Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Democracy for Dummies (Alasan Labirin Sektarian Kian Tereskalasi)

21 April 2019   15:43 Diperbarui: 23 April 2019   14:01 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

Tadinya saya lega begitu Pilpres kelar, harapannya semua kembali normal. Tayangan TV maupun diskusi yang melulu itu tok, berakhir. Tapi justru pas antri di ATM, pak satpam saya dengar diskusi soal Pilpres, tamu yang datang kekampus, juga bicara soal Pilpres, di hampir kebanyakan WA grup, juga idem, sosial media lebih radikal. Bukannya mereda, tapi tereskalasi, yang sayangnya, juga terlibat mereka-mereka yang semestinya cukup mengerti bahwa panggung politik kita ini adalah 'reality show', tapi ikut memanaskan situasi.

Pemicunya -dugaan saya, karena tak cukup memahami seperti apa demokrasi ala kita hari ini.

TEORI DEMOKRASI

Secara text book, demokrasi itu proses pemerintahan yang dikendalikan rakyat melalui wakilnya. Tapi sistem ini punya kelemahan ketika diterapkan pada negara yang tingkat pendidikan masyarakatnya tidak merata, sebagaimana yang dikhawatirkan para fulsuf di negara lahirnya demokrasi sendiri. 

"Pemerintahan segerombolan orang," kata Aristoteles. Pun dengan Socrates, ia menampik demokrasi karena memberikan hak kepada semua orang untuk bicara dan berbuat sekehendak hatinya, bahkan petani atau nelayan yang tidak tahu menahu soal politik, memiliki hak untuk memerintah. "Rakyat hanya elemen pasif, bukan orang-orang yang aktif dalam negara," kata Edmund Burke mantan anggota parlemen Inggris ini mempertegas.

PANGGUNG DEPAN & BELAKANG

Sementara politik sendiri, menurut Prof Rhenald Kasali disebuah seminar yang saya ikuti, punya obyektif untuk meraih kekuasaan, "Yang membedakan kewirausahaan dengan politik adalah tujuannya, kewirausahaan untuk kemaslahatan, mencari solusi dari permasalahan, sementara politik adalah kekuasaan," ujarnya kira-kira demikian dalam seminar tersebut.

Untuk menjalankan politik, maka demokrasi adalah sistem yang digunakan di Indonesia, yang sayangnya ketika diterapkan pada orde baru, masihlah amatiran. Setelah reformasi datang, sistem yang ditata dengan harapan lebih baik ini, ternyata jadi lebih mahal. 

Untuk jadi wakil rakyat atau eksekutif dalam hal ini Presiden, perlu modal besar. Karena investasinya tidak sedikit, perlu perhitungan 'ROI' (return on investment). Pada sejumlah politisi, situasi ini terjadi, walaupun tidak semua seperti itu.

Salah satu modal terbesar agar terpilih dan mendulang suara, adalah membangun brand, entah brand partai, capres atau calegnya. Maka dibidiklah target pasar yang pas, agar bahasa komunikasinya sampai, maka dibentuklah citra yang relevan dengan target pasarnya. 

Untuk target milenial misalnya, maka si empunya brand akan mencitrakan dirinya lekat dengan milenial, dari cara berpakaian, cara bicara sampai dengan kendaraan, kalo perlu bikin motor custom dan jaket distro biar kece, plus atribut bermusiknya. Yang targetnya ibu rumah tangga, dibikinlah komunitas emak-emak, bicara soal harga pasar yang tinggi serta berbagai narasi yang terkait dengan ini. 

Masih banyak lagi lainnya, mulai dari 'piye kabare', Partai Zaman Now, sampai dengan Anti Poligami, semua adalah bahasa untuk menggait suara, sesuai dengan pangsa pasar yang dibidik.

Bahkan pak Mahfud MD sendiri sempat bicara di salah satu episode Indonesia Lawyer Club, ketika dirinya hendak diumumkan menjadi Cawapres --yang kemudian tak jadi, ia mendapatkan arahan untuk naik motor bareng pak Presiden dengan pose yang sudah ditentukan, semua ini adalah desain bagaimana kampanye itu dibangun, agar sesuai dengan target pasar yang dibidik.

Hal-hal yang kita lihat, adalah hasil kreasi kreatif dari sejumlah profesional agar apa yang disampaikan, kata-kata yang terucap, pakaian yang dikenakan, manuver yang dilakukan, berakselerasi pada elektoral.

Namun diluar jalur bahasa pemasaran yang resmi, geliat yang tak resmi juga mencuat, dengan mengandalkan isu purba agama dan kesukuan. Dan bahkan, inilah yang justru jadi pertarungan sesungguhnya di Pilpres kali ini. Padahal, ini semua adalah panggung depan yang kita tonton, dan tak lebih dari reality show dengan rating tinggi. Karena hasil akhir yang menentukan adalah Panggung Belakang.

Yang disebut Panggung Belakang, jauh dari hiruk pikuk layar kaca yang dipertontonkan, tapi lobi-lobi dimana target utama mereka terealisasi, apapun targetnya. Itu sebabnya banyak yang bilang politik itu cair, sekarang terlihat mesra, besok bisa jadi beda suara. Sekarang satu bejana, besok bisa jadi lawan berebut pangan.

Kondisi di belakang panggunglah yang menentukan, hal yang tidak dilihat masyarakat kebanyakan. Apa yang saat ini terlihat sebagai sebuah perbedaan, besok bisa jadi panggung kolegial. Dalam sejarah kita, panggung belakang ini sudah menunjukkan begitu banyak konstelasi yang berubah dengan cepat. Bisakah dalam 2019-2024 tidak ada partai opisisi, tapi semua menjadi pendukung pemerintah? Sangat mungkin terjadi, indikasinya pun ada.

Panggung Belakang, adalah upaya politik sebenarnya, perebutan kekuasaan dan pengaruh untuk menggolkan ideologi dari masing-masing pihak atau orang, yang kadang berbeda jauh dari panggung depan yang selama ini kita lihat, yang oleh masyarakat dijadikan material untuk 'tawuran digital'. Bahkan tak sedikit orang yang mengaitkan Panggung Belakang ini, sebagai bagian dari 'dialektika' yang dipaparkan dengan vulgar sebagaimana ditelanjangi lewat film dokumenter Sexy Killers.

Sebagaimana disampaikan oleh produser film ini, Didit Haryo Wicaksono, bahwa semua data dalam film dokumenter ini melalui riset yang sangat kuat, untuk memberitahukan ke masyarakat tentang adanya permasalahan energi yang serius di negeri ini. Permasalahan itu tak lepas dari oligarki kekuasaan para penguasa, maupun yang hendak berkuasa di masa yang akan datang, sebagaimana dikutip dalam suara.com.

Film dokumenter ini mencuat karena menyajikan informasi bahwa sejumlah pemegang saham di sejumlah perusahaan tambang dan yang menggarap proyek pembangkit listrik, dimiliki oleh sejumlah orang yang merupakan bagian dari Pilpres kali ini.

Panggung Depan politik itu adalah kontennya, sementara Panggung Belakang adalah substansi dari politik yang sebenarnya, yang tak kasat mata, namun ada dan menjadi penentu akhir cerita.

MASALAH SEBENARNYA

Namun mengapa masyarakat lebih suka sibuk dengan Panggung Depan, yang drama dengan bahasa pemasaran, target pasar dan berbagai gincu dan make up yang tampak seolah nyata tapi sebenarnya sandiwara?

Bahkan yang disayangkan adalah, sejumlah kalangan intelektual yang memahami inipun, tak kuasa untuk diam dan akhirnya ikut sumbang pemikiran dari rumitnya perang argumen ini, dan pada akhirnya memperkeruh keadaan?

