Gravissimum Education atau Sangat Pentingnya Pendidikan merupakan salah satu dari dokumen Konsili Vatikan Kedua. Pernyataan ini sendiri diresmikan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 28 Oktober 1965.
Pendidikan adalah suatu usaha menyangkut hidup masyarakat, karena lewat pendidikan betapapun sederhana bentuknya, akan menjamin kelangsungan hidup dan peradaban manusia.
Oleh karena itu, pendidikan harus dikelola dengan menajemen pendidikan, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang diterapkan dalam dunia pendidikan oleh para penyelenggara dan pengambil keputusan.
Gravissimum Education adalah bentuk perhatian Gereja pada dunia pendidikan yang di implementasikan melalui sekolah - sekolah. Sekolah dipandang sebagai tempat pewartaan iman dan pusat kegiatan kemajuan peradaban manusia.
Gravissimum Education menyatakan arah, tugas, identitas, visi misioner, yang diharapkan mampu menjawab arah perubahan dunia. Pokok-pokok penting yang ditekankan Gravissimum Education tersebut, sangat relevan untuk menjawab Sinode Pendidikan Keuskupan Agung Semarang yang diadakan di bulan Juli 2023 saat ini, terutama menjawab tantangan pendidikan sekolah-sekolah Katolik di era Indonesia Baru yang saat ini di isi oleh Generasi Z dan disusul oleh Generasi Alpha.
Dalam Surat Gembala Uskup Agung Semarang Mgr. Robertus Rubiyatmoko yang disampaikan tanggal 6 dan 7 Mei 2023, sangat jelas tergambar sebuah kegelisahan tentang bagaimana pendidikan di sekolah-sekolah Katolik di Indonesia memerlukan sebuah perubahan agar tetap eksis, punya daya saing dan mampu menarik kembali jumlah peserta didik, yang digambarkan oleh Mgr Rubiyatmoko terus mengalami penurunan.
Sejatinya banyak faktor yang menyebabkan sekolah - sekolah swasta mengalami penurunan jumlah murid. Salah satunya karena campur tangan pemerintah yang semakin fokus dan serius memperbaiki mutu pendidikan melalui sekolah - sekolah negeri yang berbiaya murah bahkan gratis.
Kushus berbicara sekolah Katolik, memang kegelisahan Mgr Rubiyatmoko perlu kita tanggapi secara serius, mengingat sekolah - sekolah Katolik sudah mempunyai modal dasar yang sangat kuat, baik kedisiplinan, mutu pendidikan maupun karakter Kristiani yang khas dan spesifik.
Modal dasar itupun sebenarnya saat ini juga tidak berubah. Namun mengapa permasalahan yang diungkap Mgr Rubiyatmoko dapat terjadi pada sekolah - sekolah Katolik?
Kesalahan Mengidentifikasi dan Mengenali Generasi Peserta Didik
Setiap jaman akan membentuk sebuah generasi. Memasuki era tahun 2000, Â para pemangku kebijakan di sekolah-sekolah Katolik (baik yang dikelola oleh para misionaris maupun orang awam), masih nyaman dan terbiasa dengan karakteristik generasi milenial dan tidak mempersiapkan percepatan manajemen pendidikan untuk menyambut generasi pasca milenial.
Memang tidak salah jika saat ini kita masih menyebut dengan era milenial. Tetapi jangan lupa bahwa generasi milenial saat ini sudah memasuki usia matang, atau boleh dikatakan sudah menjadi orang tua muda yang mempunyai anak - anak yang saat ini mengisi bangku - bangku sekolah.
Generasi milenial sudah bukan lagi subyek dari peserta didik. Peserta didik saat ini diisi oleh Gen Z dan Generasi Alpha. Kesalahan mengidentifikasi dan megenali Gen Z dan Generasi Alpha inilah salah satu penyebab pemangku kebijakan sekolah - sekolah Katolik mengalami kegagapan dalam menyambut percepatan peradaban yang sedang dialami, dijalani dan dilakukan oleh Gen Z dan Generasi Alpha.
Karakteristik Generasi Z dan Alpha
Generasi Z di identifikasikan sebagai generasi yang lahir tahun 1996 -2012, yang pada tahun 2023 ini berumur 10 -27 tahun, sehingga generasi inilah yang saat ini sedang dalam masa pendidikan mulai kelas 4 sekolah dasar sampai bangku universitas, baik pendidikan sarjana dan magister atau sebagiannya telah bekerja.
Sedangkan generasi Alpha diidentifikasikan sebagai generasi yang lahir mulai tahun 2013 dan saat ini mulai menempuh pendidikan Paud, TK sampai kelas 3 sekolah dasar.
Diambil dari beberapa sumber penelitian, Gen Z mempunyai karateristik sebagai berikut;
1. Gen Z merupakan generasi digital yang mahir serta menggemari teknologi informasi dan berbagai macam aplikasi komputer. Â Mereka mengetahui seluk beluk teknologi yang seolah pembawaan dari lahir.
2. Gen Z mampu berekspresi dengan apa yang mereka pikirkan serta mereka rasakan dan dapat mengungkapkan hal tersebut dengan spontan melalui media sosial.
3. Gen Z lebih toleran terhadap perbedaan yang ada pada lingkungan sekitarnya, mulai dari perbedaan budaya, agama dan lainnya bahkan Gen Z dianggap lebih peduli pada perbedaan tersebut, dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
4. Gen Z terbiasa melakukan berbagai aktivitas pada waktu bersamaan atau multy-tasking, karena Gen Z ingin melakukan segala sesuatunya dengan cepat dan tidak berbelit-belit.
5. Gen Z mempunyai visi bahwa hidup harus tetap berkembang, Â Sehingga pekerjaan yang berorientasi uang akan menjadi prioritas.
6. Gen Z adalah generasi pertama dunia digital. Mereka mahir dan menguasai teknologi dari kecil. Smartphone dan media sosial bukan sekedar platform atau perangkat belaka, tetapi sudah menjadi cara hidup.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Goldman Sachs, Gen Z terhubung secara daring selama 10 jam bahkan lebih. Sementara studi lainnya menyebutkan, bahwa seperlima dari Gen Z mengalami gejala-gejala negatif, ketika mereka dijauhkan dari perangkat smartphone mereka.
7. Sebanyak 75 persen dari Gen Z, tertarik untuk memegang beberapa posisi atau jabatan sekaligus dalam suatu perusahaan. Gen Z menganggap bahwa memiliki jabatan ganda mampu mempercepat kenaikan jenjang karir mereka.
8. Gen Z memiliki pengetahuan finansial yang baik serta jelas.
Mereka sadar akan pentingnya menabung maupun investasi di masa depan. Selain itu, gen z pun dinilai lebih hati-hati agar mereka tidak terjebak dalam hutang.
9. Gen Z pada umumnya adalah generasi yang mandiri. Mereka mampu mengambil keputusan secara mandiri sejak kecil tanpa perlu peran dan pertimbangan dari orang lain.
Arah Perubahan Pendidikan Sekolah Katolik
Dunia mengalami perubahan yang begitu cepat, utamanya terkait peradaban teknologi dan informasi, dimana kedua hal tersebut berpengaruh terhadap peradaban di bidang ilmu pengetahuan lainnya, bidang sosial, politik, budaya, bahasa serta perilaku manusia.
Untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, sekolah Katolik dapat menerapkan beberapa contoh aksi nyata berikut ini ;
a. Dari karakteristik Gen Z diatas, maka para pemangku kebijakan sekolah - sekolah Katolik harus menawarkan sistem pendidikan yang baru, terutama meng-implementasikan pendidikan teknologi informasi beserta aplikasinya di ruang - ruang kelas sejak usia pendidikan dini.
Misalnya dengan mengajak anak - anak usia sekolah dasar bermain game (permainan) di ruang kelas entah dengan media apapun (smartphone/PC/Laptop), untuk selanjutnya murid digiring pada suatu pemikiran kritis, bahwa permainan-permainan tersebut dapat diciptakan sendiri dengan mengenalkan murid pada bahasa pemrograman atau aplikasi tekonologi lainnya.
b. Sekolah Katolik harus berani mengambil keputusan strategis, dengan menawarkan sistem pendidikan yang berbasis full teknologi dan informasi yang mengacu kepada kebutuhan dan penyerapan tenaga kerja, bahkan pendidikan model seperti itu wajib diterapkan sejak bangku sekolah dasar.
Misalnya dengan memperkenalkan cara penggunaan aplikasi desain seperti corel-draw, adobhe pothoshop, canva. Atau pengeditan video yang tersedia dalam beberapa aplikasi. Atau memperkenalkan murid dengan aplikasi kekinian misalnya 'chatgpt', dan lain - lain.
c. Sebagai dasar penguasaan teknologi dan informasi, sekolah Katolik sebaiknya mengajarkan peserta didik untuk terbiasa dengan percakapan bahasa inggris.
d. Sekolah dapat menekankan kegiatan kepenulisan untuk melatih siswa mempunyai kerangka berpikir dan logika yang baik, serta menumbuhkan budaya baca tulis untuk meminimalkan efek negatif dari budaya instan yang dialami Gen Z, yang disebabkan oleh kemudahan teknologi yang ditawarkan.
e. Sekolah dapat memperkenalkan cara-cara menghasilkan uang lewat aplikasi sosial media. Misalnya cara membuat akun youtube yang diharapkan dapat berkembang dan menghasilkan uang. Atau memperkenalkan sarana pemasaran barang dan jasa lewat aplikasi online, seperti facebook ads, google ads, dan sebagainya.
f. Mengajari siswa membuat website dengan berbagai macam pemanfaatan. Dan lain - lain
Itulah beberapa usulan urun rembug yang mungkin dapat menjadi masukan bagi para pemangku kebijakan sistem pendidikan sekolah - sekolah Katolik di Indonesia.
Harapan saya, dengan model pendidikan yang mengikuti arah perubahan jaman yang mengacu kepada karakteristik Gen Z, sekolah Katolik mampu kembali menjadi pioner atau roll model sistem pendidikan di Indonesia.
Tentu 'urun rembug' ini masih jauh dari sempurna. Sebab masih banyak faktor dan unsur yang memerlukan penyesuaian dan tahapan pelaksanaan secara nyata, agar sistem dapat selaras dengan kurikulum pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah.
Akhirnya, kita semua berharap, Sinode Pendidikan ini mampu menjembatani salah satu misi Gereja Katolik yang akan terus memelihara peradaban manusia dengan memajukan sistem pendidikan, karena sejatinya ilmu pengetahuan dan teknologi yang tercipta saat ini adalah budaya Gereja.
Salam pendidikan dan Berkah Dalem.
*) Urun Rembug Umat dari Lingkungan Lukas (K4) Wilayah Jebres Timur Paroki Purbowardayan Surakarta @Tantra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H