Ratusan juta anak-anak atau para pemuda di Indonesia merupakan pengguna internet. Namun baru sedikit yang memanfaatkan perkembangan teknologi ini untuk hal-hal produktif. Sebanyak 52,28 persen anak muda menggunakan internet untuk hiburan. Sebagaimana di lansir dari Merdeka.com.
Sejak era 70-an, Indonesia juga tercatat sebagai negara yang konsumtif. Itu sebabnya semua produk yang dijual, menyasar Indonesia sebagai target empuknya. Ini tetap terjadi bahkan ketika Indonesia (dan juga dunia) mengalami krisis.Â
Pada Harbolnas 2019 lalu saja misalnya, tercatat transaksi Rp 6.8 triliun atau naik Rp 2.1 triliun dari nilai transaksi sebelumnya, 46% di antaranya disumbangkan produk lokal sebagaimana dirilis majalah Money&I (Moneyinsight.id).
Entah apakah masyarakat memang berbelanja kebutuhannya, atau mumpung ada diskon mereka akhirnya belanja, sekalipun mungkin untuk barang yang sebenarnya belum dibutuhkan.
Riset dari IPSOS, melalui IPSOS Indonesia menyampaikan bahwa 64 persen milenial berbelanja secara online, di mana 43 persen dari mereka melakukannya sebulan sekali. Produk yang digandrungi adalah busana dan peralatan olahraga.Â
Sementara IDN Research Institute, dalam studi mereka yang berjudul Indonesia Millenial Report 2019, menyebutkan hanya 10,7 persen dari pendapatan yang ditabung oleh milenial. "Dari hasil survei, sebenarnya milenial cukup konsumtif menggunakan uangnya," tulis William Putra Utomo pendiri IDNTime yang juga penulis laporan tersebut.
Terdampak ekonomi karena pandemi
Tiba-tiba sekarang, dunia dan juga Indonesia memasuki masa krisis yang menghantam semua level masyarakat, bahkan hingga klub-klub kaya liga Eropa yang prestisius pun terdampak hingga memotong gaji pemainnya. Banyak orang dan masyarakat dari berbagai strata kini berada dalam kesulitan ekonomi karena pandemi.
Berbagai program kemudian digagas, pemberian bantuan menjadi bagian di antaranya. Dilemanya adalah, bagaimana kebijakan memberikan bantuan yang ideal dilakukan, merujuk data-data yang kita lihat miris di atas?
Masyarakat kita yang doyan belanja dan belum bisa mengelola uangnya secara bijak di saat situasi ekonomi tengah normal, namun justru tidak memiliki tabungan dan investasi. Yang ketika krisis kemudian terjadi, akhirnya menjadi bagian dari yang terdampak?
Belum lagi sejumlah kabar dari berbagai media, yang menyebutkan bahwa banyak penerima bantuan salah sasaran. Bahkan temuan di lapangan, ada yang melaporkan diterima berlebih dan membuat penerima bantuan justru menikmati hidup dari donasi, yang dicurigai mereduksi ikhtiar mereka untuk tetap produktif dan bekerja.
Pengalaman 6 tahun silam, ketika saya memulai kerjasama dengan sebuah yayasan, kemudian memberikan perspektif baru soal ini. Ketika itu, saya memulai sebuah lembaga pendidikan yang memberikan beasiswa ke anak-anak yang tidak mampu.Â