Belakangan, PKN (pendidikan Kewarganegaraan) dan Pancasila menjadi wacana untuk kembali diajarkan kepada siswa sekolah, tujuannya untuk mengikis intoleransi dan radikalisme yang diduga meningkat. Entah darimana hipotesa pemerintah soal ini, bahwa mata pelajaran tersebut berkorelasi pada intoleransi dan radikalisme
Saya pun tak punya dalil untuk mengatakan ini sebaliknya, namun jika melihat kurikulum di negara-negara lain yang tak memiliki pelajaran serupa PKN dan Pancasila namun aman-aman saja, maka saya berasumsi ini tak ada korelasinya. Bak kendaraan yang pecah ban, namun diperbaiki spionnya.
Namun saya meyakini, persoalannya memang ada di Pancasila, tapi bukan mata pelajarannya, tapi di sistem ekonominya, yang menurut buku modul kelas 12 SMU, dinyatakan Indonesia menganut sistem ini. Oleh Wikipedia dijabarkan sebagai sistem perekonomian yang didasarkan pada lima sila dalam Pancasila, istilah yang muncul pertama kali pada tahun 1967 dalam artikel Dr. Emil Salim.
Apa korelasinya?
Teorinya, penerapan kebijakan yang keliru akan berujung inflasi tinggi dan pertumbuhan rendah. Namun Indonesia sebaliknya, inflasi rendah dan pertumbuhan cukup baik jika di bandingkan sejumlah negara lain. Handicap-nya ada di defisit transaksi berjalan. Tak tanggung-tanggung, Bank Indonesia (BI) mengumumkan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 8,8 miliar atau 3,37% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal III.
Definisi text book-nya kira-kira begini, transaksi berjalan adalah indikator perdagangan internasional meliputi barang, jasa, pendapatan faktor produksi (dari aset dan tenaga kerja), dan transfer uang. Jadi kalau tercatat defisit, maka negara tersebut punya 'utangan' dari negara-negara lain. Kalau mau diambil pengertian mudahnya, ini ibarat berdagang, 'jualan ' kita , lebih kecil daripada 'pembeliannya', besar pasak daripada tiang.Â
Ketika defisit, ketergantungan terhadap valas tentu menjadi lebih besar, dan para investor secara psikologis menilai ini tanda ekonomi tak sehat, dan memutuskan untuk tidak menanamkan modalnya di Indonesia (padahal inilah yang sebenarnya kita harapkan). Sehingga ketika defisit, rupiah melemah dan terkadang karena alasan politik, ini bisa menjadi isu yang menggelinding bak bola salju, membesar ketika viral dengan drama yang menjadi-jadi.
Defisit transaksi berjalan di tahapan sebuah negara bertumbuh memang dinilai wajar, karena pembelian yang dilakukan untuk barang-barang modal belum bisa menghasilkan dalam waktu cepat. Ini terjadi pada Singapura, Korea bahkan China. Namun seiring waktu, dengan efisiensi dan produktifitas dari akumulasi proses barang-barang modal yang telah di olah, maka defisit transaksi berjalan diharapkan bisa tereduksi.
Yang membuat ini terasa ganjil, karena kondisi dimana Indonesia mengalami defisit sudah terjadi sejak kuartal IV 2011, sekalipun ketika itu masih di kisaran 2%. Kedua, ditahun 2018 ini, defisit menembus 3% pada kuartal II dan berlanjut ke kuartal III, yang melewati batas aman rasio 3%. Dan selama defisit, selama itu pula kita 'menutupinya' dengan berbagai cara, termasuk 'cas bon'.
Ini artinya, sudah cukup lama kita terus 'berinvestasi' tanpa ada imbal hasil yang signifikan, bahkan melebar. Terlebih pemerintah tengah gencar mengejar ketertinggalan kita di infrastruktur, yang mendorong kenaikan impor untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dalam negeri.
Untuk menekan defisit, pemerintah juga harus menekan pertumbuhan. Cara berhitungnya bisa ditilik dari rumusan ICOR (incremental output ratio), yakni 1% pertumbuhan ekonomi, membutuhkan rasio investasi 6% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Jadi kalau Indonesia mau mengejar pertumbuhan 6%, maka harus mencapai rasio investasi 36,6%, jika ini dibiayai dari tabungan domestik, hanya tersedia 32-33% saja (Chatib Basri, Kompas 13 Desember 2018), terlihat ada selisih antara tabungan dan investasi, yang mencerminkan defisit dari transaksi berjalan.