Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kompas Moral, Kelayakan Penerima Bantuan Saat Krisis Pandemi

12 April 2020   11:48 Diperbarui: 12 April 2020   11:51 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi miskin dan kaya (erllre) sumber : Kompas.com

Kami bekerjasama dengan sebuah yayasan yang setiap tahun secara rutin merekomendasikan nama siswa yang kesulitan biaya hidup. Yang saya pelajari adalah, bagaimana yayasan tersebut melakukan screening kepada siapa yang masuk dalam kategori tidak mampu dan layak dibantu. 

Misalnya, mereka tidak merokok. Asumsinya adalah, jika mereka mampu membeli rokok, maka sedianya mereka mampu membeli beras, yang harga per kilonya sama dengan harga sebungkus rokok.

Pernah pula, seorang calon mahasiswa dicoret oleh yayasan, padahal sudah lolos penerimaan sebagai mahasiswa di lembaga kami. Belakangan kami mendapat laporan bahwa mahasiswa tersebut ternyata ketahuan memiliki kamera SLR. 

Jika perilaku hidupnya masih mampu mengalokasikan 'enerji' untuk membeli kamera SLR, maka rasanya tidak pas jika yang bersangkutan masuk kategori orang yang tidak mampu dan layak dibantu.

Padahal, krisis yang dua dekade terakhir rutin terjadi, sebenarnya mengajarkan kita untuk memiliki dana proteksi. Seperti kata Tom Kirkman, tokoh dalam serial Netflix Designated Survivor, "lebih baik melakukan persiapan untuk hal yang terburuk sekalipun itu tidak terjadi, daripada tidak mempersiapkan apa-apa dan akhirnya hal yang buruk justru terjadi."

 Empat kelompok masyarakat

 Ini alasan kenapa saya akhirnya setuju dengan Steven D Levitt dan Stephen J Dubner, orang-orang tidak membayar biaya sebenarnya dari proses pengorbanan, cenderung mengonsumsinya dengan tidak efisien. 

Jadi ini sebenarnya bukan masalah siapa yang mampu dan tidak, tapi ini soal perilaku dan gaya hidup yang mestinya jadi tolak ukur apakah seseorang itu layak dibantu atau sebaliknya. Kita bisa membuat cluster merespon situasi ini, sebagai 'kompas moral' untuk para pendonasi memberikan uluran tangannya.

Pertama, kelompok yang secara fundamental mampu dan memiliki aktifitas ekonomi yang wajar, namun tidak disiplin dalam pengelolaan keuangannya. Sehingga terdampak ekonomi ketika pandemi terjadi. Kelompok ini, pada dasarnya memiliki aset dari barang-barang yang mampu dibelinya ketika ekonomi normal.

Mulai dari alat transportasi, handphone yang bukan tidak mungkin dari seri keluaran terbaru. Belum lagi jam tangan, tas atau sepatu yang umumnya berdasar survei di atas, adalah produk-produk yang suka dibeli oleh masyarakat kita secara online. Semua itu adalah aset yang bisa dicairkan jika kesulitan keuangan di situasi pandemi ini.

Yang punya motor seri 2019, bisa ditukar tambah dengan yang seri lebih lawas. Yang punya handphone dengan kamera 'beribu pixel', bisa ditukar dengan yang lebih sederhana. Bahkan kalau perlu, melepaskan aset-aset tetap lainnya yang tidak bisa menjadi 'hidangan' di atas meja makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun