Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Coba Saya Jadi Bule di Bali, Pasti Koplak!

20 Januari 2021   10:36 Diperbarui: 20 Januari 2021   15:13 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2004 pertama kali menginjakkan kaki di Bali. Waktu itu ikut dalam rombongan besar berjumlah 89 orang. Perjalanan dari Banjarmasin lewat Surabaya. Kemudian menggunakan bus menuju Bali.

Perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Bayangkan saja, guna menyempatkan penerbangan pertama di Syamsudin Noor, keluar dari rumah tengah malam. Sesampai di bandara kira-kira pukul 5 pagi.

Pesawat mendarat di Bandara Internasional Juanda sekitar pukul 7 waktu setempat. Hari memang masih sangat pagi. Semangat tentu saja menggebu-gebu. Bali gitu lhoo!

Bali masih jauh, tapi teman-teman sudah ribut soal 'sumur'. Ada yang sudah pamer kacamata hitam. Dasar! Teman-teman memang kebangetan. Kemaruk sumur kayaknya. Padahal dalam hati, saya juga penasaran. Seperti apa sih 'sumur' yang mereka ributkan itu.

Bagi saya ke Bali kali ini memang yang pertama kali. Jadi ya seperti perwujudan dari mimpi panjang yang teramat istimewa.

Ketika melintasi Banyuwangi, kepala sudah berat (mabok darat). Mata seperti sudah berkunang-kunang. Mana Balinya? Masih jauh ya, rengek saya pada teman-teman.

Begitu malam, entah berapa kali saya pulas dengan iler mengalir di bibir. Tiba-tiba bus berhenti dan kami semua di suruh turun. Kita akan menyeberang ke Gilimanuk, kata ketua rombongan. Wah kesempatan nih menikmati 'sumur'. Ha ha ha..

"Sumur itu nggak ada di sini, wooee! Di pantai baru ada," teriak teman saya ketika saya tanya.

Saya benar-benar jadi wisatawan yang turun gunung. Ke Surabaya pertama kali, ke Bali pertama kali. Seperti menginjakkan kaki di tanah yang asing.

Pelabuhan Ketapang adalah sebuah pelabuhan feri di Desa Ketapang, Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Gilimanuk, Pulau Bali.

Aku pasti akan berkata dalam hati, di sinilah cintaku bersemi. Tak ada 'sumur', yang ada adalah acil-acil (bahasaku-bahasa Bahasa Banjar) yang menenteng anggur ungu sambil menawar-nawarkan pada kami. Saat itu sudah hampir tengah malam.

Di pelabuhan Ketapang inilah bule istimewa aku dapati. Orang pasti akan mengira aku telah jatuh hati pada paras cantik dan montoknya si bule. Yang nanti 'sumurnya' akan kami nikmati begitu tiba di pantai.

Nyatanya bule yang aku lihat memang sangat istimewa. Enam hingga tujuh orang mungkin, laki-laki. Kepalanya sangat kecil  menurut ukuranku.

Badannya hitam legam. Kulitnya mengkilat padahal ketika itu remang-remang (sekarang baru aku tahu kalau mengkilatnya itu karena keringat). Saya tidak tahu persis mereka berasa dari negara mana. Pokoknya orang luar negeri aku sebut bule. Biar itu matanya sipit, matanya biru, atau gak punya mata sekalipun. Ha ha ha...

Melihat mereka berjoget dan menari-nari di ujung jalan dekat post penjagaan kepala saya sampai hampir terbalik menoleh ke belakang. Ingin menatap dengan seksama takut mereka tersinggung. Malu juga jika saya dianggap terlalu kampungan. Tapi nyatanya memang kampungan. Wkwkwkwk

"Jiak!! Kalau model bulenya begini 'sumurnya' seperti apa?" teriak saya pada teman-teman.

"Huss! Ntar kedengaran mereka," kata teman yang berada dekat dengan tempat saya berjalan.

Menanti datangnya kapal ferry memang lama. Mungkin sekitar satu jam. Di sepanjang jembatan yang menghubungkan daratan dengan tempat berlabuhnya kapal feri inilah tambatan hati hinggap dalam sanubari, bahkan hingga detik ini.

Pemancing cumi! Benar, pemancing cumi. Ibu setengah tua dengan bakul plastik di samping 'ngesornya, tangan kanan memegang senar menatap ke arah saya.

"Dari mana?" katanya.

"Banjarmanis, Buk," jawab saya

"Bade mancing nopo, Buk?" tanyaku menggunakan bahasa jawa kromo inggil, meskipun blepotan aku tetap paksakan. Maksudnya, sedang mancing apa, buk.

"Cumi, Mas e."

"Sampun intuk?"

"Dereng."

Tengah malam? ibuk-ibuk setengah tua, mancing di jembatan. Alangkah sulitnya kehidupan? Begitulah yang pertama kali terpikir dalam hati. Bagaimana mungkin? Padahal pada saat yang bersamaan banyak sekali ibu-ibu yang sedang pulas dalam selimutnya di kamar yang hangat.

Hati saya tiba-tiba tergores dalam sekali. Kami wisatawan ingin ke Bali. Apalagi kalau bukan untuk membelanjakan uang yang ada dalam dompet. Sementar ibu ini mencari penghasilan dengan memancing cumi.

Para pemancing cumi pasti mengerti. Cumi sangat jarang ditemukan. Bahkan di tengah laut sekali pun jika memang tidak sedang musim cumi. Jadi bagaimana mungkin ibu ini akan dapat cumi jika tidao sedang musim cumi.

Seandainya saat itu musim cumi pastilah ibu tersebut telah mendapatkannya.

Karakteristik ikan cumi adalah apabila bertemu umpan, baik itu umpan hidup (ikan dan udang kecil), maupun umpat palsu (tiruan) cumi akan langsung memakannya. Tanpa tunggu waktu lama.

Saya pun ikut duduk nyepor di dekat ibu tersebut sambil mengajak ngobrol. Ibu itu memang sangat ramah. Dan sangat terlihat keikhalasannya meladeni obrolan dengan orang asing yang baru dikenal seperti saya.

Memancing cumi memang untung-untungan, katanya. Kadang dapat satu yang sebesar lengan. Lumayan dijual untuk beli beras. Sering malah tak mendapatkan satu pun hingga pasang dan surut air lait telah berganti. Pernah juga dapat banyak. Kalau lagi banyak dapat cumi berarti berkah buat ia dan keluarganya.

Untuk beberapa saat saya lupa soal 'sumur'. Ternyata di samping 'sumur' ada kehidupan yang getir dan terus diperjuangkan keberlangsungannya.

Rupanya kapal ferry sudah berlabuh, saya dipanggil untuk segera naik ke atas kapal. Maka ibu pemancing cumi saya tinggalkan. Sembari pamit, selembar ratusan ribu saya selipkan di dalam bakul plastik tempat ikan cumi yang masih kosong (tanpa sepengetahuan ibu itu). Semoga nanti ketika sampai di rumah ibu itu bahagia. Walau hanya sebentar.

Perjalanan menuju Bali belum berakhir. Bahkan petualangannya belum dimulai. Nanti pasti akan saya ceritakan pengalaman unik menjadi bule di Bali. Dan benar-benar koplak. Tapi tidak untuk semua orang.

Sebagian dari kita ada yang hidupnya terlalu serius, hingga tersenyum dan tertawa mahal harganya. Apalagi menertawakan kebodohan diri, sangat gengsi dan memalukan. Padahal perjalanan hidup adalah kenangan terindah dan layak untuk dirayakan dengan gembira.

Sambungan ceritanya, Karena Bule, Cintaku Terkapar...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun