuk urusan desain rumah sang ibu bersedia menggantinya.

Sadar ini bukan momen yang pas untuk mengenang, Ananta cepat memutus ingatan tentang itu. Dia langsung meluncur menggebrak pintu kamar Noah di sebelah kiri kamar orangtuanya, saking takutnya dia tak sempat berpikir jika adiknya tertidur di dalam, pastilah Noah terperanjat terbangun. Lampu LED biru yang menurut gadis itu menyakitkan mata menyambutnya dengan kejutan, Noah tak ada di sana. Kasur berseprai dan selimut karakter astronaut dan benda-benda langit itu berantakan. Berkebalikan dengan kamar orangtuanya yang memang sang ibunda, khususnya, dikenal orang yang resik dan rapi, kamar yang serba tertata dan beraroma terapi lavender itu juga kosong.

Kepanikan hebat memukulnya telak. Mengetahui ibu dan adiknya tak ada di kamar, membuat Ananta ingin berteriak histeris kalau saja waktu itu bukan malam hari. "Astaga! Pantas saja aku digangguin karena Ibu dan Noah tidak ada. Ya Tuhan k---emana mereka?" Dia memijat pelipisnya frustasi karena situasi yang tak mengenakan ini. Ananta mondar-mandir di kamar itu sambil menggigit kuku ibu jari tangan kanannya. Dia berpikir keras kemana perginya ibu dan Noah. 

Tak mungkin jam segini mereka di perpustakaan, di ruangan lain atau di halaman belakang, nyaris mustahil. Sekarang Ananta menyadari betul kalau gangguan malam ini, memang karena tiadanya sang ibu di rumah, itu alasan kenapa dia harus memastikan keberadaan ibunya. Tapi ada lagi yang perlu dipastikannya, pintu. Ananta tambah cemas, dia dilema antara tetap diam di kamar orangtuanya yang selalu terasa menenangkan atau pergi ke ruang depan. Setelah benaknya bergulat mempertimbangkan apa yang akan dilakukan selanjutnya, dia akhirnya memutuskan untuk pergi mengecek pintu utama.

Sebelum keluar, terlebih dahulu dia mengatur napas agar mendapat sedikit ketenangan. Ananta menutup kembali pintu kamar tersebut. Meneruskan langkah melewati lorong yang remang-remang, deretan bingkai foto keluarga dan lukisan-lukisan lanskap beraliran Barok, periode Klasisime koleksi kesayangan nyonya rumah terpanjang muram. Claude Lorrain, sekilas Ananta mengingat seniman lukis asal Prancis favorit ibunya pada era setelah Renaisans itu.

Bayangan tentang sang pelukis terputus oleh ketajaman feeling-nya yang mengatakan ada sosok yang memperhatikan, dia mencoba tak gentar dan meneruskan jalan. Setelah apa yang ditujunya sudah nampak, Ananta langsung menghambur ke pintu yang sudah barang tentu terkunci dari luar. Duplikatnya tergeletak di atas lemari pendek dekat guci besar di sebelah pintu, pasti ibunya sengaja meletakkan di situ karena dia tahu, Ananta akan mengecek pintu setelah sadar kalau dia hanya sendirian di rumah.

Ananta mengigit bibir bawahnya kian jeri, kepalanya berpikir keras kenapa dia bisa ditinggal. Rasanya tidak mungkin jika tidak ada hal yang mendesak sampai berani meninggalkannya seperti ini. Jika memang ada sesuatu di luar sana yang mengharuskan mereka pergi, pasti ada pesan yang masuk. Ananta mengusap wajah dengan gemas dan penuh penyesalan, tadi ponsel itu sudah ada di tangannya, bahkan dia lupa telah melemparnya asal di kasur. Kalau saja dia sempat mengecek ponsel, barangkali tak perlu dirinya sampai turun seperti ini.

Sejak ke luar dari kamar hingga turun ke lantai dasar, bulu romanya tak berhenti meremang, dia mengusap-usap pergelangan tangannya yang terasa dingin menggigil meski terbungkus oleh cardigan. Ananta berbalik lalu menengadah melihat lantai atas, dia menelan ludah, tangga kayu itu seperti undakan berlumut menuju sebuah goa yang gelap. Keberaniannya sekonyong-konyong menciut dan dia menyesali kenapa tadi tak menyalakan lampu. Terlebih dia ingat dengan pintu di sebelah kiri kamarnya terbuka, dan itu sebenarnya yang menjadi pusat mistis rumah ini.

Cukup lama berdiam di dekat pintu mengumpulkan keberanian untuk naik kembali ke kamarnya. Matanya menelusuri ke setiap sudut ruangan yang terjangkau penglihatannya. Tidak ada yang gerak, tampak lengang, tidak ada kelebatan, tidak ada lagi suara-suara. Waktu yang tepat untuk lari ke atas mengunci diri di kamar. Belum juga sempat melangkah, tiba-tiba saja gadis itu merasakan sesuatu yang membuatnya terhenyak hebat. "ARRRRKHHH!" jerit Ananta sangat keras, kaget setengah mati. 

