Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Penunggu Rumah

30 Agustus 2023   11:50 Diperbarui: 6 Oktober 2023   12:02 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ananta menggeleng ketakutan. "Tak ada orang di sana," gumamnya lemas. Dia menelan ludah, membenarkan kacamata yang sedikit melorot. Dengan ketakutan yang nyaris membuatnya ingin menyerah dan kembali ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Akhirnya dia pun meneruskan langkah menyusuri lantai linoleum dengan sangat grasak-grusuk. Ketika tangannya berhasil menyentuh susuran tangga. Di melongok ke bawah melihat dua pintu kamar keduanya tertutup rapat di bawah sana. "Noah?" panggilnya pada si adik. Suaranya menggema. "Ibu?" Beberapa detik berlalu, masih nihil jawaban. Ananta semakin ketar-ketir, toh masuk diakal ini tengah malam, mereka pasti sudah terlelap, bermain-main di alam mimpi. Walaupun sebenarnya Noah sendiri bisa dikecualikan, oleh karena itu tadi Ananta mengira derap langkah itu milik adiknya sebelum menyadari Noah telah pindah kamar sebulan yang lalu. Alasannya karena bocah laki-laki berusia lima tahun itu memiliki kebiasaan sleepwalking atau somnambulisme, berjalan saat tidur. Berkeliaran meski matanya terpejam. Dikarenakan kebiasaan anehnya itu, demi meminimalisir hal-hal tidak diinginkan, kamar bawah jadi solusinya. Noah baru sekitar enam bulan pisah kamar dari orangtuanya dan berbarengan dengan itu kebiasaan sleepwalking muncul begitu saja. Itu berarti hanya lima bulan adiknya tidur di kamar sebelahnya dan sudah terbiasa dengan suara langkah kaki di tengah malam seperti ini.

Ananta bergegas turun, dia tergopoh-gopoh untuk sampai di lantai dasar, butir-butir peluh dingin meluncur dari kening dan punggungnya. Di sana sama temaramnya seperti di atas, lampu gantung klasik kebanggaan ibunya yang menggantung anggun di plafon selalu dimatikan ketika malam. Hanya lampu-lampu meja antik di setiap sudut ruangan saja yang dinyalakan. Rumah dengan interior klasik begitupula perabotannya yang mayoritas furniturnya terbuat dari material kayu begitu terasa menyeramkan dibandingkan siang hari yang terkesan hangat dan nyaman. Di tengah-tengah ketakutan yang menggulungnya, Ananta sadar betul jika vibes rumahnya sangat mendukung dengan suasana horor seperti di film-film. Rumah ini dibangun atas kesukaan ibunya yang sangat menggilai hal-hal berbau klasik Eropa. 

Sebelum deal dengan arsitektur yang sekarang, bahkan ibunya sempat berkeinginan membangun dengan gaya Victoria. Tapi sang ayah yang begitu apa adanya tidak neko-neko, tak pernah suka dengan hal rumit dan detail, mematahkan keinginannya dengan mengancam tidak akan membiayai pembangunan rumah tersebut. Ananta sebagai si sulung, lebih sering sejalan dengan ayahnya walaupun pada akhirnya mereka akan kalah juga, the power of emak-emak memang bukan hanya sekadar cerita saja. Namun, untuk urusan desain rumah sang ibu bersedia menggantinya.

Sadar ini bukan momen yang pas untuk mengenang, Ananta cepat memutus ingatan tentang itu. Dia langsung meluncur menggebrak pintu kamar Noah di sebelah kiri kamar orangtuanya, saking takutnya dia tak sempat berpikir jika adiknya tertidur di dalam, pastilah Noah terperanjat terbangun. Lampu LED biru yang menurut gadis itu menyakitkan mata menyambutnya dengan kejutan, Noah tak ada di sana. Kasur berseprai dan selimut karakter astronaut dan benda-benda langit itu berantakan. Berkebalikan dengan kamar orangtuanya yang memang sang ibunda, khususnya, dikenal orang yang resik dan rapi, kamar yang serba tertata dan beraroma terapi lavender itu juga kosong.

Kepanikan hebat memukulnya telak. Mengetahui ibu dan adiknya tak ada di kamar, membuat Ananta ingin berteriak histeris kalau saja waktu itu bukan malam hari. "Astaga! Pantas saja aku digangguin karena Ibu dan Noah tidak ada. Ya Tuhan k---emana mereka?" Dia memijat pelipisnya frustasi karena situasi yang tak mengenakan ini. Ananta mondar-mandir di kamar itu sambil menggigit kuku ibu jari tangan kanannya. Dia berpikir keras kemana perginya ibu dan Noah. 

Tak mungkin jam segini mereka di perpustakaan, di ruangan lain atau di halaman belakang, nyaris mustahil. Sekarang Ananta menyadari betul kalau gangguan malam ini, memang karena tiadanya sang ibu di rumah, itu alasan kenapa dia harus memastikan keberadaan ibunya. Tapi ada lagi yang perlu dipastikannya, pintu. Ananta tambah cemas, dia dilema antara tetap diam di kamar orangtuanya yang selalu terasa menenangkan atau pergi ke ruang depan. Setelah benaknya bergulat mempertimbangkan apa yang akan dilakukan selanjutnya, dia akhirnya memutuskan untuk pergi mengecek pintu utama.

Sebelum keluar, terlebih dahulu dia mengatur napas agar mendapat sedikit ketenangan. Ananta menutup kembali pintu kamar tersebut. Meneruskan langkah melewati lorong yang remang-remang, deretan bingkai foto keluarga dan lukisan-lukisan lanskap beraliran Barok, periode Klasisime koleksi kesayangan nyonya rumah terpanjang muram. Claude Lorrain, sekilas Ananta mengingat seniman lukis asal Prancis favorit ibunya pada era setelah Renaisans itu.

Bayangan tentang sang pelukis terputus oleh ketajaman feeling-nya yang mengatakan ada sosok yang memperhatikan, dia mencoba tak gentar dan meneruskan jalan. Setelah apa yang ditujunya sudah nampak, Ananta langsung menghambur ke pintu yang sudah barang tentu terkunci dari luar. Duplikatnya tergeletak di atas lemari pendek dekat guci besar di sebelah pintu, pasti ibunya sengaja meletakkan di situ karena dia tahu, Ananta akan mengecek pintu setelah sadar kalau dia hanya sendirian di rumah.

Ananta mengigit bibir bawahnya kian jeri, kepalanya berpikir keras kenapa dia bisa ditinggal. Rasanya tidak mungkin jika tidak ada hal yang mendesak sampai berani meninggalkannya seperti ini. Jika memang ada sesuatu di luar sana yang mengharuskan mereka pergi, pasti ada pesan yang masuk. Ananta mengusap wajah dengan gemas dan penuh penyesalan, tadi ponsel itu sudah ada di tangannya, bahkan dia lupa telah melemparnya asal di kasur. Kalau saja dia sempat mengecek ponsel, barangkali tak perlu dirinya sampai turun seperti ini.

Sejak ke luar dari kamar hingga turun ke lantai dasar, bulu romanya tak berhenti meremang, dia mengusap-usap pergelangan tangannya yang terasa dingin menggigil meski terbungkus oleh cardigan. Ananta berbalik lalu menengadah melihat lantai atas, dia menelan ludah, tangga kayu itu seperti undakan berlumut menuju sebuah goa yang gelap. Keberaniannya sekonyong-konyong menciut dan dia menyesali kenapa tadi tak menyalakan lampu. Terlebih dia ingat dengan pintu di sebelah kiri kamarnya terbuka, dan itu sebenarnya yang menjadi pusat mistis rumah ini.

Cukup lama berdiam di dekat pintu mengumpulkan keberanian untuk naik kembali ke kamarnya. Matanya menelusuri ke setiap sudut ruangan yang terjangkau penglihatannya. Tidak ada yang gerak, tampak lengang, tidak ada kelebatan, tidak ada lagi suara-suara. Waktu yang tepat untuk lari ke atas mengunci diri di kamar. Belum juga sempat melangkah, tiba-tiba saja gadis itu merasakan sesuatu yang membuatnya terhenyak hebat. "ARRRRKHHH!" jerit Ananta sangat keras, kaget setengah mati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun