Mohon tunggu...
Arif Minardi
Arif Minardi Mohon Tunggu... Insinyur - Aktivis Serikat Pekerja, Ketua Umum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Berdoa dan Berjuang Bersama Kaum Buruh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Negara Mesti Membuat Sistem Pensiun Layak dengan Kondisi Zaman

23 Februari 2024   17:30 Diperbarui: 23 Februari 2024   19:30 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pensiunan menerima uang pensiun di Kantor Pos Besar Yogyakarta (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)

Catatan ARIF MINARDI

SISTEM pensiun yang layak dengan kondisi zaman masih menjadi impian. Pegawai negeri maupun swasta harus mengarungi hari tuanya dalam suasana keprihatinan karena besaran uang pensiun yang diterima kurang mencukupi biaya hidup pada saat usia lansia. Bagi karyawan swasta sistem Jaminan Hari Tua (JHT) dan sistem pensiun juga sarat masalah.

Selama ini sering Kementerian Keuangan menyatakan salah satu penyebab tekanan yang sangat besar terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) adalah membayar pensiun aparatur sipil negara (ASN) baik di pusat maupun daerah.

Menurut Kemenkeu pembayaran manfaat pensiun pada 2022 saja mencapai Rp 119 triliun. Tren pembayaran pensiun mengalami peningkatan signifikan dalam lima tahun terakhir. Kemenkeu telah menggelontorkan Rp58,1 triliun untuk pembayaran manfaat pensiun pegawai negeri sipil (PNS) per April 2023.

Penyaluran itu meningkat 5,2 persen dibanding tahun lalu, yang hanya Rp55,3 triliun. Adapun pembayaran uang pensiun PNS itu disalurkan melalui PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero).

Penerima pembayaran pensiun meningkat cukup besar. Pada 2022, PNS yang menerima uang pensiun mencapai 1,9 juta orang. Sementara, pada 2023 meningkat menjadi 2,1 juta orang. Peningkatan terbesar terjadi pada PNS daerah.

Para ASN yang akan pensiun mengikuti acara pembekalan (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
Para ASN yang akan pensiun mengikuti acara pembekalan (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Pemerintah menyebut pentingnya skema baru pensiunan ASN di daerah ditanggung masing-masing pemerintah daerah. Adapun anggaran akan dibayarkan melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Langkah pemerintah yang akan mentransformasikan sistem, skema dan mekanisme pemberian pensiun dan THT untuk ASN perlu bercermin dari sederet masalah sistem pensiun karyawan BUMN. Di mana sebagian BUMN selama ini gagal memberikan skema pensiun yang layak untuk pegawainya.

Apalagi jika adopsi itu dilakukan maka dibutuhkan dana besar untuk memenuhi past service liabilities (PSL). Sebagai catatan, masalah PSL untuk karyawan BUMN tidak pernah tuntas hingga besarnya terus membengkak hingga mencapai triliunan rupiah. Kerumitan semakin besar karena pesatnya peningkatan jumlah ASN yang disertai dengan kenaikan gaji pokok setiap tahun.

Saatnya meninjau kembali formula sumber dana program tabungan hari tua ASN agar sesuai dengan kebutuhan hidup pada zamannya. Apakah masih relevan jumlah iuran peserta sebesar 3,25 persen dari penghasilan peserta setiap bulan. Begitu pula sumber dana untuk program dana pensiun ASN yang diperoleh dari iuran peserta sebesar 4,75 persen dari penghasilan peserta setiap bulan.

Penghasilan yang dimaksud adalah gaji pokok ditambah tunjangan istri ditambah tunjangan anak. Di samping itu, ASN juga dikenakan iuran sebesar 2 persen dari penghasilan peserta setiap bulan untuk membayar iuran program kesehatan. Sistem dana pensiun hingga kini membuat APBN menjadi tertekan karena dana yang ditanggung berubah-ubah bergantung pada jumlah pegawai atau ASN yang pensiun setiap tahunnya.

Sejak pemerintah memutuskan pembayaran pensiun kembali lagi menjadi 100 persen beban APBN atau sesuai dengan sistem pay as you go murni, maka seluruh beban dana pensiun ditanggung penuh oleh pemerintah. Agar tidak terlalu menekan APBN sebaiknya pemerintah merancang sistem pendanaan pensiun dengan pola "current cost financing" yaitu metode gabungan pay as you go dengan sistem funded dalam rangka pemberdayaan akumulasi iuran peserta program pensiun.

Untuk pekerja swasta, termasuk pekerja BUMN, skema dana pensiun, baik itu dana pensiun pemberi kerja (DPPK ) maupun dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) yang diberlakukan selama ini belum menguntungkan pihak pekerja. Lemahnya pengawasan, salah urus dan maraknya modus korupsi terhadap pengelolaan dana pensiun mesti cepat dituntaskan. Sistem mapan pasti menjadi sistem iuran pasti seperti yang telah dilakukan beberapa BUMN memang lebih terlihat akuntabilitasnya. Tetapi jika beban-beban yang ada belum terselesaikan maka akan sulit diterapkan sistem tersebut.

 Postur lembaga penyelenggara dana pensiun kini dikategorikan menjadi tiga, terdiri atas lembaga dana pensiun pemberi kerja berupa program pensiun manfaat pasti (PPMP), dana pensiun pemberi kerja berupa program pensiun iuran pasti (PPIP), dan dana pensiun lembaga keuangan.

Hingga saat ini dana pensiun pemberi kerja masih lebih banyak menempatkan dananya pada instrumen investasi yang aman seperti surat berharga negara, obligasi korporasi, dan deposito. Padahal, industri dana pensiun pemberi kerja sebaiknya menginvestasikan dananya pada instrumen jangka panjang yang lebih memberikan imbal hasil tinggi.

Transformasi pengelolaan dana pensiun juga memungkinkan penyelenggaraan program pensiun iuran pasti dapat membayarkan sendiri manfaat pensiun secara bulanan. Dan pada saat tertentu (misalnya sampai dengan pembayaran manfaat pensiun kepada peserta selesai ), selanjutnya untuk pembayaran manfaat pensiun janda /duda dan anak sebaiknya diberikan secara anuitas, karena karakteristik PPIP tidak dapat menanggung risiko umur panjang dan risiko investasi, yang menjadi wajib pungut pajak atas manfaat pensiun adalah perusahaan asuransi jiwa.

Menteri BUMN Erick Thohir mendorong pemerintah dan DPR merevisi UU Dana Pensiun. Revisi itu perlu sinergi dengan Kemenkeu dan OJK. Hal itu untuk memperbaiki pengelolaan dana pensiun yang selama ini mengandung kelemahan.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun yang selama ini diberlakukan mengandung kekurangan. Perlunya revisi terkait optimasi besaran manfaat pensiun. Mestinya faktor fleksibilitas sudah terwujud seperti besarnya faktor penghargaan per tahun masa kerja, besaran manfaat pensiun, besaran iuran tidak perlu dibatasi.

Pengelolaan dana pensiun selama ini menjadi krusial karena sering diwarnai dengan salah urus hingga skandal keuangan. Kebijakan tentang dana pensiun bisa menyebabkan negara terjebak oleh krisis hutang. Seperti yang pernah terjadi di negara Yunani, Spanyol, Italia dan Portugal.

Protes perubahan sistem JHT (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)
Protes perubahan sistem JHT (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)

Menggugat Pembayaran JHT

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah meneken Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Dalam beleid yang diundangkan pada 4 Februari 2022 itu menyatakan manfaat jaminan hari tua atau JHT hanya dapat dicairkan apabila usia peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) mencapai 56 tahun.

Organisasi pekerja langsung menggugat dan mengecam keras kebijakan Menaker terkait pembayaran jaminan hari tua bagi buruh yang menjadi peserta BP Jamsostek baru bisa diambil apabila buruh di PHK pada usia 56 tahun.

Peraturan menteri itu sangat merugikan pekerja dan bisa menyengsarakan keluarga buruh jika sewaktu-waktu mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Apalagi kondisi perusahaan sektor manufacturing di tanah air pada saat ini masih belum pulih dari krisis sehingga setiap saat bisa melakukan PHK terhadap pekerjanya.

Sangat tidak masuk akal dan mencederai rasa keadilan apabila Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dikaitkan dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dituangkan dalam peraturan pemerintah sebagai turunan UU Cipta Kerja. Dimana para pekerja yang kena PHK hanya mendapatkan uang tunai sebesar 45 persen dari upah terakhir per bulan selama 3 bulan, dan 25 persen untuk 3 bulan berikutnya.

Sumber pembiayaan JKP hingga kini masih tidak jelas, bahkan para perancang PP juga tidak bisa menjawab secara pasti. Seperti diketahui, dalam UU Cipta Kerja, sumber pendanaan JKP berasal dari modal awal pemerintah, rekomposisi iuran program jaminan sosial dan/atau dana operasional BP Jamsostek.

Pada awalnya ada ide bahwa rekomposisi ditempuh dengan menaikkan iuran jaminan sosial dari kantong pekerja dan pengusaha. Dan tipis kemungkinan didapat dari APBN.

Namun, karena resistensi menaikkan iuran BP Jamsostek begitu besar, pemerintah ternyata memiliki akal bulus untuk mengelabui hal di atas dengan cara JHT hanya dapat dicairkan apabila usia peserta mencapai 56 tahun.

Dengan cara ini maka akumulasi iuran JHT yang notabene adalah hasil keringat buruh bisa digunakan untuk pendanaan JKP dan juga untuk keperluan program pemerintah lainnya. Hingga kini manfaat JKP juga belum jelas bagi buruh. Padahal dana JKP itu sejatinya juga berasal dari uang buruh sendiri.

Seperti diketahui, dalam Undang-Undang Cipta Kerja disebutkan bahwa jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja diberikan paling banyak 6 (enam) bulan upah, yang diterima oleh peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu.

Menurut kronologis pembuatan UU Cipta Kerja bahwa JKP itu diadakan sebagai kompensasi adanya pengurangan jumlah pesangon dalam UU Cipta kerja. Jumlah pesangon buruh yang ter PHK jauh lebih kecil dalam rumusan UU Cipta Kerja jika dibandingkan dengan rumusan sebelumnya (UU Ketenagakerjaan Nomor.13 Tahun 2003 ).

Hingga kini belum ada kepastian terkait JKP yang semula besaran untuk cash benefit sekitar 45 % dari upah terakhir yang dilaporkan. Sedangkan untuk besaran satuan biaya pelatihan dan satuan biaya per peserta untuk reskillingnya belum ada kepastian.

JKP sebenarnya merupakan ide lama, pernah digulirkan sejak Menaker Hanif Dhakiri. Saat itu Serikat Pekerja dan pengusaha menolak mentah-mentah karena ujung-ujungnya menguras kantong pekerja dan pengusaha. Searah dengan waktu, ide JKP yang sekilas lalu tampak menarik itu ternyata dicangkokkan lewat UU Cipta Kerja.

Secara teoritis, pada prinsipnya JKP menambah jaminan sosial yang dikelola BP Jamsostek. Tahun lalu pihak serikat pekerja dan kalangan pengusaha seperti paduan suara, keduanya kompak menolak mentah-mentah konsep JKP. Pasalnya hal itu jelas akan menambah berat beban iuran bulanan yang dipotong dari gaji pekerja dan dari kantong pengusaha.

Sudah banyak potongan dan iuran yang setiap bulan menipiskan dompet pekerja. Beban iuran baru yang sebagian ditanggung oleh pengusaha itu membuat perusahaan kian tidak kompetitif. Melihat sederet skema jamsos itu investor juga enggan menanamkan modalnya.

Mestinya masalah JKP itu totalitas diambil dari APBN, bukan dari memeras keringat buruh dan menggerogoti margin pengusaha.

Di lain pihak 5 jaminan sosial yang sudah ada saja, yakni JKN (BPJS Kesehatan), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP) hingga saat ini pelaksanaannya masih amburadul.

Kelima jaminan itu masih sarat masalah dan sebagian perusahaan belum melaksanakan jamsos itu, atau hanya melaksanakan sebagian saja. BPJS Kesehatan masih amburadul karena dilanda defisit anggaran yang berkepanjangan. BP Jamsostek juga belum memuaskan pekerja dan jumlah kepesertaan masih belum menggembirakan. Ironisnya gaji, fasilitas dan bonus para direksi dan pengawas BP Jamsostek jumlahnya sangat fantastis. 

*) Arif Minardi, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesaia (KSPSI).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun