Kala itu kau sakit. Entah, mungkin karena nuansa desa sangatlah kontras dengan kota tempat tinggalmu dulu. Dan kamu belum sanggup beradaptasi. Dan ketika itu akulah yang disuruh Pak Tarjo mengantarmu. Ada tiga alasan mengapa kau harus diantar denganku. Pertama, kondisimu sudah kelewat parah. Kedua, aku membawa sepede ontel bersama boncengannya. Terakhir, rumah kita hanyalah berjarak satu kilo. Jarak terdedat dibanding murid lainnya.
“Mas, nggak keberatan mboncengin saya?”, ucapmu ragu.
“Mas? Namaku, Enggar Saputra. Panggil, Enggar!”, balasku masih giat mengayuh.
“Enggar nggak keberatan? Biasanya kan, ini buat Enggar mboncengin rumput!”
“Oh, ndak..... ndak keberatan saya!”
Nafasku tersengal luar biasa. Kakiku cenat-cenut tak ketulungan, gempor. Aku tahu, bukan porsinya sepeda butut ini mengangkut. Aku sudah sangat lelah. Namun, mungkin inilah esensi cinta itu. Walaupun nafasku hampir copot, aku masih saja berbohong merasa kuat. Bahkan aku merasa tenagaku pulih seketika. Entah dari luar mana energi dalam ini. Dan aku berkesimpulan. Cinta itu membuat kita bohong, bahkan kita bisa dibohongi oleh akal kita sendiri.
“Maaf ya, aku ndak bisa mengantarmu pulang sampai rumah.”, kataku, saat sepeda harus aku tuntun karena jalan menanjak, dan kau menyertai dari sisi samping.
“Lho? Kenapa?”
Aku diam. Entah berani, entah tidak meneruskan.
“Kamu pasti mau bilang, ‘takut nanti dimarahin pacarmu’. Terus aku bilang, ‘aku nggak punya pacar kok’. Lalu, kamu balas, ‘boleh nggak aku jadi pacarmu?’ basi banget!!!”, balasmu beruntun, bahasa kotanya keluar semua.
Ini yang kusuka darimu, menebak serangan para kumbang kampung yang nakal.