Di Indonesia, banyak yang berlomba-lomba memberikan les tambahan ke siswa, sekalipun sudah belajar full day di sekolahnya.
Dengan aplikasi kurikulum 2013, justru sekolah berlomba memperpanjang jadwal akademik, bahkan mencanangkan 1 hari penuh, dan tidak sedikit yang full day school, PR seabrek, les tambahan dicanangkan, di-drill dengan program ekstensi, bahkan baru belajar 2-3 pertemuan, sudah harus ujian.
Kita contoh model pendidikannya, tapi kita nafikan ekosistemnya. Dampaknya, ketika anak belajar Tematik, mereka bingung cara memperoleh ilmunya (konsep seharusnya adalah pembelajaran bersama) akhirnya justru membuat mereka cemas.
Di Finlandia, hanya 7% siswa yang cemas dengan sekolah, berbanding 52-53% di sejumlah negara maju, yang saya yakini di Indonesia, angkanya bisa lebih tinggi lagi.
Mendesain Kurikulum
Mari kita telaah lebih detail, apa yang kita lakukan, dengan apa yang Finlandia terapkan, sebagai negara yang lebih maju sistem pendidikannya.
1. Ngapain UN?
Perlukah ujian terstandarisasi sebagaimana UN? Di Indonesia, UN menjadi biang dari sejumlah konflik antar para pakar pendidikan. Finlandia sendiri -dan juga sejumlah negara maju, tak lagi menerapkan standarisasi sebagaimana UN, namun menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah.
Saat ini, UN memang sudah tak lagi menjadi acuan kelulusan, namun entah bagaimana, sepertinya ada faktor dari guru-guru sekolah juga, UN menjadi momok yang mengerikan, walaupun tidak 'se-horor' dulu.
Konsep di Finlandia, adalah sedikit ujian, belajar lebih banyak. Di mana proses asesmen atau ujiannya, terdiri dari 3 lapis.
Pertama dari guru di kelas secara diagnostik. Kedua formatif (evaluasi yang dilakukan setiap akhir pembahasan dari satu pokok bahasan) dan sumatif (evaluasi yang dilakukan setiap akhir satu satuan waktu yang di dalamnya tercakup beberapa pokok bahasan, umumnya dilakukan akhir semester/caturwulan). Ketiga dengan pendekatan metodologi berbasis sampel.
Sementara di Indonesia, guru justru cenderung merancang ulang materi ajarnya agar sesuai dengan ujian, lebih memprioritaskan mata pelajaran yang diujikan, serta menyesuaikan metode pembelajaran dengan latihan berulang, semata dengan orientasi pemikiran agar siswa bisa lulus ujian.
Yang terjadi, siswa akhirnya cenderung menghapal informasi, ketimbang memahami pengatahuan.