Dia berbalik dan terlonjak nyaris terjengkang. Tangan kanannya memegang tengkuk. Napasnya memburu, terengah-engah. Daging tubuhnya terasa menggelenyar saking terkejutnya. Barusan tengkuknya ada yang meniup, terasa sangat dingin mendinginkan sekujur tubuh hingga meresap ke tulang. Di sana tidak ada siapa-siapa satu-satunya yang terlihat menonjol di keremangan hanya pintu utama nan besar rumahnya itu. 

Mata miopi-nya jebol, Ananta menangis. Namun, dia buru-buru menyeka yang membuat kacamatanya kembali melorot. Tidak ingin terkapar di sana begitu saja kalau-kalau dirinya pingsan karena ketakutan. Meskipun bergidik, dia memantapkan hati segera pergi ke atas mengunci seorang diri. Dalam hatinya dia berhitung satu sampai tiga dan tepat saat angka terakhir menggumam, sebuah tarikan kecil di bagian bawah cardigan panjangnya menarik perhatian Ananta.

Deg! Tubuhnya membeku seketika, napasnya dan aliran darah seolah berhenti bersamaan. S---iapa? Ananta benar-benar tak berani menoleh di hanya sanggup melihat dengan sudut matanya. "Kakak!" Sebuah suara halus memanggilnya. Bukan Noah. Bocah laki-laki bermuka gosong, Ananta membatin ngeri. Sepengalaman Ananta, inilah pengalaman horor paling sinting yang dialaminya sejak menempati rumah ini. Andai sang kuncen alias ibunya ada di rumah, pastilah hal seperti itu takkan terjadi. Oleh karenanya saat ketakutan mengepungnya tanpa ampun, terbesit rasa kesal pada ibunya yang belum diketahui pergi kemana.

"Kakak, panas." Bocah gosong berbicara lagi dengan begitu parau syarat kesedihan dan kepedihan. Ananta menggeleng-geleng sambil memejamkan mata, punggungnya bergetar karena menangis. Perasaannya berkecamuk antara ngeri dan sesak. "Kakak!" "Kakak!" "Kakak!" "Kakak!" "Kakak!" Seperti halnya bocah manusia ketika tidak mendapat respon, dia akan terus memanggil sampai apa yang diinginkannya tercapai. "KAKAK!" suara halus bocah bermuka gosong itu berubah jadi gema menyeramkan dan memekakkan.

Ananta semakin membatu, kakinya persis seperti yang diinginkannya tadi, bak dilem tidak bisa bergerak. Sementara mulutnya seolah dilakban, terbungkam. Dadanya naik turun, jantung berdetak kasar bertalu-talu. Sementara di dalam hatinya dia berteriak histeris, berusaha bergerak namun masih tak bisa. Gema suara bocah gosong bagaikan mantra yang membuat tubuhnya seperti patung. Dalam kekakuan otot-ototnya, air mata Ananta tetap mengucur mengekpresikan kengerian yang luar biasa. 

Si bocah gosong yang tak napak tersebut kemudian raib berbarengan dengan itu lampu gantung di atas kepala Ananta menyala. Ananta mengerdip. Ajaib, tubuhnya juga kembali normal. Dia cepat menyeka air mata di balik kacamata dan mengusap ingus yang hampir meluber mendarat di bibir tipisnya.

Tak memedulikan bagaimana lampu bisa menyala, Ananta memilih tancap gas lari sebisanya, meski lemas dan gemetaran dia berhasil menjajaki habis anak tangga hingga yang terakhir. Napasnya tersengal-sengal, peluh melumat habis piyama hingga mulai terasa gerah. Tak lagi berburu-buru, Ananta mengendap-endap menuju kamarnya sambil mengamati suasana ruangan, seolah takut keberadaannya disadari oleh sesuatu yang mengancam. Namun, baru saja beberapa langkah napasnya tersekat melihat pintu kamar bekas adiknya yang tadinya hanya terbuka sedikit menjadi kebuka sepenuhnya. 

Lagi-lagi dia menelan ludah, matanya berserobok dengan tatapan patung kayu Bali, Hanoman, yang diletakkan di sudut kamar berdinding krem itu. Dia cepat-cepat menggeleng mengenyahkan segala ketakutan dan langsung bergegas menuju pintu kamarnya lalu masuk dan menutup juga menguncinya. Tanpa diduga bersamaan dengan itu pintu di sebelah pun ikut tertutup dengan sangat keras.

***

Adrenalinku kembali memuncak gebrakan pintu itu begitu keras hingga meruntuhkan pertahanan membuatku ambruk di balik pintu. "Ya Tuhan, tolong!" lirihku dalam kesendirian. Aku mengusap wajah yang pastinya sudah sangat pucat pasi. Saat itu seketika aku ingat ponsel. Ya, ponsel, aku ingin tahu kemana Ibu pergi. Aku bangkit lalu beringsut menuju ranjang mencari ponsel. "Itu dia." Aku meraih ponsel yang terbalik di atas selimut. Benar saja, Ibu mengirimkan pesan di pukul sepuluh malam. Aku membacanya dengan tak sabaran.

"Sayang, Ibu dan adikmu pergi ke rumah sakit. Ommu, Om Wayan masuk rumah sakit lagi. Dia tak sadarkan diri, keadaannya kali ini kritis. Maafkan Ibu, Sayang. Ibu tidak sampai hati membangunkanmu karena kamu harus bekerja setiap malam. Ingat Sayang, jika situasinya diluar kendali, turunlah ke bawah kunci diri di kamar Ibu dan Ayah. Di sana akan aman."

Aku menurunkan ponsel kembali ke ranjang. Menghela napas panjang, sungguh terlambat. Andai Ibu tahu, aku baru membaca pesan darinya setelah diteror penunggu rumah ini, bocah bermuka gosong. Lantas apakah aku harus kembali ke bawah? Aku menggeleng tak sanggup. Semoga keadaan sekarang sudah lebih aman. Sungguh pikiranku bertambah bebannya bukan hanya dibayangi ketakutan tapi juga rasa khawatir dengan keadaan Om Wayan. Pantas Ibu dan Noah harus meninggalkanku jika keadaannya darurat seperti ini. Om Wayan sudah beberapa kali masuk rumah sakit, beliau memiliki masalah serius dengan jantungnya. 

Dengan keadaan yang tak memungkinkan ini, jangankan menyusul ke rumah sakit bahkan untuk melanjutkan menulis saja rasanya sulit. Pada akhirnya aku hanya bisa berharap dan berdoa agar saudara satu-satunya Ibu itu bisa kembali pulih.

Tak tahu apalagi yang harus kulakukan karena jika tidur pun pasti takkan bisa terlelap, aku hanya terdiam memeluk lutut ditemani keheningan. Kengerian yang baru terlewati membawaku kembali ke dalam rasa sesal atas keputusan Ibu yang dengan semangat membeli sebidang tanah cukup luas dengan puing-puing bangunan sisa kebakaran. Tempat yang kuungkit ini lokasi di mana rumah kebanggaan ibu berdiri sekarang. Rumah ini dibangun mengikuti pondasi awal rumah bekas kebakaran yang saat itu menewaskan seorang bocah laki-laki seumuran Noah yang terpanggang sendirian di kamarnya saat tidur siang. 

Mengingat-ingat cerita tragis itu, aku menjadi sangat emosional. Inikah yang sering Ibu rasakan? Ketika di setiap malam Jumat Kliwon dia selalu kedapatan menangis di kamar sebelahku, katanya dia bisa melihat bagaimana bocah malang itu mati-matian meminta tolong pada siapa pun untuk mengeluarkannya dari kepungan api. Tangis dan rintihan pilunya tak sanggup mengenyahkan bara api yang kian mendekat melahap segala material yang ada, termasuk raga mungilnya. Dia tewas dengan keadaan luka bakar di sekujur tubuh dan wajah yang sepenuhnya gosong. 

Sejak kejadian itu rumah berikut sebidang halaman yang luas ditinggalkan begitu saja. Sebelum akhirnya Ibu membelinya setelah tiga tahun tak laku karena cerita horor yang menyertainya. Ibu memiliki kedekatan khusus dengan mistis, karenanya dulu dia berkeras meyakinkanku dan Ayah agar menyetujui pembelian tanah karena merasa bisa meng-handle atas kemungkinan gangguan yang akan terjadi. Dan inilah buktinya saat ibu tidak ada, aku diganggu habis-habisan oleh Si Penunggu Rumah.

Baru setahun lalu rumah ini selesai dibangun, dua bulan kemudian kami baru bisa menempatinya dan selama itu gangguan-gangguan kecil selalu kami dapatkan namun tak pernah terjadi sefatal yang kualami. Andai Ayah pulang kerja besok dari Medan aku ingin meminta untuk nge-kost atau pindah ke rumah Nenek di luar kota. Serentetan kejadian tadi sudah cukup membuatku trauma berkepanjangan.

Sebenarnya aku tak mau mengenang kejadian memilukan yang menimpa si anak tapi kejadian malam ini mengingatkanku ke masa itu. Ingatan yang kembali membuatku jatuh ke dalam tangis, seakan dibawa mundur menembus ruang waktu menyaksikan penderitaan si bocah hingga melihatnya meringkuk tak berdaya pasrah dijemput maut, tersiksa digulung kobaran api besar. Kenapa nasib sebegitu kejam terhadapnya yang masih kecil tak berdosa? Aku menangis sesenggukan, merasakan sesak yang tak wajar.

Sebentar! Aku baru sadar ada suara tangis yang sama dari kamar sebelah, kamar di mana dulu si bocah tewas terbakar. seketika aku terdiam, haruskah sekarang menuruti pesan Ibu turun ke bawah dan mengunci diri di kamarnya. Tapi aku sudah amat lelah, aku mencoba bertahan di sini setidaknya hingga pagi menjelang. Kututup telinga dengan kedua tangan keras-keras agar tangis misterius itu tak menembus pendengaran. Aku terus menerus melakukannya, semakin lama tubuhku kehilangan keseimbangan kepalaku terasa amat pening lalu tersungkur dan lambat laun kesadaranku lenyap. Semuanya gelap.


End.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun