Untuk target milenial misalnya, maka si empunya brand akan mencitrakan dirinya lekat dengan milenial, dari cara berpakaian, cara bicara sampai dengan kendaraan, kalo perlu bikin motor custom dan jaket distro biar kece, plus atribut bermusiknya. Yang targetnya ibu rumah tangga, dibikinlah komunitas emak-emak, bicara soal harga pasar yang tinggi serta berbagai narasi yang terkait dengan ini.Â
Masih banyak lagi lainnya, mulai dari 'piye kabare', Partai Zaman Now, sampai dengan Anti Poligami, semua adalah bahasa untuk menggait suara, sesuai dengan pangsa pasar yang dibidik.
Bahkan pak Mahfud MD sendiri sempat bicara di salah satu episode Indonesia Lawyer Club, ketika dirinya hendak diumumkan menjadi Cawapres --yang kemudian tak jadi, ia mendapatkan arahan untuk naik motor bareng pak Presiden dengan pose yang sudah ditentukan, semua ini adalah desain bagaimana kampanye itu dibangun, agar sesuai dengan target pasar yang dibidik.
Hal-hal yang kita lihat, adalah hasil kreasi kreatif dari sejumlah profesional agar apa yang disampaikan, kata-kata yang terucap, pakaian yang dikenakan, manuver yang dilakukan, berakselerasi pada elektoral.
Namun diluar jalur bahasa pemasaran yang resmi, geliat yang tak resmi juga mencuat, dengan mengandalkan isu purba agama dan kesukuan. Dan bahkan, inilah yang justru jadi pertarungan sesungguhnya di Pilpres kali ini. Padahal, ini semua adalah panggung depan yang kita tonton, dan tak lebih dari reality show dengan rating tinggi. Karena hasil akhir yang menentukan adalah Panggung Belakang.
Yang disebut Panggung Belakang, jauh dari hiruk pikuk layar kaca yang dipertontonkan, tapi lobi-lobi dimana target utama mereka terealisasi, apapun targetnya. Itu sebabnya banyak yang bilang politik itu cair, sekarang terlihat mesra, besok bisa jadi beda suara. Sekarang satu bejana, besok bisa jadi lawan berebut pangan.
Kondisi di belakang panggunglah yang menentukan, hal yang tidak dilihat masyarakat kebanyakan. Apa yang saat ini terlihat sebagai sebuah perbedaan, besok bisa jadi panggung kolegial. Dalam sejarah kita, panggung belakang ini sudah menunjukkan begitu banyak konstelasi yang berubah dengan cepat. Bisakah dalam 2019-2024 tidak ada partai opisisi, tapi semua menjadi pendukung pemerintah? Sangat mungkin terjadi, indikasinya pun ada.
Panggung Belakang, adalah upaya politik sebenarnya, perebutan kekuasaan dan pengaruh untuk menggolkan ideologi dari masing-masing pihak atau orang, yang kadang berbeda jauh dari panggung depan yang selama ini kita lihat, yang oleh masyarakat dijadikan material untuk 'tawuran digital'. Bahkan tak sedikit orang yang mengaitkan Panggung Belakang ini, sebagai bagian dari 'dialektika' yang dipaparkan dengan vulgar sebagaimana ditelanjangi lewat film dokumenter Sexy Killers.
Sebagaimana disampaikan oleh produser film ini, Didit Haryo Wicaksono, bahwa semua data dalam film dokumenter ini melalui riset yang sangat kuat, untuk memberitahukan ke masyarakat tentang adanya permasalahan energi yang serius di negeri ini. Permasalahan itu tak lepas dari oligarki kekuasaan para penguasa, maupun yang hendak berkuasa di masa yang akan datang, sebagaimana dikutip dalam suara.com.
Film dokumenter ini mencuat karena menyajikan informasi bahwa sejumlah pemegang saham di sejumlah perusahaan tambang dan yang menggarap proyek pembangkit listrik, dimiliki oleh sejumlah orang yang merupakan bagian dari Pilpres kali ini.
Panggung Depan politik itu adalah kontennya, sementara Panggung Belakang adalah substansi dari politik yang sebenarnya, yang tak kasat mata, namun ada dan menjadi penentu akhir cerita.