Jangankan ada tabungan, malah simpanan ludes termakan. Ini gara-gara ingin mempraktikkan ilmu dari bangku sekolah.
Ia pun kembali menjadi penjual sayuran. Kali ini sudah ada kemajuan. Tidak lagi dengan pikulan melainkan dengan sepeda pancal. Lebih ringan, jarak tempuh keliling juga bisa lebih jauh. Untungnya kian banyak, karena barang yang dibawa juga bertambah banyak.
Lantas mengapa berhenti jadi penjual sayuran?
Di mulai dengaj kerusuhan 98, malam atau menjelang pagi kondisi tidak memungkinkan untuk belanja ke pasar pagi. Kondisi ini berlangsung berminggu-minggu, maka aku mencoba berjualan mainan anak-anak.
Beli mainannya borongan. harganya sangat murah. Anak sekolahan sangat suka mainan. Jajannya hampir semua dibelanjakan mainan. Setiap hari mereka kerjanya hanya belanja mainan.
Dari penjualan ini aku mendapat untung banyak, hingga akhirnya rumahku selesai aku bangun. Anakku bisa sekolah. Kebutuhan rumah tangga tak ada yang kekurangan.
Salah satu jualan paling rame adalah berjualan di depan sekolah. Waktu yang diperlukan sangat sedikit tapi uuntungnya besar.
Lalu mengapa akhirnya berhenti jualan mainan?
Nah, inilah masalahnya. Anak sekolah sudah mengenal hp. Mereka tidak lagi suka mainan tradisional. Barang dagangan dilrik pun tidak. Jadi sehari demi sehari modal habis jadi tambal buat makan.
Akhirnya aku berhenti jualan mainan.
Ia terus saja bercerita segala macam pengalaman hidupnya. Sambil sekali-sekali ia bertanya tentang masa depan. Bagaimana nasibnya anak sekarang.