"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan"; dan Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen;".
Yang Mulia Bapak Presiden Prabowo Subianto,
Kami mohon Bapak Presiden kali ini mau mendengarkan penjelasan kami sebagai berikut :
Pada kesempatan ini ingin kami sampaikan bahwa hal yang paling fatal dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini adalah pelanggaran terhadap asas, karena asas adalah hal yang paling fundamental yang harus di junjung tinggi oleh semua orang apalagi sebagai pejabat negara, karena pelanggaran terhadap asas adalah selain pelanggaran hukum juga pelanggaran etika. Pelanggaran etika bagi seseorang apalagi pejabat negara adalah masalah harga diri, kehormatan dan moral, sehingga seseorang yang melanggar etika, maka harga dirinya tergadai, kehormatannya tercoreng, dan dianggap tidak bermoral. Berikut kami sampaikan asas-asas yang dilanggar dalam pembentukan UU Cipta Kerja :
- 1.Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" menurut Pasal 5 huruf (g) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari definisi tersebut terlihat jelas bahwa UU Cipta Kerja ini mengabaikan asas keterbukaan karena mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan tidak ada keterbukaan dan tidak transparan, sehingga sebagai pihak yang terdampak langsung dengan UU 13/2003 ini yaitu pekerja/buruh tidak dapat memberikan masukan dalam tahap perencanaan pembuatan draft/rancangan UU Cipta Kerja ini, sebagaimana Pasal 5 huruf (g) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
- 2. UU Cipta Kerja ini mengabaikan asas pengayoman adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Saat ini UU Cipta Kerja dianggap kurang memberikan perlindungan yang akibatnya pekerja/buruh merasakan masa depannya kurang jelas. Hal ini tentu saja menyebabkan pekerja/buruh kurang/tidak tenteram hidupnya.
- 3. UU Cipta Kerja ini mengabaikan "asas kekeluargaan" sebagaimana pasal 6 huruf (d) UU No. 12 Tahun 2011, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Hal ini terbukti bahwa SP/SB sebagai perwakilan pekerja/buruh di LKS Tripartit tidak dilibatkan dalam perencanaan pembuatan draft/rancangan UU Cipta Kerja, sehingga tidak ada musyawarah untuk mencapai mufakat.
- 4. UU Cipta Kerja ini mengabaikan "asas ketertiban dan kepastian hukum" sebagaimana pasal 6 huruf (i) UU No. 12 Tahun 2011, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Dari draft/rancangan UU Cipta Kerja ada beberapa pasal tentang hubungan kerja yang menyangkut ketidak-jelasan dalam kepastian hukum seperti status kerja kontrak dan alih daya (outsourcing).
Yang Mulia Bapak Presiden Prabowo Subianto,
Perlu kami sampaikan juga bahwa akibat dari pelanggaran asas tersebut diatas, dimana tidak adanya partisipasi publik khususnya tidak diikutkannya Serikat Buruh sebagai representasi/perwakilan buruh dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini, maka secara otomatis juga tidak mencerminkan semangat "musyawarah untuk mencapai mufakat", artinya mengingkari Pancasila dan UUD 1945.
Musyawarah untuk mencapai mufakat jelas tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (19) tentang Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS Tripartit) sebagai ejawantah dari Pancasila dan UUD 1945, yang berbunyi : "Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah".
LKS Tripartit ini dipimpin oleh Menteri Tenaga Kerja dan di-SK-kan oleh Presiden RI sebagaimana lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. Begitupun UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh pasal 4 ayat (1) & (2), pasal 25 ayat (1) & (2), pasal 27, yang pada dasarnya SP/SB berfungsi memperjuangkan kepentingan anggotanya agar sejahtera dan berperan dalam mewakili pekerja/buruh dalam LKS Tripartit. Di dalam lembaga inilah seluruh permasalahan dunia usaha yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dikomunikasikan, dikonsultasikan, dan dimusyawarahkan, kemudian didiskusikan, di kaji, di analisa, di kupas-tuntas, dan dicarikan win-win solusinya, sehingga pengusaha untung buruhnya sejahtera sebagaimana tujuan dibentuknya LKS Tripartit ini yaitu sebagai peng-ejawantah-an Pancasila dan UUD 1945.
Semangat musyawarah inilah yang sebaiknya dicontohkan dalam membuat suatu kebijakan selalu melibatkan dan mengajak musyawarah SP/SB dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan pekerja/buruh. Apalagi kebijakan tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak, dimana buruh formal yang jumlahnya 58 juta jiwa beserta keluarganya yang mencapai 70 % dari masyarakat Indonesia akan terdampak langsung dengan adanya UU Cipta Kerja ini.
Yang Mulia Bapak Presiden Prabowo Subianto, mau diakui atau tidak UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja ini secara logika hukum adalah inkonstitusional, mengapa ? Secara ringkas dapat kami jelaskan sebagai berikut :