Orang-orang yang ada di sekitaran itu menanti jawabannya. Semua mata mengarah kepadaku.
"Orangnya bercerita disbar buaya itu di mana?"
"Katanya di sungai Pendamaran. Ini sungai Pendamaran kan?"
"Iya ini sungai Pendamaran. Tapi tak ada buaya di sini."
"Dia cerita begitu. Dengkulnya yang luka pun aku lihat."
Maka tampa sengaja aku tertawa. Orang-orang bingung. Padahal aku jarang ketawa.
"Kalau di sungai Pendamaran lain mungkin ada saja namanya buaya. Tapi buaya somplak. Di sini sejak berpuluh tahun lalu. Sejak jalan ini masih setapak. Pohon-pohon sebesar drum minyak tanah masih tumbuh dan lebat. Tak pernah terdengar ada buaya.
Sejak jembatan ini hanya batang kelapa hingga diganti dengan kayu ulin. Padahal setiap hari para penebang kayu menghanyutkan gelondongan layunya sampau ke sungai besar. Mereka lebih sering bermalam di pinggir sungai dari pada di rumah mereka tak pernah terdengar ada buaya.
Kalau ketemu ular sebesar batang kelapa sering. Juga ada macam yang berseliweran juga sering. Bahkan ada yang sering menyaksikan beruang kuning yang tak berkelapa pun ada yang bercerita. Tapi tak ada yang bercerita tenang buaya.
Sungai ini jika musim kemarau airnya sisa sedikit. Sejak dahulu begitu. Malah jika kemarau panjang air sungainya kering. Hanya ada aliran kecil yang terputus-putus. Jadi sungguh mustahil jika asa buaya di sungai.
Dahulu hutan begitu lebat, sementara sekarang hampir sebagian besar hutan di pinggir sungai sudah musnah. Hanya ada tanaman karet dan sawit. Sisanya paling-paling areal persawahan. Dan tiap hari ada petani yang menggarap kebun dan sawah mereka."