Yang Terhormat  :
Presiden RI 2024-2029 Terpilih Prabowo Subianto,
 Dengan Hormat,
Terima kasih atas doa, ucapan selamat dan sambutan Bapak pada peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2024.
 Ajakan Bapak Presiden RI Terpilih Prabowo Subianto kepada buruh untuk turut serta membangun masa depan gemilang dengan mewujudkan Indonesia emas disambut dengan tulus oleh kaum buruh.Â
Dalam dokumen visi misi Presiden Prabowo juga menekankan agar semua buruh bisa tidur dengan tenang karena menerima penghasilan yang cukup. Juga meningkatkan daya beli buruh dan menyediakan kebutuhan dasar untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.
Yang lebih Istimewa lagi Bapak Presiden juga akan memberikan putera-puteri buruh dengan menyediakan beasiswa untuk melanjutkan jenjang pendidikan S1 hingga S3.
Niat dan tekad Bapak Presiden tersebut kami hormati, namun pada kesempatan ini, pada May Day kali ini saya mewakili buruh ingin menyampaikan aspirasi dalam surat terbuka ini.
Kami mengapresiasi usaha pemerintah selama ini dalam usaha untuk menggairahkan investasi di Indonesia dan kami juga sangat berharap bahwa usaha tersebut dapat berjalan dengan lancar, sehingga perekonomian Indonesia dapat maju dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dan salah satu usaha pemerintah untuk menarik investasi tersebut adalah melalui Omnibus Law UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja, yang didahului oleh Perppu No. 2 Tentang Cipta Kerja, sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Yang Mulia Bapak Presiden terpilih Prabowo Subianto,Â
Namun demikian, kami memandang bahwa Prosedur Pembentukan UU Cipta Kerja tersebut banyak terjadi manuver, manipulasi, rekayasa, pelanggaran asas, sampai dengan pelanggaran etika, yang kesimpulannya adalah bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini terbukti dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja tersebut bertentangan dengan UUD 1945, dan berikut cuplikan dari Putusan MK;
"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan"; dan Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen;".
Yang Mulia Bapak Presiden Prabowo Subianto,
Kami mohon Bapak Presiden kali ini mau mendengarkan penjelasan kami sebagai berikut :
Pada kesempatan ini ingin kami sampaikan bahwa hal yang paling fatal dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini adalah pelanggaran terhadap asas, karena asas adalah hal yang paling fundamental yang harus di junjung tinggi oleh semua orang apalagi sebagai pejabat negara, karena pelanggaran terhadap asas adalah selain pelanggaran hukum juga pelanggaran etika. Pelanggaran etika bagi seseorang apalagi pejabat negara adalah masalah harga diri, kehormatan dan moral, sehingga seseorang yang melanggar etika, maka harga dirinya tergadai, kehormatannya tercoreng, dan dianggap tidak bermoral. Berikut kami sampaikan asas-asas yang dilanggar dalam pembentukan UU Cipta Kerja :
- 1.Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" menurut Pasal 5 huruf (g) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari definisi tersebut terlihat jelas bahwa UU Cipta Kerja ini mengabaikan asas keterbukaan karena mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan tidak ada keterbukaan dan tidak transparan, sehingga sebagai pihak yang terdampak langsung dengan UU 13/2003 ini yaitu pekerja/buruh tidak dapat memberikan masukan dalam tahap perencanaan pembuatan draft/rancangan UU Cipta Kerja ini, sebagaimana Pasal 5 huruf (g) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
- 2. UU Cipta Kerja ini mengabaikan asas pengayoman adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Saat ini UU Cipta Kerja dianggap kurang memberikan perlindungan yang akibatnya pekerja/buruh merasakan masa depannya kurang jelas. Hal ini tentu saja menyebabkan pekerja/buruh kurang/tidak tenteram hidupnya.
- 3. UU Cipta Kerja ini mengabaikan "asas kekeluargaan" sebagaimana pasal 6 huruf (d) UU No. 12 Tahun 2011, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Hal ini terbukti bahwa SP/SB sebagai perwakilan pekerja/buruh di LKS Tripartit tidak dilibatkan dalam perencanaan pembuatan draft/rancangan UU Cipta Kerja, sehingga tidak ada musyawarah untuk mencapai mufakat.
- 4. UU Cipta Kerja ini mengabaikan "asas ketertiban dan kepastian hukum" sebagaimana pasal 6 huruf (i) UU No. 12 Tahun 2011, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Dari draft/rancangan UU Cipta Kerja ada beberapa pasal tentang hubungan kerja yang menyangkut ketidak-jelasan dalam kepastian hukum seperti status kerja kontrak dan alih daya (outsourcing).
Yang Mulia Bapak Presiden Prabowo Subianto,
Perlu kami sampaikan juga bahwa akibat dari pelanggaran asas tersebut diatas, dimana tidak adanya partisipasi publik khususnya tidak diikutkannya Serikat Buruh sebagai representasi/perwakilan buruh dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini, maka secara otomatis juga tidak mencerminkan semangat "musyawarah untuk mencapai mufakat", artinya mengingkari Pancasila dan UUD 1945.
Musyawarah untuk mencapai mufakat jelas tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (19) tentang Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS Tripartit) sebagai ejawantah dari Pancasila dan UUD 1945, yang berbunyi : "Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah".
LKS Tripartit ini dipimpin oleh Menteri Tenaga Kerja dan di-SK-kan oleh Presiden RI sebagaimana lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. Begitupun UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh pasal 4 ayat (1) & (2), pasal 25 ayat (1) & (2), pasal 27, yang pada dasarnya SP/SB berfungsi memperjuangkan kepentingan anggotanya agar sejahtera dan berperan dalam mewakili pekerja/buruh dalam LKS Tripartit. Di dalam lembaga inilah seluruh permasalahan dunia usaha yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dikomunikasikan, dikonsultasikan, dan dimusyawarahkan, kemudian didiskusikan, di kaji, di analisa, di kupas-tuntas, dan dicarikan win-win solusinya, sehingga pengusaha untung buruhnya sejahtera sebagaimana tujuan dibentuknya LKS Tripartit ini yaitu sebagai peng-ejawantah-an Pancasila dan UUD 1945.
Semangat musyawarah inilah yang sebaiknya dicontohkan dalam membuat suatu kebijakan selalu melibatkan dan mengajak musyawarah SP/SB dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan pekerja/buruh. Apalagi kebijakan tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak, dimana buruh formal yang jumlahnya 58 juta jiwa beserta keluarganya yang mencapai 70 % dari masyarakat Indonesia akan terdampak langsung dengan adanya UU Cipta Kerja ini.
Yang Mulia Bapak Presiden Prabowo Subianto, mau diakui atau tidak UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja ini secara logika hukum adalah inkonstitusional, mengapa ? Secara ringkas dapat kami jelaskan sebagai berikut :
1. Bahwa Pemerintah Indonesia tidak mematuhi dan tidak melaksanakan Putusan MK tersebut secara menyeluruh dan hanya melaksanakan sebagian kecil Putusan MK, itupun menurut kami tidak terlalu prinsip. Yaitu merevisi UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi UU No. 13 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Bahwa Revisi UU No 12 Tahun 2011 tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap telah melakukan perbaikan seperti Putusan MK. Revisi tersebut hanya menyatakan bahwa sistem Omnibus Law dapat diterima dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia.
3. Bahwa Pemerintah Indonesia tidak melaksanakan Putusan MK tentang pelanggaran prosedur dan tata-cara Pembentukan UU Cipta Kerja yakni tidak terlibatnya Serikat Buruh dalam pembentukan UU. Dan pelanggaran inilah inti dari permasalahan yaitu Serikat Buruh tidak pernah dilibatkan sejak awal dalam Pembentukan UU Cipta Kerja dan bahkan perintah MKpun diabaikan.
4. Bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan kesalahan fatal dengan menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja yang isinya relatif sama dengan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yang diamini dan disetujui oleh DPR dengan men-syah-kan dan menetapkan Perppu tersebut menjadi UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. Bukannya melaksanakan perintah MK dengan memanfaatkan waktu 2 tahun untuk mengajak berunding Serikat Buruh dan mencari solusi yang win-win solution, malahan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja.
5. Bahwa para pakar hukum seperti Prof Jimly menyatakan dalam Kompas.com, "Pemerintah seolah-olah berada di atas hukum (Rule by Law)". Berikut kutipan pernyataan Prof Jimly : "Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja adalah contoh pemerintahan yang seolah berada di atas hukum (rule by law).
Padahal, menurut Prof Jimly, MK sudah dengan jelas menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional pada November 2021 dan harus dilakukan perbaikan dalam jangka 2 tahun. Selain itu, lanjut Jimly, yang seharusnya lebih berperan dalam melakukan revisi UU Cipta Kerja adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan bukan mengambil jalan keluar dengan menerbitkan Perppu dengan alasan kegentingan. "Peran MK dan DPR diabaikan. Ini bukan contoh rule of law yang baik tapi jadi contoh rule by law yang kasar dan sombong," kata Prof Jimly dalam keterangan pers (4/1/2023)".
