Dengan keadaan yang tak memungkinkan ini, jangankan menyusul ke rumah sakit bahkan untuk melanjutkan menulis saja rasanya sulit. Pada akhirnya aku hanya bisa berharap dan berdoa agar saudara satu-satunya Ibu itu bisa kembali pulih.
Tak tahu apalagi yang harus kulakukan karena jika tidur pun pasti takkan bisa terlelap, aku hanya terdiam memeluk lutut ditemani keheningan. Kengerian yang baru terlewati membawaku kembali ke dalam rasa sesal atas keputusan Ibu yang dengan semangat membeli sebidang tanah cukup luas dengan puing-puing bangunan sisa kebakaran. Tempat yang kuungkit ini lokasi di mana rumah kebanggaan ibu berdiri sekarang. Rumah ini dibangun mengikuti pondasi awal rumah bekas kebakaran yang saat itu menewaskan seorang bocah laki-laki seumuran Noah yang terpanggang sendirian di kamarnya saat tidur siang.
Mengingat-ingat cerita tragis itu, aku menjadi sangat emosional. Inikah yang sering Ibu rasakan? Ketika di setiap malam Jumat Kliwon dia selalu kedapatan menangis di kamar sebelahku, katanya dia bisa melihat bagaimana bocah malang itu mati-matian meminta tolong pada siapa pun untuk mengeluarkannya dari kepungan api. Tangis dan rintihan pilunya tak sanggup mengenyahkan bara api yang kian mendekat melahap segala material yang ada, termasuk raga mungilnya. Dia tewas dengan keadaan luka bakar di sekujur tubuh dan wajah yang sepenuhnya gosong.
Sejak kejadian itu rumah berikut sebidang halaman yang luas ditinggalkan begitu saja. Sebelum akhirnya Ibu membelinya setelah tiga tahun tak laku karena cerita horor yang menyertainya. Ibu memiliki kedekatan khusus dengan mistis, karenanya dulu dia berkeras meyakinkanku dan Ayah agar menyetujui pembelian tanah karena merasa bisa meng-handle atas kemungkinan gangguan yang akan terjadi. Dan inilah buktinya saat ibu tidak ada, aku diganggu habis-habisan oleh Si Penunggu Rumah.
Baru setahun lalu rumah ini selesai dibangun, dua bulan kemudian kami baru bisa menempatinya dan selama itu gangguan-gangguan kecil selalu kami dapatkan namun tak pernah terjadi sefatal yang kualami. Andai Ayah pulang kerja besok dari Medan aku ingin meminta untuk nge-kost atau pindah ke rumah Nenek di luar kota. Serentetan kejadian tadi sudah cukup membuatku trauma berkepanjangan.
Sebenarnya aku tak mau mengenang kejadian memilukan yang menimpa si anak tapi kejadian malam ini mengingatkanku ke masa itu. Ingatan yang kembali membuatku jatuh ke dalam tangis, seakan dibawa mundur menembus ruang waktu menyaksikan penderitaan si bocah hingga melihatnya meringkuk tak berdaya pasrah dijemput maut, tersiksa digulung kobaran api besar. Kenapa nasib sebegitu kejam terhadapnya yang masih kecil tak berdosa? Aku menangis sesenggukan, merasakan sesak yang tak wajar.
Sebentar! Aku baru sadar ada suara tangis yang sama dari kamar sebelah, kamar di mana dulu si bocah tewas terbakar. seketika aku terdiam, haruskah sekarang menuruti pesan Ibu turun ke bawah dan mengunci diri di kamarnya. Tapi aku sudah amat lelah, aku mencoba bertahan di sini setidaknya hingga pagi menjelang. Kututup telinga dengan kedua tangan keras-keras agar tangis misterius itu tak menembus pendengaran. Aku terus menerus melakukannya, semakin lama tubuhku kehilangan keseimbangan kepalaku terasa amat pening lalu tersungkur dan lambat laun kesadaranku lenyap. Semuanya gelap.
End.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H