Di pelabuhan Ketapang inilah bule istimewa aku dapati. Orang pasti akan mengira aku telah jatuh hati pada paras cantik dan montoknya si bule. Yang nanti 'sumurnya' akan kami nikmati begitu tiba di pantai.
Nyatanya bule yang aku lihat memang sangat istimewa. Enam hingga tujuh orang mungkin, laki-laki. Kepalanya sangat kecil  menurut ukuranku.
Badannya hitam legam. Kulitnya mengkilat padahal ketika itu remang-remang (sekarang baru aku tahu kalau mengkilatnya itu karena keringat). Saya tidak tahu persis mereka berasa dari negara mana. Pokoknya orang luar negeri aku sebut bule. Biar itu matanya sipit, matanya biru, atau gak punya mata sekalipun. Ha ha ha...
Melihat mereka berjoget dan menari-nari di ujung jalan dekat post penjagaan kepala saya sampai hampir terbalik menoleh ke belakang. Ingin menatap dengan seksama takut mereka tersinggung. Malu juga jika saya dianggap terlalu kampungan. Tapi nyatanya memang kampungan. Wkwkwkwk
"Jiak!! Kalau model bulenya begini 'sumurnya' seperti apa?" teriak saya pada teman-teman.
"Huss! Ntar kedengaran mereka," kata teman yang berada dekat dengan tempat saya berjalan.
Menanti datangnya kapal ferry memang lama. Mungkin sekitar satu jam. Di sepanjang jembatan yang menghubungkan daratan dengan tempat berlabuhnya kapal feri inilah tambatan hati hinggap dalam sanubari, bahkan hingga detik ini.
Pemancing cumi! Benar, pemancing cumi. Ibu setengah tua dengan bakul plastik di samping 'ngesornya, tangan kanan memegang senar menatap ke arah saya.
"Dari mana?" katanya.
"Banjarmanis, Buk," jawab saya
"Bade mancing nopo, Buk?" tanyaku menggunakan bahasa jawa kromo inggil, meskipun blepotan aku tetap paksakan. Maksudnya, sedang mancing apa, buk.