Mohon tunggu...
Arif R. Prasetya
Arif R. Prasetya Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Program Pascasarjana Ekonomi Islam, UII Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Kemelut First Travel, Revolusi Mental dan Literasi Keuangan

30 Agustus 2017   09:51 Diperbarui: 30 Agustus 2017   10:01 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi: First Travel

Sejak beberapa waktu terakhir berbagai media tak henti-hentinya dihiasi berita kasus Fisrt travel yang disinyalir telah banyak merugikan masyarakat. Pasalnya perusahaan ini banyak menelantarkan calon peserta Umrah tertunda berangkat bahkan gagal berangkat ke tanah suci.

Modus Penawaran

Saat animo haji masyarakat meningkat sementara antrean daftar tunggu berangkat haji yang cukup lama lebih dari 15 tahun, mereka yang sangat ingin segera ke tanah suci, ibadah umroh banyak menjadi alernatif pilihan untuk dilaksanakan terlebih dulu. Merebaklah bisnis travel umroh, termasuk Firts Travel menangkap peluang ini. Berawal dari sebuah bisnis biro perjalanan wisata, di bawah bendera CV First Karya Utama yang berdiri 1 Juli 2009. Kemudian sejak 2011, First Travel merambah bisnis perjalanan umroh di bawah bendera PT First Anugerah Karya Wisata

 First Travel memasarkan umrah dengan harga murah, yakni Rp14 jutaan. Padahal, umumnya skitar Rp 21 juta. Dalam rangka promosi pun, First Travel melibatkan sejumlah artis dengan memberangkatkan mereka umrah gratis untuk mendongkrak promo.

Laju bisnis First semakin meroket. Kian moncer setelah meraih penghargaan Business & Company Winner Award 2014 untuk kategori "The Most Trusted Tour & Travel". Pada 2014-2015 berhasil merekrut 35.000 lebih jamaah. Bahkan, manasik umrah yang digelarnya di Gelora Bung Karno pada 1 November 2014 tercatat dalam rekor MURI; Manasik Akbar Umrah Terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Reaksi Travel lain

Tahun 2014, salah satu asosiasi biro umrah, Amphuri, menetapkan standar minimal biaya perjalanan umrah. 'Tarif bawah' itu ditetapkan USD$ 1.700, atau saat itu sekitar Rp 20 jutaan. Bila ada biro yang menawarkan harga di bawah itu, patut dicurigai. Aturan ini diikuti oleh asosiasi biro umrah lainnya, yakni Himpuh, Asphurindo, dan Kesthuri.

Penertiban penyelenggara umrah dilakukan. Peraturan Menteri Agama tentang penyelenggaraan umrah juga diterbitkan, yakni, PMA Nomor 18 Tahun 2015. Salah satunya bahwa tidak direkomendasikannya penerbitan visa bagi PPIU atau biro perjalanan umrah yang tidak terdaftar di Kemenag. Penerbitan visa atas rekomendasi asosiasi. Saat itu, First Travel sempat mendaftarkan diri ke empat asosiasi yang ada, tapi tidak diberi ruang dikarenakan tidak memenuhi salah satu syarat yang mereka ajukan, yaitu mempresentasikan pola kerja dan jaringan bisnis jasa umrah berbiaya murah. Diduga Fist Travel menerapkan skema ponzi. Namun belakangan First menolak tudingan skema 'subsidi dari jemaah baru' ala ponzi tersebut. Merespon penolakan asosiasi, First pun menginisiasi pembentukan asosiasi baru pada 2016 bersama beberapa agen perjalanan lainnya, bernama Perkumpulan Travel Umrah dan Haji (Pratama) dengan Andika, Direktur First sebagai ketua.

Pada akhirnya Kementerian Agama mencabut izin layanan umrah dari PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel), tertuang dalam SK tertanggal 3 Agustus 2017 ber nomor B-3005/Dj/Dt.II.I/4/Hj.09/09/2017. Hal tersebut didasarkan pada keputusan Menteri Agama RI Nomor 589 Tahun 2017. Sementara lebih dari 58.682 jemaah telantar dan 848,7 milyar dana korban harus dipertanggungjawabkan oleh pihak Fisrt Travel. Menurut PPATK, dimungkinkan dana tersebut ada yang diinvestasikan dan digunakan unuk kepentingan pribadi.

Bagaimana Menyikapi

Revolusi mental, sebuah gagasan yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan  RI 17 Agustus 1956. Soekarno melihat revolusi nasional saat itu sedang mandek, sementara cita-cita meraih kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya belum tercapai.

Dalam berbisnis, ada etika, moral dan perilaku yang harus diterapkan. Menurut Yusanto dan Karebet (2002), bahwa dalam Islam, bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).

Dalam membelanjakan hartapun kita dilarang israf dan tabzir. Rasionalitas dalam Ekonomi Islam mengajarkan bahwa perilaku kaum muslimin diarahkan untuk mempertimbangkan kepentingan diri, sosial dan pengabdian kepada Allah SWT. Mengutamakan maslahah dan berkah untuk mencapai falah.

Literasi Keuangan

Mengintip di laman OJK, berdasarkan survei OJK tahun 2013 tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia dibagi menjadi empat bagian, yakni:

Well literate (21,84 %), yakni memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan serta produk jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan, serta memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan.

Sufficient literate (75,69 %), memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan.

Less literate (2,06 %), hanya memiliki pengetahuan tentang lembaga jasa keuangan, produk dan jasa keuangan.

Not literate (0,41%), tidak memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap lembaga jasa keuangan serta produk dan jasa keuangan, serta tidak memiliki keterampilan dalam menggunakan produk dan jasa keuangan.

Bagi masyarakat, Literasi Keuangan memberikan manfaat yang besar, seperti:

Mampu memilih dan memanfaatkan produk layanan jasa keuangan yang sesuai kebutuhan; memiliki kemampuan dalam melakukan perencanaan keuangan dengan lebih baik;

Terhindar dari aktivitas investasi pada instrumen keuangan yang tidak jelas;

  1. Mendapatkan pemahaman mengenai manfaat dan risiko produk dan layanan jasa keuangan.
  2. Literasi Keuangan juga memberikan manfaat yang besar bagi sektor jasa keuangan. Semakin tinggi tingkat Literasi Keuangan masyarakat, maka semakin banyak masyarakat yang akan memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan.

Riset terbaru di 2016 menyebutkan bahwa indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 29,6 sementara di 2013 sebesar 21,8. Sisi lain indeks inklusi keuangan Indonesia di 2016 mencapai 67,8. Artinya, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum melek dan teredukasi mengenai keuangan. Akibatnya, di Indonesia marak terjadi investasi ilegal yang merugikan masyarakat, bahkan masyarakat dengan pendidikan tinggi sekalipun.

Begitulah, masyarakat butuh berliterasi keuangan sehingga ketika akan menggunakan ataupun berinvestasi bisa menentukan pilihan yang tepat dan aman. Modus penipuan keuangan selama ini relatif sama, lihai dalam memanfaatkan emosi dan keinginan masyarakat padahal jika dianalisa lebih lanjut dan berhati-hati, karakternya sudah bisa dikenali. Jadi, bukan pinter malingnya, tapi kita yang butuh sedikit lebih jeli dan cerdas. Waspadalah!

Oleh: Arif Rahman Prasetya

(Mahasiswa Program Pascasarjana Ekonomi Islam, UII Yogyakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun