David Cameron, di masanya ketika akan menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris, mengundang penulis buku sukses Freakonomics, Steven D Levitt dan Stephen J Dubner. Dalam pertemuannya, para penulis ini justru menilai bahwa kebijakan rumah sakit gratis bagi yang tidak mampu perlu dikaji ulang.
Menurut mereka, "peraturan kesehatan merupakan hampir satu-satunya bagian ekonomi ketika individu bisa datang dan mendapatkan hampir semua pelayanan yang mereka butuhkan dan hampir tanpa membayar sepeser pun, entah biaya sebenarnya untuk prosedur tersebut adalah 100 dolar ataukah 100 ribu dolar," pemikiran mereka.
Bukan cuma rumah sakit, soal transportasi gratis juga mereka highlight. Apa yang salah dengan itu?
"Ketika orang-orang tidak membayar biaya sebenarnya dari sesuatu, mereka cenderung mengonsumsinya dengan tidak efisien," dalihnya.
David Cameron yang mendengar pemikiran ini, cuma tersenyum, menjabat tangan kedua penulis tersebut kemudian pergi!
Pemikiran -yang mungkin, tidak menggubris pemimpin politik seperti Cameron, sebenarnya reliable di lapangan. Kita bisa dengan mudah mengukurnya, dari apa-apa yang terlihat di sekitar.Â
Katakan saja di restoran All You Can Eat, pembeli yang datang, cenderung makan melebihi porsi yang biasanya mereka konsumsi. Di acara undangan pernikahan, sering kali kita melihat banyak piring yang masih menyisakan lauk pauk yang terbuang begitu saja. Pun sarapan yang disediakan hotel secara gratis, disantap untuk semua menu melebihi porsi biasanya ketika sarapan di rumah.
Bahkan kalau bicara data, maka statistiknya sudah cukup untuk membuat kita tepok jidat. Berdasarkan laporan ICASEA, di antara negara ASEAN, Indonesia yang paling boros energi sebagaimana dikutip dari kontan.co.id tahun 2014.Â
Indonesia adalah negara yang paling boros pangan menurut FAO (Food and Agricultural Organization). Pada tahun 2018, kita impor setidaknya 1.600 ton beras sebagaimana dikutip dari Liputan6.com.
Ironisnya, Indonesia salah satu negara paling sering membuang makanan. Laporan Global Food Sustainability Index menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua negara yang suka membuang makanan (Dream.co.id, 2018).Â
Kebiasaan buruk ini termasuk dari hal menyimpan makanan dengan stok yang berlebihan hingga kedaluwarsa. Efek lainnya adalah penumpukan sampah organik yang kemudian menjadi limbah karena tak diolah dengan tepat.
Ratusan juta anak-anak atau para pemuda di Indonesia merupakan pengguna internet. Namun baru sedikit yang memanfaatkan perkembangan teknologi ini untuk hal-hal produktif. Sebanyak 52,28 persen anak muda menggunakan internet untuk hiburan. Sebagaimana di lansir dari Merdeka.com.
Sejak era 70-an, Indonesia juga tercatat sebagai negara yang konsumtif. Itu sebabnya semua produk yang dijual, menyasar Indonesia sebagai target empuknya. Ini tetap terjadi bahkan ketika Indonesia (dan juga dunia) mengalami krisis.Â
Pada Harbolnas 2019 lalu saja misalnya, tercatat transaksi Rp 6.8 triliun atau naik Rp 2.1 triliun dari nilai transaksi sebelumnya, 46% di antaranya disumbangkan produk lokal sebagaimana dirilis majalah Money&I (Moneyinsight.id).
Entah apakah masyarakat memang berbelanja kebutuhannya, atau mumpung ada diskon mereka akhirnya belanja, sekalipun mungkin untuk barang yang sebenarnya belum dibutuhkan.
Riset dari IPSOS, melalui IPSOS Indonesia menyampaikan bahwa 64 persen milenial berbelanja secara online, di mana 43 persen dari mereka melakukannya sebulan sekali. Produk yang digandrungi adalah busana dan peralatan olahraga.Â
Sementara IDN Research Institute, dalam studi mereka yang berjudul Indonesia Millenial Report 2019, menyebutkan hanya 10,7 persen dari pendapatan yang ditabung oleh milenial. "Dari hasil survei, sebenarnya milenial cukup konsumtif menggunakan uangnya," tulis William Putra Utomo pendiri IDNTime yang juga penulis laporan tersebut.
Terdampak ekonomi karena pandemi
Tiba-tiba sekarang, dunia dan juga Indonesia memasuki masa krisis yang menghantam semua level masyarakat, bahkan hingga klub-klub kaya liga Eropa yang prestisius pun terdampak hingga memotong gaji pemainnya. Banyak orang dan masyarakat dari berbagai strata kini berada dalam kesulitan ekonomi karena pandemi.
Berbagai program kemudian digagas, pemberian bantuan menjadi bagian di antaranya. Dilemanya adalah, bagaimana kebijakan memberikan bantuan yang ideal dilakukan, merujuk data-data yang kita lihat miris di atas?
Masyarakat kita yang doyan belanja dan belum bisa mengelola uangnya secara bijak di saat situasi ekonomi tengah normal, namun justru tidak memiliki tabungan dan investasi. Yang ketika krisis kemudian terjadi, akhirnya menjadi bagian dari yang terdampak?
Belum lagi sejumlah kabar dari berbagai media, yang menyebutkan bahwa banyak penerima bantuan salah sasaran. Bahkan temuan di lapangan, ada yang melaporkan diterima berlebih dan membuat penerima bantuan justru menikmati hidup dari donasi, yang dicurigai mereduksi ikhtiar mereka untuk tetap produktif dan bekerja.
Pengalaman 6 tahun silam, ketika saya memulai kerjasama dengan sebuah yayasan, kemudian memberikan perspektif baru soal ini. Ketika itu, saya memulai sebuah lembaga pendidikan yang memberikan beasiswa ke anak-anak yang tidak mampu.Â
Kami bekerjasama dengan sebuah yayasan yang setiap tahun secara rutin merekomendasikan nama siswa yang kesulitan biaya hidup. Yang saya pelajari adalah, bagaimana yayasan tersebut melakukan screening kepada siapa yang masuk dalam kategori tidak mampu dan layak dibantu.Â
Misalnya, mereka tidak merokok. Asumsinya adalah, jika mereka mampu membeli rokok, maka sedianya mereka mampu membeli beras, yang harga per kilonya sama dengan harga sebungkus rokok.
Pernah pula, seorang calon mahasiswa dicoret oleh yayasan, padahal sudah lolos penerimaan sebagai mahasiswa di lembaga kami. Belakangan kami mendapat laporan bahwa mahasiswa tersebut ternyata ketahuan memiliki kamera SLR.Â
Jika perilaku hidupnya masih mampu mengalokasikan 'enerji' untuk membeli kamera SLR, maka rasanya tidak pas jika yang bersangkutan masuk kategori orang yang tidak mampu dan layak dibantu.
Padahal, krisis yang dua dekade terakhir rutin terjadi, sebenarnya mengajarkan kita untuk memiliki dana proteksi. Seperti kata Tom Kirkman, tokoh dalam serial Netflix Designated Survivor, "lebih baik melakukan persiapan untuk hal yang terburuk sekalipun itu tidak terjadi, daripada tidak mempersiapkan apa-apa dan akhirnya hal yang buruk justru terjadi."
 Empat kelompok masyarakat
 Ini alasan kenapa saya akhirnya setuju dengan Steven D Levitt dan Stephen J Dubner, orang-orang tidak membayar biaya sebenarnya dari proses pengorbanan, cenderung mengonsumsinya dengan tidak efisien.Â
Jadi ini sebenarnya bukan masalah siapa yang mampu dan tidak, tapi ini soal perilaku dan gaya hidup yang mestinya jadi tolak ukur apakah seseorang itu layak dibantu atau sebaliknya. Kita bisa membuat cluster merespon situasi ini, sebagai 'kompas moral' untuk para pendonasi memberikan uluran tangannya.
Pertama, kelompok yang secara fundamental mampu dan memiliki aktifitas ekonomi yang wajar, namun tidak disiplin dalam pengelolaan keuangannya. Sehingga terdampak ekonomi ketika pandemi terjadi. Kelompok ini, pada dasarnya memiliki aset dari barang-barang yang mampu dibelinya ketika ekonomi normal.
Mulai dari alat transportasi, handphone yang bukan tidak mungkin dari seri keluaran terbaru. Belum lagi jam tangan, tas atau sepatu yang umumnya berdasar survei di atas, adalah produk-produk yang suka dibeli oleh masyarakat kita secara online. Semua itu adalah aset yang bisa dicairkan jika kesulitan keuangan di situasi pandemi ini.
Yang punya motor seri 2019, bisa ditukar tambah dengan yang seri lebih lawas. Yang punya handphone dengan kamera 'beribu pixel', bisa ditukar dengan yang lebih sederhana. Bahkan kalau perlu, melepaskan aset-aset tetap lainnya yang tidak bisa menjadi 'hidangan' di atas meja makan.
Jadi apakah kelompok pertama ini layak dibantu? Kompas moral Anda yang menentukan.
Kedua, kelompok masyarakat yang punya akses untuk bisa bekerja, punya latar belakang pendidikan yang baik, namun memang memutuskan tidak bekerja, atau hidup dengan menggantungkan nasib dari orang lain. Alasan ini, bisa membuat mereka masuk dalam kategori yang terdampak secara ekonomi karena pandemi.
Karena tanpa adanya krisis pun, mereka tetap saja tidak menjadi bagian solusi dari ekonomi. Kita sudah belajar dari banyak orang yang punya keterbatasan, hidup dari sektor informal tapi bisa naik haji, menyekolahkan anaknya ke luar negeri, dan tetap bisa produktif sekalipun di tengah himpitan situasi. Semua itu bisa terjadi, karena ada upaya untuk bekerja dan tidak menyerah pada keadaan.
Jadi, apakah mereka yang enggan bekerja ini, kemudian layak dibantu? Kompas moral Anda yang menentukan.
Ketiga, kelompok masyarakat yang hidup dari sektor informal, namun secara finansial mumpuni. Sudah tidak terhitung berapa banyak berita yang kita terima, soal pemulung atau peminta-minta yang punya rumah dan kaya secara material. Penghasilan sebagai pemulung atau dari meminta-minta, menjadi pilihan, karena --tenyata, menjanjikan. Mereka bisa memperoleh hasil yang tidak kurang dari gaji pegawai kantoran, bahkan lebih.
Apakah kelompok ketiga ini layak dibantu? Kompas moral Anda yang menentukan.
Keempat, kelompok yang terdampak karena memang tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, tidak memiliki akses untuk memiliki pendidikan yang layak, hidup tanpa adanya sanak keluarga, atau perempuan yang ditinggal suami, orang cacat yang tidak bisa bekerja dan umumnya hidup dari sektor informal. Dan tidak sedikit dari mereka yang tinggal dibangunan yang semi permanen.
Apakah kelompok keempat ini layak dibantu? Kompas moral Saya mengatakan, YA..., inilah yang layak dibantu. Dan jumlah mereka ada banyak di luar sana, yang kadang tidak terlihat oleh kita karena status dan keluhannya nya yang tidak terpublikasi di sosial media.
Kelompok masyarakat ini, bahkan tak punya akses soal internet. Hidup marjinal di kota-kota, tidak sedikit pula di kawasan desa yang jauh di dalam. Yang harus makan nasi basi ketika uluran bantuan tak mencapai mereka.
Para donatur yang punya kelebihan, merekalah orang-orang yang menurut saya berada pada posisi atas untuk mendapatkan santunan.
Namun sekali lagi, kompas moral kita yang menentukan, siapa orang-orang yang dianggap pantas untuk dibantu ketika krisis terjadi. Jika bantuan diberikan pada kelompok yang benar, maka hipotesa Steven D Levitt dan Stephen J Dubner bisa kita patahkan, bahwa rumah sakit dan transportasi gratis (dalam hal ini donasi di situasi pandemi) adalah layak dan bisa dikonsumsi secara efisien, jika diterima oleh masyarakat yang memang tidak mampu memenuhinya di kondisi normal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H