Sekolah. Ribuan anak muda mencari jati diri, dalam ruang-ruang kelas mencoba membangun diri. Namun, penghargaan diri tak terpenuhi karena sahabat sejati tak terjadi. Persahabatan dalam perlawanan, kebencian melahirkan perundungan.Â
Dugaan-dugaan peristiwa perundungan masih terjadi. Sekolah nyaman di ujung harapan, tatkala suara kebencian lahir dalam dunia pendidikan dan terus merunyam menggelar drama. Ketakutan terus tercipta dan terus melemahkan semangat anak-anak muda. Â Beregam kasus pun tercipta dan kita begitu terpada, tak sanggup berkata-kata.Â
Ketika kasus demi kasus terjadi, begitu nyata di depan mata. Kasus dugaan bullying terhadap NS (17), siswa SMAN 4 Kota Pasuruan yang terjadi dua bulan lalu, mulai mendapatkan titik temu. Para pihak yang telibat dalam kasus tersebut sedang mengajukan mediasi meski korban pernah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang. (1)
Perundungan-perundungan itu terjadi, di tengah dunia pendidikan yang seharusnya menciptakan rasa aman. Kita mungkin saja menciptakan dunia kekerasan di balik kurikulum yang terengah-engah membentuk peradaban baru generasi bangsa. Meski usaha nyata terus kita lakukan, nyatanya anak-anak kita masih terjebak dalam ruh kekerasan.Â
Perundungan itu terus menyasar anak-anak bangsa, bahkan wajah-wajah anak tingkap SMP, seolah tak peduli dengan hukuman yang menakutkan. Anak-anak itu tetap saja menunjukkan dunia kekerasan. B, Z, dan Ab, tiga terduga pelaku perundungan A, siswa SMP swasta di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, diberi sanksi oleh pihak sekolah.Â
Sanksi tersebut dijatuhkan menyusul kesepakatan damai yang dicapai lewat mediasi pihak sekolah, orangtua terduga pelaku, orangtua korban, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Bogor di gedung sekolah, Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Senin (14/10/2024). (2)
Kita mungkin saja menciptakan perbadaban kekerasan di balik kurikulum yang terengah-engah membentuk peradaban baru generasi bangsa. Meski usaha nyata terus kita lakukan, nyatanya anak-anak kita masih terjebak dalam dunia kekerasan.
Bersatu padu
Kita merasa marah, emosi terus meninggi tatkala anak-anak itu tak lagi menunjukkan empati. Perasaan begitu dangkal, keihklasan tak lagi hidup nyata, apalagi persahabatan hanya menjadi jargon kosong tanpa makna. Kekerasan memang tampak nyata, hidup subur dalam dunia kemiskinan moral dan etika. Riak-riak kecil itu pun menjadi noda-noda  pendidikan yang masih tumbuh mengisap nadi karakter anak negeri. Seolah terus menghantui, perundungan terjadi membentuk energi kebusukan tak terhormat.Â
Emosi terus terjadi. Anak-anak melibatkan diri dalam bara kedengkian dan kemarahan membabi buta. R (15), seorang siswa berkebutuhan khusus (ABK) di sebuah SMP negeri di Depok, kini enggan kembali bersekolah setelah menjadi korban perundungan oleh teman-teman seangkatannya.Â
"Dia tidak mau sekolah dulu sih, tetapi dari Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, serta terkait psikologisnya, mereka ingin mendampingi anak saya," ujar F, ayah R, saat ditemui Kompas.com, Kamis (3/10/2024).R baru saja menjalani operasi penyambungan urat di jempol tangan kirinya pada Selasa (1/10/2024). Operasi ini dilakukan setelah R melukai dirinya sendiri dengan memukul kaca jendela kelas, sebagai pelampiasan emosi akibat perundungan yang dialaminya. (3)
Perundungan itu masih terjadi dan mungkin saja tersembunyi di balik dinding-dinding kelas, di antara dinding sekolah dan  masyarakat, atau menyasar dalam keluarga-keluarga kita.Â
Maka, sekolah tidak bisa sendiri, apalagi memerangi begitu banyak aksi yang terus memenuhi dada anak-anak muda negeri. Membentengi keluarga dengan relasi sehat, membentuk masyarakat kuat dan penuh toleransi, dan menjadikan sekolah sebagai ladang yang menumbuhkan persahabatan dan pribadi peduli.Â
Maka, sekolah tidak bisa sendiri, apalagi memerangi begitu banyak aksi yang terus memenuhi dada anak-anak muda negeri. Membentengi keluarga dengan relasi sehat, membentuk masyarakat kuat danpenuh toleransi, dan menjadikan sekolah sebagai ladang yang menumbuhkan pribadi peduli.Â
Sekolah selayaknya terus berkehendak membentuk diri, bukan hanya membangun tembok-tembok tinggi dan tersembunyi. Sekolah harus menjadi ruang membentuk seluruh siswa mampu menjadi diri sendiri, terlibat dalam beragam dialog, terus menumbuhsuburkan kekayaan intelektual dan batin, agar dalam dirinya tumbuh rasa dekat dan bersahabat. Karena, pribadi empati lahir dari persahabatan otentik dan sejati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H