Karena di bawah sana, ada masalah yang sebenarnya, yang tak kunjung usai dengan tawaran solusi secara politik. Yakni ketimpangan ekonomi yang tinggi, jurang antara yang kaya dengan yang miskin, dan rasa ketidak adilan sosial yang bertransformasi jadi suara-suara untuk berjuang, bahkan ketika yang diperjuangkannya itu semua mungkin saja semu, namun selama itu memberi harapan, maka ia layak dikumandangkan.

Tulisan Yenny Tjoe di kompas.com memvalidasi hal ini. Sejak tahun 2000, ketimpangan ekonomi di Indonesia meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memicu tingginya ketimpangan antar penduduk. Hal ini tercermin dalam Indeks Gini, yakni indeks untuk mengukur ketimpangan dalam sebuah negara dari 0 (kesetaraan sempurna) sampai 100 (ketidaksetaraan sempurna).

Laporan Bank Dunia pada 2015 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20 persen kelompok terkaya. Kelompok ini diidentifikasi sebagai kelas konsumen. Mereka adalah orang-orang yang berpendapatan bersih per tahun di atas 3.600 dollar AS atau Rp 52,6 juta dan pengeluaran per hari nya sekitar 10 dollar AS hingga 100 dollar AS untuk makanan, transportasi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.

Luky Djani lewat tulisannya di Kompas 14 Desember 2015, memaparkan bahwa ketimpangan ekonomi, akan bermutasi menjadi ketimpangan sosial. Peneliti Institute for strategic initiatives ini mengutip Charles Tilly (2007) yang menyebutkan mengkristalnya ketimpangan ekonomi dalam kategori sosial, dapat memutar balikkan demokrasi, dimana orang mencari solusi sendiri karena mengangap pemerintah tak mampu mengatasi ketimpangan ini. 

Hal ini diperoleh dari gagasan pengelolaan ekonomi kolektif berdasarkan kategori sosial seperti ras, etnik dan agama. Pengelolaan ekonomi yang berdasarkan identitas sosial bersifat eksklusif dan bercorak club goods atau diskriminasi terhadap kategori sosial lain.

Di ranah politik, ini masuk dalam labirin sekat sektarian yang dipenuhi prasangka, kegamangan dan kecemburuan sosial, (sebagaimana di kutip Luky dari Vail, Wheelock dan Hill, 1999). Akibatnya, sistem dan nilai demokrasi seperti universalisme, nondiskriminasi dan kesetaraan, tergerus oleh sentimen identitas sosial.

Sampai disini, rasanya cukup jelas sudah kita melihat duduk persoalannya. ketimpangan ekonomi yang bermutasi menjadi ketimpangan sosial, dan akhirnya memicu hasrat untuk memberontak, dengan 'bahasa komunikasi' apapun selama dirasa bisa memecahkan masalah.

Ketimpangan di Indonesia akan terus melebar jika tak ada upaya kongkrit untuk mengatasinya, seorang kaya akan menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan akses pendidikan yang berkualitas, dengan modal berbisnis yang tak terbatas, dan ketika diakumulasi semua itu dengan benar, akan jadi kekuatan yang dahsyat. 

Sementara di belahan lainnya di Indonesia, akses pendidikan tak terjamah, banyak sekolah tanpa atap dan tak layak, kualitas guru memperihatinkan, dan ketika berkarir harus dengan modal seadanya. Akankah kondisi seperti ini bisa menipiskan gap, atau justru akan menciptakan kesenjangan yang lebih lebar?

Pada akhirnya, tak penting siapa presidennya, siapa wakil rakyatnya, selama demokrasi yang ada tak sungguh memberikan kekuasaan pada rakyat, termasuk mereka yang nelayan, yang petani dan buruh pinggiran. Selama itu ketimpangan ada dan kian melebar, selama itu pula perbedaan akan tereskalisi menjadi-jadi.

Satu hal yang bisa dilakukan untuk masyarakat agar menjadi solusi jangka pendek, sadarilah hal ini, sebelum akhirnya perpecahan sungguh terjadi tak hanya di ruang digital, dan jadi kerugian untuk semua orang, kita dan anak-anak cucu nanti. Pantaskah itu terjadi, atau bisakah kita belajar untuk menahan diri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun