MASALAH SEBENARNYA
Namun mengapa masyarakat lebih suka sibuk dengan Panggung Depan, yang drama dengan bahasa pemasaran, target pasar dan berbagai gincu dan make up yang tampak seolah nyata tapi sebenarnya sandiwara?
Bahkan yang disayangkan adalah, sejumlah kalangan intelektual yang memahami inipun, tak kuasa untuk diam dan akhirnya ikut sumbang pemikiran dari rumitnya perang argumen ini, dan pada akhirnya memperkeruh keadaan?
Karena di bawah sana, ada masalah yang sebenarnya, yang tak kunjung usai dengan tawaran solusi secara politik. Yakni ketimpangan ekonomi yang tinggi, jurang antara yang kaya dengan yang miskin, dan rasa ketidak adilan sosial yang bertransformasi jadi suara-suara untuk berjuang, bahkan ketika yang diperjuangkannya itu semua mungkin saja semu, namun selama itu memberi harapan, maka ia layak dikumandangkan.
Tulisan Yenny Tjoe di kompas.com memvalidasi hal ini. Sejak tahun 2000, ketimpangan ekonomi di Indonesia meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memicu tingginya ketimpangan antar penduduk. Hal ini tercermin dalam Indeks Gini, yakni indeks untuk mengukur ketimpangan dalam sebuah negara dari 0 (kesetaraan sempurna) sampai 100 (ketidaksetaraan sempurna).
Laporan Bank Dunia pada 2015 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20 persen kelompok terkaya. Kelompok ini diidentifikasi sebagai kelas konsumen. Mereka adalah orang-orang yang berpendapatan bersih per tahun di atas 3.600 dollar AS atau Rp 52,6 juta dan pengeluaran per hari nya sekitar 10 dollar AS hingga 100 dollar AS untuk makanan, transportasi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.
Luky Djani lewat tulisannya di Kompas 14 Desember 2015, memaparkan bahwa ketimpangan ekonomi, akan bermutasi menjadi ketimpangan sosial. Peneliti Institute for strategic initiatives ini mengutip Charles Tilly (2007) yang menyebutkan mengkristalnya ketimpangan ekonomi dalam kategori sosial, dapat memutar balikkan demokrasi, dimana orang mencari solusi sendiri karena mengangap pemerintah tak mampu mengatasi ketimpangan ini.Â
Hal ini diperoleh dari gagasan pengelolaan ekonomi kolektif berdasarkan kategori sosial seperti ras, etnik dan agama. Pengelolaan ekonomi yang berdasarkan identitas sosial bersifat eksklusif dan bercorak club goods atau diskriminasi terhadap kategori sosial lain.
Di ranah politik, ini masuk dalam labirin sekat sektarian yang dipenuhi prasangka, kegamangan dan kecemburuan sosial, (sebagaimana di kutip Luky dari Vail, Wheelock dan Hill, 1999). Akibatnya, sistem dan nilai demokrasi seperti universalisme, nondiskriminasi dan kesetaraan, tergerus oleh sentimen identitas sosial.
Sampai disini, rasanya cukup jelas sudah kita melihat duduk persoalannya. ketimpangan ekonomi yang bermutasi menjadi ketimpangan sosial, dan akhirnya memicu hasrat untuk memberontak, dengan 'bahasa komunikasi' apapun selama dirasa bisa memecahkan masalah.
Ketimpangan di Indonesia akan terus melebar jika tak ada upaya kongkrit untuk mengatasinya, seorang kaya akan menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan akses pendidikan yang berkualitas, dengan modal berbisnis yang tak terbatas, dan ketika diakumulasi semua itu dengan benar, akan jadi kekuatan yang dahsyat.Â