Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau yang Menyayat Bagai Sembilu

11 Februari 2021   22:46 Diperbarui: 11 Februari 2021   22:57 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anti Petir Sambaran Petir Hajar 77 Pasukan | Penangkal Petir - Anti Petir

Senja! Siapa sangka senja jadi awal segala petaka. Langit jingga benar-benar membuat tangis menghabskan air mata.

Bukan dari kalangan keluarga, ayah ibunya, kakak adiknya. Bahkan orang-orang yang mengenalnya, teman-teman sekelasnya. Juga siapa saja yang telinganya terbuka hingga berita ini sampai menggetarkan relung hati terdalamnya.

Berawal dari kegembiraan, latihan sepak bola. Lapangan desa, lengang. Tak ada pepohonan. Langit mendung berawan. Teduh, sangat segar berolahraga dan bergembira.

Tujuhbelas orang dengan satu pelatih masuk ke lapangan. Setelah sebelumnya ramai saling menunggu satu persatu peserta latihan.

"Panggilkan Bagas! Kalau tidak ada dia kita tidak bisa latihan!" Perintah pelatih pada salah seorang anggota.

Kelas satu SMP, harusnya sedang asyik bermain. Harusnya jalan-jalan bersepeda bersama kawan-kawan. Kelliling desa.

"Bagasnya masih membantu bapaknya. Mulung karet di kebun," jawabnya setelah lari terbirit-birit ingin latihan segera di mulai.

Mereka pun pemanasan. Bola dan kelengkapannya memang disimpan di rumah Bagas.

Nanti malam di rumah Bagas ada acara khataman Al Quran. Bagas pertama kali khatam, jadi wajar jika ada acara selamatan. Undangan selamatan sudah disampaikan.

Setelahnya akan ada makan besar. Ayam jago masak lodo. Sungguh nikmat tak terkira. Begitu pulang, bawa berkat dalam takir masing-masing undangannya. Tradisi desa.

Waktu terus berjalan. Bagas datang menyeret karung berisi sekian biji bola. Termasuk baju seragam latihan. Ia termasuk yang paling tanggung jawab menjaga peralatan.

Latihan terus belanjut. Bagas sudah datang. Peralatan sudah siap tinggal digunakan. Mereka membentuk formasi lingkaran.

Rintik hujan perlahan berhenti, mending tebal masih menyelimuti desa, termasuk lapangan tempat olahraga.

Perintah untuk tetap semangat diberikan pelatih. Mereka sungguh benar-benar semangat. Dua minggu lalu mereka menang lomba antar desa. Bagaslah pencetak gol terbanyak. Ia jadi tokoh paling berjasa.

####

Malam begitu mencekam. Rumah yang harusnya di tempat itu mengalun suara Bagas mengumandangkan ayat-ayat Al Quran disambut dengan haru dan kebanggan berubah dengan isak tangis.

Pelan-pelan terdengar suara surah yasin dibacakan. Isak tangis dari yang hadir satu persatu meledak dan kemudian tenggelam.

Para tamu takjiah tak ada yang tidak mengeluarkan air mata. Alangkah rasa sedih tak terkira. Harusnya mereka hadir dan menyaksikan Bagas membacakan ayat demi ayat dari Tuhannya.

Di bawah jarit batik panjang. Bagas terbujur kaku. Apa yang terjadi?

Saat menimang bola, diminta pelatih ke tengah-tengah lingkaran. Bagas mempraktikan keterampilannya. Tiba-tiba! Datang begitu tiba-tiba. Tak ada yang akan menduga. Petir menyambar tepat di tengah-tengah arena.

Tubuh kecil lincah tergeletak. Beberapa yang ada di dalam lingkaran roboh. Mereka terselamatkan. Dan, Bagaslah yang jadi korban.

Tubuhnya berasap. Sebentar kemudian menghitam. Bagas, orang yang kita ceritakan adalah siswa terbaik dalam kelasnya. Siswa yang paling rajin membantu guru menjaga ketertiban kelas, sang ketua kelas. Kini terbujur kaku di bawah jarit batik.

Dia adalah kekasih bagi hampir semua temannya. ringan tangan, murah senyum, ramah. dan suka memberi gorengan pada teman-temannya.

Orang baik kadang memang berumur pendek. Pendek usianya, panjang cerita dan kenangan baiknya. Halus tutur katanya jadi panutan bagi teman-teman sepeninggalnya.

Tak ada cerita, jika tersebut nama Bagas. Maka hanya air mata yang mampu mengalir setelahnya.

Sejak senja, sejak batal acara khataman Al Quran di rumah, sejak orang-orang histris menyaksikan pemandangan yang mengenaskan di tengah lapangan. Tak ada tangis yang tak terdengar. Tak ada pilu yang tak tersebar. Kesedihan sungguh kesedihan.

Hingga selesai proses pemakaman, tetap saja seluruh mata menatap bayangan Bagas dengan semua kemuliaan budi pekertinya. Keluhuran hatinya.

####

Sepulu tahun telah berlalu, lapangan sepak bola masih terhampat seperti biasa. Banyak Bagas-Bagas baru yang menggantikannya. Namun, jika mengenang Bagas di kala senja, sayatan kejadiannya lebih perih dari sayatan sembilu.

Tentu saja tak seorang pun berharap meninggal dengan cara disambar petir. Setiap kali berdiri di lapangan ini. Setiap kali langit mendung, setiap hujan turun hanya Bagas yang ada di kepala dengan segala peristiwa pilu sampai ke ujung tengah dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun