Kami sering berdiskusi bagaimana puisi dibuat. Ia tahu kalau ditubuh puisi ada diksi, mengungkapkam kata seminimal mungkin agar puisi yang dibuat bisa krusial padat singkat dan  memiliki makna yang dalam.
Ia juga sudah tahu dalam puisi perlu imaninasi. Terlibatnya indera penglihatan, pengendaran, perasa dalam sentuhan-sentuhan.
Ia juga tahu, membuat puisi diperlukan kata kongkret merupakan kata yang memungkinkan terjadinya imaji. Kata konkret bersifat imajinatif sehingga memunculkan imajinasi, biasanya berhubungan dengan kata kiasan atau lambang.
Ia juga tahu, kami sering bersitegang karena beda penafsiran tentang majas yang bersifat seolah-olah menghidupkan dan menimbulkan makna konotasi dengan menggunakan bahasa figuratif.
Demikian juga berapa macam majas yang sering digunakan pada puisi misalnya seperti retorika, metafora, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, repetisi, anafora, antitesis, klimaks, antiklimaks, satire, paradoks dan lain-lain.
Ia juga sangat memujiku bagaimana rima dan tipografi menjadi unsur terpenting dalam sebuah karya puisi.
Sementara yang ia tidak tahu adalah, rasa bosannya telah hadir dalam perasaannya. Makanya wajar jika apa pun puisi yang lahir dari tanganku berasa hambar.
Memang, aku bukanlah sastrawan jadi wajar jika pengetahuan yang mendalam tentang puisi tidak aku kuasai dengan benar. Dan tak ada salahnya jika suatu saat membuatmu bosan.
Apalagi keterampilan berpuisiku hanya dari situ kesitu tak ada perkembangan lainnya. Hal yang wajar juga jika ia kemudian lebih tertarik dengan orang yang lebih mahir dengan diksi-diksi yang aduhai.
Yang aku tak habis pikir, mengapa ia begitu tega melukai hingga begitu dalam. Menusuk dengan sembilu tepat di ulu hati. "Aku sangat kagum dengannya. Diksinya begitu menawan dan menggoda..." Sebuah nama disebut dengan tidak merasa bersalah sama sekali. Seolah ingin berkata, "Kau membosankan! Pergi sana!"
Dan kata itu, ia ucapkan sebagai sebuah tamparan keras. Pantes beberapa hari yang lalu ia tak pernah mau jika diajak membuat puisi kolaborasi. Tak pernah mau lagi jika diminta membacakan puisiku lagi.