Mohon tunggu...
Arif Setiyanto
Arif Setiyanto Mohon Tunggu... -

State University of Jakarta 2009 | writer| mimpi tinggi, cerita panjang, khayalan luas, harapan terbentang | kamu adalah apa yang kamu keluarkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Janji Malam

19 Maret 2014   20:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:44 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1

Mana janjimu. Katamu, kau bakal kembali saat-saat malam. Angin di gelap sini sudah terlalu banyak menyepuh tulang-tulang tegakku hampir rapuh. Tangeh lamun. Sepertinya kau berbohong, Nis. Mungkin ucapanmu kala itu hanyalah kumpulan kata penghibur agar aku tak begitu memperbanyak porsi sedih di saat perpisahan. Atau kau hanya menganggap perasaanku saat itu ialah sebuah kobaranblarak –daun kelapa yang sudah tua- yang hanya sesaat besar dan dengan cepat menciut. Jika benar itu adanya, kau egois, Nis!

“Tunggulah saat malam berwarna perak karena purnama, aku akan kembali untuk melunasi janji!”

Kau ucapkan itu. Dan warna pipimu memerah, malu. Aku hanya memandangnya saja. Karena di agama kita, sangat pantang seorang bocah muda menyentuh kulit wanita. Ingatkah kau saat Modin Parman –Kyai yang sering menjaga masjid- mengomel karena tak sengaja bahuku menyentuh bahumu saat berebut wudhu dengan anak-anak TPA lainnya.

“Enggar! Muliakan wanita. Agar wanitamu kelak memuliakanmu!”

Plak!

Tongkat tuanya mendarat keras di bokongku, karena ini masuk dalam pelanggaran kelas menengah.

Dan kau hibur aku dengan senyum tipismu yang entah apa maknanya.

2

“Annisah Pregiwa!”

Nama itu kau tekankan saat perkenalanmu di depan kelas waktu silam. Dengan segera pemuda kampung yang norak langsung menanyakan alamat rumah, nomor HP –karena saat itu kami sedang gencar-gencarnya menggunakan teknologi itu-, bahkan ada yang menanyakan ukuran sepatumu. Yaa, wajarlah. Kau punya wajah yang cantik, ayu menurutku. Nuansa perkotaan masih kau bawa. Bagaimana lelaki muda macam kami tak tertarik. Kau langsung tenar. Semua anak muda seakan sepakat mengadakan sayembara tanpa materai, siapa yang bisa memacarimu, dia dinobatkan sebagai pemuda terganteng momor satu semua penjuru sekolahan ini. Dan yang tak kalah heboh, kaum hawa. Bau dengki menyeruak di segala genk, membicarakanmu yang bukan-bukan, mengataimu yang neko-neko. Maklum, sekolah kami pas-pasan. Yang laki-laki berwajah tak lebih dari enam koma lima. Perempuannya, terlalu sering diampelas bedak parem seribu sebungkus.

Kala itu kau sakit. Entah, mungkin karena nuansa desa sangatlah kontras dengan kota tempat tinggalmu dulu. Dan kamu belum sanggup beradaptasi. Dan ketika itu akulah yang disuruh Pak Tarjo mengantarmu. Ada tiga alasan mengapa kau harus diantar denganku. Pertama, kondisimu sudah kelewat parah. Kedua, aku membawa sepede ontel bersama boncengannya. Terakhir, rumah kita hanyalah berjarak satu kilo. Jarak terdedat dibanding murid lainnya.

“Mas, nggak keberatan mboncengin saya?”, ucapmu ragu.

“Mas? Namaku, Enggar Saputra. Panggil, Enggar!”, balasku masih giat mengayuh.

“Enggar nggak keberatan? Biasanya kan, ini buat Enggar mboncengin rumput!”

“Oh, ndak..... ndak keberatan saya!”

Nafasku tersengal luar biasa. Kakiku cenat-cenut tak ketulungan, gempor. Aku tahu, bukan porsinya sepeda butut ini mengangkut. Aku sudah sangat lelah. Namun, mungkin inilah esensi cinta itu. Walaupun nafasku hampir copot, aku masih saja berbohong merasa kuat. Bahkan aku merasa tenagaku pulih seketika. Entah dari luar mana energi dalam ini. Dan aku berkesimpulan. Cinta itu membuat kita bohong, bahkan kita bisa dibohongi oleh akal kita sendiri.

“Maaf ya, aku ndak bisa mengantarmu pulang sampai rumah.”, kataku, saat sepeda harus aku tuntun karena jalan menanjak, dan kau menyertai dari sisi samping.

“Lho? Kenapa?”

Aku diam. Entah berani, entah tidak meneruskan.

“Kamu pasti mau bilang, ‘takut nanti dimarahin pacarmu’. Terus aku bilang, ‘aku nggak punya pacar kok’. Lalu, kamu balas, ‘boleh nggak aku jadi pacarmu?’ basi banget!!!”, balasmu beruntun, bahasa kotanya keluar semua.

Ini yang kusuka darimu, menebak serangan para kumbang kampung yang nakal.

“Iya kan!”, lanjutmu.

“Enggak!”

“Lalu? Kenapa kamu nggak mau mengantarku sampai rumah?”

“Gimana mau sampai rumah, masak aku harus mengantar bidadari ke khayangan!”

“GOMBALLLLL!”

“Anis kira Enggar beda dengan cowok sekolah lainnya. Sama aja!”

Kita tertawa bersama. Namun, segera kau tutup dengan tangan kananmu. Aku merasa menang telak, misiku berhasil tanpa cacat, dia tak marah, bahkan menemaniku tertawa.

Mulai dari itu kita kian akrab. Sehingga aku tahu keadaan keluargamu. Ayahmu seorang angkatan TNI yang sering pindah tempat. Dan kontrak di desa ini hanyalah empat bulan. Cukup singkat untuk menjabarkan cintaku yang abstrak dan absurd ini.

3

Dan sudah dua belas purnama aku habiskan. Aku sudah lulus SMA, Nis. Bagaimana denganmu. Sebenarnya kau ingin kususul, tapi terlalu bodoh aku untuk menjawab balasan batinku, memangnya siapa yang tahu tempat tinggalmu sekarang. Di desakah, atau di kota. Atau jangan-jangan desa seberang yang hanya berbatas bentangan Waduk Gajah Mungkur. Entahlah.

Seperti biasa, di sekolah kau hanya mengenal aku dan Pak Sarmin, pemilik kantin paling ujung dekat kelas kita.

“Sekilas kalian cocok buat berpacaran.”, cletuk Pak Min saat mengantar es teh dihadapan kita.

“Pak Min, biar waktu yang menjawab!”, balasku, sekenanya.

Kutatap engkau. Seperti biasa, senyuman ringan mengembang tipis.

“Kan sekilas...”

“Tanggal lahirmu kapan, cah ayu?”, tanya Pak Min menatap wajahmu.

“Jangan Nis, jangan beri tahu!”

“Kenapa?”

Alah. Pak Min itu PPT. Para Pencari Togel. Tanggal lahir kita bisa jadi prediksi nomor yang bakal dipasang nanti siang!”

“Tenang Ngger. Ada persenan!”

Dari penawaran kontroversi itu, kita digirng ke kantor BP. Ternyata seorang siswi bermulut ember membuat persaksian jika kita ikut menolong memberi nomor Pak Min. Yaa, kala itu sekolah sedang gempar dengan adanya beberapa murid yang terciduk dalam patroli polisi karena diduga memasang togel. Habislah kita berdua. Seorang saolin hadir ditengah-tengah sekolah kampung, dan wanita bermuka coreng-moreng penuh lukisan angus batok kepala. itu, kita berdua.

Kau menangis. Seperti biasa kau kuantar pulang. Ayahmu terlanjur mendengar kabar dari pihak yang keliru. Kepalaku bakal terisi peluru bedil jika masih saja dekat denganmu. Dari kecil aku paling takut dengan hal yang berhubungan dengan angkatan. Selama sebulan, aku tak berani menyambangimu. Melihatmu saja aku segan.

Dan waktumu disini sudah habis. Aku mencoba menghapus ketakutan. Kita berdua bertemu di emperan Langgar Pak Modin Parman. Tempat kita mengajar TPA setiap malam.

“Enggar nggak marah sama Anis kan?”, matamu memerah. Aku tahu, kau pun merasa kesedihanku.

Aku menggeleng.

“Tunggulah saat malam berwarna perak karena purnama, aku akan kembali untuk melunasi janji!”

“Janji apa?”

“Kamu memuliakan wanita. Kamu pasti mendapatkan wanita mulia yang memuliakanmu!”

Dan itu, kamu. Kata itu cukup berat keluar Nis, hanya sampai kerongkongan saja.

Lalu angin masih berhembus seperti kemarin, kau menghilang bersama jejak mulia ayahmu.

4

Tubuhku melemah, Nis. Tiga bulan yang lalu ibu sudah menasihatiku untuk tak menjadi marbot langgar. Untuk tak tidur di emperan, mengakhiri pola makan tak keruan, dan segera melupakan namamu. Modin Man pun sudah cukup lelah menemaniku menatap purnama. Semua orang se-desa sudah menvoniskugendheng. Bahkan pemuda teman SMA kita dulu selalu bersyukur ketika melihatku, karena mereka merasa beruntung tak mendapatkan kau dulu.

Namun, aku yakin. Kau wanita baik-baik. Waktu yang kuhabiskan masih terlalu singkat untuk menunggu wanita mulia yang ‘sebentar lagi’ menemuiku. Tapi aku tak tahu, seberapa ‘sebentar lagi’ menurut perasaanmu. Karena komponen semua itu relatif. Namun, percayalah, cintaku padamu multak. Hingga saat ini, esok, dan hari depan!

Arif Setiyanto dan kerinduan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun