Hal ini diperoleh dari gagasan pengelolaan ekonomi kolektif berdasarkan kategori sosial seperti ras, etnik dan agama. Pengelolaan ekonomi yang berdasarkan identitas sosial bersifat eksklusif dan bercorak club goods atau diskriminasi terhadap kategori sosial lain.
Di ranah politik, ini masuk dalam labirin sekat sektarian yang dipenuhi prasangka, kegamangan dan kecemburuan sosial, (sebagaimana di kutip Luky dari Vail, Wheelock dan Hill, 1999). Akibatnya, sistem dan nilai demokrasi seperti universalisme, nondiskriminasi dan kesetaraan, tergerus oleh sentimen identitas sosial.
Sampai disini, rasanya cukup jelas sudah kita melihat duduk persoalannya. Pelajaran PKN dan Pancasila bukanlah solusi, namun ketimpangan ekonomi yang bermutasi menjadi ketimpangan sosial karena -salah satu muaranya- adalah defisit transaksi berjalan yang disebabkan ketidakmampuan kita mengkonversi modal menjadi imbal hasil yang signifikan, ditambah gencarnya proyek infrastruktur.
Senada dengan yang dituliskan Umar Juoro Ekonom Senior di Center for Information and Development Studies dan Habibie Center untuk Kompas.com. Defisit transaksi berjalan dapat terjadi karena ketidakseimbangan yang bersifat struktural dalam distribusi pendapatan sebagaimana ditunjukkan oleh relatif tingginya Koefisien Gini.
Model Bisnis Baru
Sistem liberasilisasi tidak bertentangan dengan Ekonomi Pancasila, selama tidak melanggar peraturan pemerintah dan undang-undang dasar. Maka salah satu hal yang bisa dilakukan selain berbagai solusi jangka pendek yang sudah dilakukan, adalah dengan mendorongnya ekonomi berorientasi benefit. Caranya, dengan mengajak semua sektor baik swasta maupun pemerintah, secara bersama memberikan pemberdayaan kepada kelas-kelas di bawahnya, dari berbagai bidang, mulai dari peningkatan mutu pendidikan, bantuan keuangan, inkubasi bisnis hingga program hibah yang masif.
Filosofi Milton Friedman sudah lama tak lagi berlaku bahkan di negara-negara kapitalistik sekalipun, bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial sebuah bisnis adalah meningkatkan keuntungannya, titik.
Saat ini, perspektif telah berubah, penelitian Cone (2006) menunjukkan bahwa 80% responden ingin bekerja untuk perusahaan yang peduli dengan dampaknya pada masyarakat. Demikian pula dengan riset dari Universitas Stanford (2008) yang menemukan bahwa 97% mahasiswa memiolih untuk meninggalkan keuntungan finansial untuk bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi baik dalam tanggung jawab sosial perusahaannya.
Inilah yang kemudian mendorong Prudential, IMD, 3M bahkan Sears memiliki program Giving Back kepada masyarakat. Apple menyumbangkan ratusan komputer kke sekolah-sekolah, untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan.
American Express membiayai akademi perjalanan dan pariwisata sekolah (sekolah menengah). Kaboom membangun 1000 taman bermain dalam 1000 hari dan menghabiskan US$25 juta dan karyawan Home Depot mengajak 100.000 karyawannya sebagai sukarelawan, Home Depot juga bekerja sama dengan organisasi Nirlaba berorientasi pada anak-anak.
Perusahaan sepatu Timberland mengizinkan karyawannya dengan tetap dibayar untuk melakukan proyek pelayanan apapun yang sesuai dengan keinginan karyawannya tersebut. Dan begitu banyak contoh lainnya di negara-negara maju yang mulai memberikan apresiasi kepada lingkungan sosial. Bahkan ada istilah B Corp, sertifikasi yang diberikan kepada perusahaan yang berorientasi pada benefit, dimana di Indonesia, baru ada 2 perusahaan yang memiliki sertifikasi ini, salah satunya Danone (Aqua).