6. Keterlibatan Serikat Buruh dalam pembentukan UU Cipta Kerja adalah sangat vital dan menjadi syarat pembentukan UU dalam UUD 1945, dan hal ini adalah kesalahan fatal yakni melanggar azas dan bertentangan dengan UUD 1945.
7. Bahwa hal tersebut diatas menggambarkan bagaimana Pemerintah Indonesia tidak menghormati hukum bahkan dapat dikategorikan sebagai "Contemp Of Court", penghinaan kepada MK dan karena tidak menjalankan secara keseluruhan perintah MK, dan sebagai negara hukum Pemerintah Indonesia telah melanggar UUD 1945 dan berlaku sewenang-wenang dan mentang-mentang berkuasa ("Abuse of Power"), rule by law yang kasar dan sombong.
Yang Mulia Bapak Presiden Prabowo Subianto,Â
perlu kiranya kami tambahkan informasi kepada Bapak Presiden, bahwa pada sidang ILO (Internasional Labor Organization) di Genewa Juni 2023, ILO mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia antara lain, Pemerintah diminta agar "meninjau ulang Undang-Undang Cipta Kerja dengan berkonsultasi kepada mitra sosial dan mengadopsi amandemen yang dibutuhkan agar undang-undang tersebut mematuhi Konvensi tanpa ada penundaan lebih lanjut".
Rekomendasi tersebut jelas sekali bahwa Pemerintah Indonesia diminta untuk mencabut UU Cipta Kerja. Adapun alasan ILO meminta UU Cipta Kerja tersebut dicabut adalah karena Pembentukan UU Cipta Kerja telah melanggar Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 Tentang Penerapan Azas-azas Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (The Aplication of The Principles of The Right to Organize and to Bargain Collectively) dan Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan atas Hak Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of Right to Organize), dimana ke dua Konvensi tersebut telah di Ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
Dengan telah diratifikasinya ke-dua Konvensi ILO tersebut, maka seyogyanya Pemerintah Indonesia harus menghormati rekomendasi ILO tersebut yaitu dengan mencabut UU No.6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. Apabila Pemerintah Indonesia tidak melaksanakan rekomendasi ILO tersebut, maka Pemerintah Indonesia dianggap telah merusak citra Indonesia di mata dunia internasional dengan melanggar Konvensi ILO yang telah di Ratifikasi oleh Negara.
Dari paparan diatas kami dapat menyimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia memaksakan UU Cipta Kerja dengan memanipulasi hukum yaitu ketika UU No. 11 Tahun 2020 dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat dan diberikan kesempatan untuk perbaikan dalam waktu 2 tahun. Bukannya memanfaatkan waktu tersebut untuk melibatkan Serikat Buruh dan berunding untuk mencari win-win solution sesuai dengan azas dalam UUD 1945 dan Konvensi ILO No. 98 tentang hak untuk berorganisasi dan berunding bersama, tapi malahan membuat UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja yang baru dengan substansi sama dengan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, melalui Perppu. Inilah bentuk Abuse of Power dengan Rule by Law yang kasar dan sombong, Putusan MK tidak diindahkan, kemudian diakali dengan Perppu yang melahirkan UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja yang otomatis juga secara logika hukum juga masih Inkonstitusional sama statusnya dengan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, karena tidak atau belum melibatkan Serikat Buruh sebagai perwakilan buruh. Dan apabila selama 2 tahun ini Putusan MK tidak diindahkan maka UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja maupun UU No. 6 Tahun 2023 secara hukum adalah Inkonstitusional Permanen.
Oleh karena itu, dari hasil tinjauan hukum berdasarkan fakta dan bukti yang meyakinkan bahwa secara hukum UU Cipta Kerja tersebut, kami mohon Bapak Presiden Prabowo nanti setelah dilantik untuk mencabut UU Cipta Kerja tersebut.
Yang Mulia Bapak Presiden Praabowo Subianto,Â
Apa yang kami sampaikan hal tersebut diatas adalah murni tinjauan hukum berdasarkan Perundang-undangan yang berlaku, belum menyangkut substansi nasib buruh saat UU Cipta Kerja tersebut diberlakukan.
Uraian singkat dibawah ini, mengambarkan substansi masa depan kaum buruh saat Omnibus Law RUU Cipta Kerja diberlakukan.
Perbandingan Karyawan Tetap dengan Karyawan Kontrak (PKWT) atau Outsourcing
Karyawan Tetap  X  Karyawan Kontrak/Outsourcing  :
1 Ada kenaikan gaji berkala  X Upah Minimum Terus-Menerus
2 Gaji lebih besar  X Gaji lebih kecil
3 Ada beberapa tunjangan X Tidak ada tunjangan
4 Ada Pesangon XTidak ada pesangon
5 Tidak dapat di PHK sembarangan, ada prosedur PHK Â X Dapat di PHK setiap waktu, cukup memutus kontrak, sama dengan PHK sembarangan
6 Relatif lebih martabat, Di Indonesia status ini sangat penting, contohnya, orang ingin jadi PNS, walaupun gaji lebih kecil tapi ada kepastian dan kehormatan  X  Relatif kurang bermartabat, di masyarakat kurang ada penghargaan
7 Ada kepastian pekerjaan  X  Tidak ada kepastian pekerjaan
8 Ada kepastian keberlangsungan pendapatan  X Tidak ada kepastian keberlangsungan pendapatan
9 Jika PHK masih ada pesangon yang relatif cukup sambil mencari pekerjaan baru  X Jika putus kontrak, tidak ada pesangon, pendapatan langsung hilang
Yang Mulia Bapak Presiden Prabowo Subianto,
Hubungan Kerja adalah inti atau ruhnya orang bekerja. Dari tabel perbandingan diatas dapat terlihat bahwa hubungan kerja sebagai sebagai karyawan tetap dengan karyawan kontrak, sangat kontras. Di Indonesia status sebagai karyawan tetap sangat didambakan baik oleh keluarga maupun lingkungan apalagi oleh calon mertua dan calon istrinya, karena ada kepastian. Contoh yang paling sederhana adalah sejak dulu orang ingin menjadi PNS walaupun gaji PNS jaman dulu jauh lebih kecil dari karyawan pabrik.
Oleh karena itulah Bapak Presiden yang mulia, masalah hubungan kerja ini tidak semudah dan tidak sesederhana yang dibayangkan, sehingga 101 % masyarakat di Indonesia selain pengusaha dapat dipastikan menolak UU Cipta Kerja ini.
Praktek perusahaan outsourcing di lapangan dapat juga mengurangi pendapatan karyawan kontrak dan itu bisa terjadi selisih sampai dengan Rp 500.000 -- RP 1 juta. Dan hal ini akan menyuburkan praktek-praktek koruptif terutama di BUMN, sebagai contoh :
praktek outsourcing di BUMN berbeda dengan di perusahaan swasta. Perusahaan Outsourcing yang dapat kontrak dari BUMN mendapatkan keuntungan tiap karyawan berkisar Rp 500.000 -- Rp 1.000.000, itu terjadi 8 tahun lalu. Kenapa mesti melalui perusahaan outsourcing, jika kontrak langsung dengan orangnya, yang bersangkutan akan tambah penghasilannya perbulan Rp 500.000 -- Rp 1000.000,- itu bagi karyawan kontrak sangat berarti sekali. Ini bisa dibilang penghisapan manusia atas manusia, l'exploitation de l'homme par I'homme. Berlaku hukum "Supply And Demand", lalu dimana fungsi negara.
Dapat dipastikan bahwa pengusaha lebih suka menggunakan karyawan kontrak dari pada karyawan tetap, karena dianggap lebih efisien. Dengan angkatan kerja yang melimpah (bonus demografi), maka dampak dari Karyawan kontrak dan outsourcing tersebut adalah seluruh perusahaan baik besar maupun kecil akan mengganti karyawan tetapnya dengan karyawan kontrak. Maka akan ada gelombang PHK besar-besaran dan saat inipun sudah mulai terjadi PHK, yang akhirnya semua menjadi karyawan kontrak. Belum selesai masalah kontrak ini, sekarang sudah mulai marak karyawan denga status magang.
Yang Mulia Bapak Presiden Prabowo Subianto, dapat membayangkan magang lebih buruk lagi dari kontrak dan itu semua penyebabnya adalah UU Cipta Kerja.
Selain masih banyak pasal-pasal yang merugikan buruh, ada pasal tentang Upah Minimum yang menghilangkan Upah Sektoral, dan menurut kajian Pakar Fakultas Hukum UGM, berpotensi menghapuskan hak pekerja termasuk pekerja perempuan mendapatkan cuti sakit, cuti haid, cuti melahirkan, maupun cuti menikah dan menikahkan. Bahasa Pakar Hukum UGM masih halus, dalam bahasa buruh seluruh cuti tersebut dan cuti keagamaan tidak ada.
Dari uraian diatas, kami berharap Bapak Presiden Prabowo Subianto tidak lama setelah resmi dilantik nanti agar mencabut UU Cipta Kerja.
Demikian surat terbuka ini kami sampaikan, mudah-mudahan ada guna dan manfaatnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga Allah SWT memberikah karunia dan hidayahnya kepada kita semua, Amiin Ya Robbal 'Alamin.
Jakarta, Â 1 Mei 2024
 Arif Minardi,
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronika dan Mesin ( FSP LEM SPSI) dan selaku Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H