JKP sebenarnya merupakan ide lama, pernah digulirkan sejak Menaker Hanif Dhakiri. Saat itu Serikat Pekerja dan pengusaha menolak mentah-mentah karena ujung-ujungnya menguras kantong pekerja dan pengusaha. Searah dengan waktu, ide JKP yang sekilas lalu tampak menarik itu ternyata dicangkokkan lewat UU Cipta Kerja.
Secara teoritis, pada prinsipnya JKP menambah jaminan sosial yang dikelola BP Jamsostek. Tahun lalu pihak serikat pekerja dan kalangan pengusaha seperti paduan suara, keduanya kompak menolak mentah-mentah konsep JKP. Pasalnya hal itu jelas akan menambah berat beban iuran bulanan yang dipotong dari gaji pekerja dan dari kantong pengusaha.
Sudah banyak potongan dan iuran yang setiap bulan menipiskan dompet pekerja. Beban iuran baru yang sebagian ditanggung oleh pengusaha itu membuat perusahaan kian tidak kompetitif. Melihat sederet skema jamsos itu investor juga enggan menanamkan modalnya.
Mestinya masalah JKP itu totalitas diambil dari APBN, bukan dari memeras keringat buruh dan menggerogoti margin pengusaha.
Di lain pihak 5 jaminan sosial yang sudah ada saja, yakni JKN (BPJS Kesehatan), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP) hingga saat ini pelaksanaannya masih amburadul.
Kelima jaminan itu masih sarat masalah dan sebagian perusahaan belum melaksanakan jamsos itu, atau hanya melaksanakan sebagian saja. BPJS Kesehatan masih amburadul karena dilanda defisit anggaran yang berkepanjangan. BP Jamsostek juga belum memuaskan pekerja dan jumlah kepesertaan masih belum menggembirakan. Ironisnya gaji, fasilitas dan bonus para direksi dan pengawas BP Jamsostek jumlahnya sangat fantastis.Â
*) Arif Minardi, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesaia (KSPSI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H