Mohon tunggu...
Bledhek
Bledhek Mohon Tunggu... Operator - ____________

Pengkhayal LEPAS

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Puisiku Tak Menarik Lagi, Ia Pun Pergi ke Lain Hati

10 Januari 2021   20:45 Diperbarui: 11 Januari 2021   04:48 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pixabay Wanita Belakang Panjang Rambut - Foto gratis di Pixabay

Sepertinya aku sudah menyadari akan berakhir seperti ini. Bosan! Menyukai memang butuh konsistensi. Dan tidak mungkin bisa dipaksakan.

Rasa suka akan datang ketika kekaguman memenuhi perasaan . Kagum karena kekayaan, kecerdasan, kegigihan, keramahan, sopan santun, dan sebagainya akan membangkitkan ketertarikan. Dan bisa jadi akan berbuntut cinta. Mungkin saja!

Begitulah yang terjadi padaku. Maaf cacatan kali ini menggores hati seseorang. Mungkin juga akan menciptakan kesan. Alangkah lebaynya seseorang, padahal sudah zaman milenial.

Perasaan memang tak mengenal zaman. Mau zaman purba, zaman batu, zaman perunggu, suka dan cinta tetaplah sama.

Bagaimana cintanya Khais dan Laila menjadi karya sastra. Begitu juga cerita ramayana, Tentang cintanya Rama pada sinta. Begitu berat ujian dan cobaan. Cinta tetaplah cinta. Ada rindu di sana, ada cemburu menggelora. Dan ada pertengkaran karena salah paham.

Bagian terakhir dari perjalanan cinta adalah "bosan". Jika kebosanan sudah menghinggapi hati kekasih, apa mau dikata. Apa pun, yang mulanya sendal terlepas saja akan berkata, "Hati-hati, Sayang. Sini Abang pasangkan."

Begitu bosan, padahal sedang dirubung banyak tawon, kekasihnya akan bilang, "Rasain tuh, dikasih tau tidak memperhatikan!" Dengan teriakan seolah sedang meneriaki musuh yang akan membunuh dan menghabiskan.

Seperti itulah mungkin yang sedang terjadi padaku. Dahulu, ia pernah kagum kepadaku karena puisi-puisiku. Aku masih ingat ketika pertama kali kita kenalan, "Puisi-puisimu bagus! Ajari aku dong. Aku sering membaca puisimu. Kadang tak terasa menetes airmataku. Alangkah indahnya diksi puisimu."

Pujian demi pujian berhamburan seperti kembang api ketika pesta malam tahun baru di sela rintik hujan. Tiupan terompet memenuhi gendang telinga, seperti itulah senyum dan tawamu sambil memuji tak habis-habisnya.

Aku sadar, jika cintamu begitu meledak-ledak sepertinya tak akan bertaham lama. Begitulah kerupuk, sebentar digoreng akan segera renyah. Dan sedikit saja tertiup angin maka tak menunggu hingga berganti jam. Kerupuk segera melempem. Tak bisa dimakan!

Bandingkan dengan bagaimana telur asin dibuat. Berminggu-minggu hingga jadilah telur asin. Berapa lama telur asin akan bertahan? Nikmatnya telur asin adalah karena kesabaran dan perjuangannya yang begitu lama.

Kami sering berdiskusi bagaimana puisi dibuat. Ia tahu kalau ditubuh puisi ada diksi, mengungkapkam kata seminimal mungkin agar puisi yang dibuat bisa krusial padat singkat dan  memiliki makna yang dalam.

Ia juga sudah tahu dalam puisi perlu imaninasi. Terlibatnya indera penglihatan, pengendaran, perasa dalam sentuhan-sentuhan.

Ia juga tahu, membuat puisi diperlukan kata kongkret merupakan kata yang memungkinkan terjadinya imaji. Kata konkret bersifat imajinatif sehingga memunculkan imajinasi, biasanya berhubungan dengan kata kiasan atau lambang.

Ia juga tahu, kami sering bersitegang karena beda penafsiran tentang majas yang bersifat seolah-olah menghidupkan dan menimbulkan makna konotasi dengan menggunakan bahasa figuratif.

Demikian juga berapa macam majas yang sering digunakan pada puisi misalnya seperti retorika, metafora, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, repetisi, anafora, antitesis, klimaks, antiklimaks, satire, paradoks dan lain-lain.

Ia juga sangat memujiku bagaimana rima dan tipografi menjadi unsur terpenting dalam sebuah karya puisi.

Sementara yang ia tidak tahu adalah, rasa bosannya telah hadir dalam perasaannya. Makanya wajar jika apa pun puisi yang lahir dari tanganku berasa hambar.

Memang, aku bukanlah sastrawan jadi wajar jika pengetahuan yang mendalam tentang puisi tidak aku kuasai dengan benar. Dan tak ada salahnya jika suatu saat membuatmu bosan.

Apalagi keterampilan berpuisiku hanya dari situ kesitu tak ada perkembangan lainnya. Hal yang wajar juga jika ia kemudian lebih tertarik dengan orang yang lebih mahir dengan diksi-diksi yang aduhai.

Yang aku tak habis pikir, mengapa ia begitu tega melukai hingga begitu dalam. Menusuk dengan sembilu tepat di ulu hati. "Aku sangat kagum dengannya. Diksinya begitu menawan dan menggoda..." Sebuah nama disebut dengan tidak merasa bersalah sama sekali. Seolah ingin berkata, "Kau membosankan! Pergi sana!"

Dan kata itu, ia ucapkan sebagai sebuah tamparan keras. Pantes beberapa hari yang lalu ia tak pernah mau jika diajak membuat puisi kolaborasi. Tak pernah mau lagi jika diminta membacakan puisiku lagi.

Ternyata kecurigaanku benar, dan masuk akal sekarang. Ada orang lain yang begitu ia kagumi. Dan orang itu telah menggantikanku.

Tak mengapa memang jika sudah bosan. Ada kalanya tertarik, suka , senang, lalu cinta karena sebuah karya. Tak ada yang abadi di dunia ini.

Di atas langit masih ada langit. Beruntunglah dirinya telah mengenal langit yang lebih tinggi dan tertarik serta kagum dengannya. Apalah aku! Hanya seonggok awan hitam. Pasti akan lenyap begitu hujan datang.

Biarlah aku berkaca lagi, mungkin benar aku hanyalah dermaga tempat singgah sementara. Dipuja dalam waktu diperlukan saja. Dan akan ditinggalkan dengan sampah berserakan untuk berlabuh ke dermaga lainnya.

Dalam hati kecil, aku akan terus berusaha memperbaiki diri. Belajar dan belajar lagi. Bukan karena ia telah meninggalkanku. Tapi karena memang aku harus update pengetahuan dan keterampilan berpuisiku.

Tak ada dendam sama sekali. Walau sakit tetap membasahi hati seperti hujan dan petir menyambar-nyambar, padam lampu setelahnya. Tanpa ia memang gelap gulita.

Namun aku yakin suatu saat akan ada orang yang tertarik dengan perubahan yang aku lakukan. Ia atau siapa saja. Aku tak berharap ada yang memuja kemudian dengan terus terang mengatakan, "Ia telah membuat kekagumanku tak ada habis-habisnya...."

Biarkan perbaikan ini demi diriku sendiri. Demi kelangsungan karya puisi yang aku sukai. Hidup dengan puisi seperti sambel dalam nikmatnya makan siang hari ini. Apa pun yang aku makan, karena memang aku menyukainya.


Dan sakitnya itu di sini. Air mata pun menetes tak terasa. Begitu hinakah aku karena puisiku tak menarik lagi, atau karena memang ia telah bosan. Sehingga sebaik dan semenarik apa pum karya puisiku hanyalah angin lalu. Angin baru telah menggantikannya. Hiks hiks hiks....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun