Jogja adalah wisata, budaya, dan mahasiswa. Dinamika Jogja terpengaruh dan mempengaruhi secara nyata oleh ketiga hal tersebut. Jogja mungkin sudah ditakdirkan memiliki keuntungan atas ketiganya. Keberadaan berbagai hasil kebudayaan masa lampau dikemas oleh Jogja menjadi magnet wisata dunia. Berbagai wisatawan datang ke daerah istimewa ini dengan beragam latar belakang: berpetualang di tempat baru, menggali sejarah, atau mengingat kenangan semasa bersekolah.
Di Jogja, kita bisa menyaksikan berbagai hal yang mungkin dianggap biasa saja, berubah menjadi sesuatu yang istimewa. Saya cuplikkan salah satu contohnya: Tebing Breksi. Tempat ini sekarang hits bagi anak muda sebagai salah satu spot untuk berburu foto yang instagramable. Saya tak pernah menyangka, tempat yang dulunya digunakan sebagai lokasi penambangan batu ini bisa disulap sedemikan rupa menjadi daya tarik wisata di Jogja.
Setelah membayar biaya parkir sebesar Rp 2.000,- dan uang retribusi seikhlasnya, terpajang di depan mata saya tebing yang menjulang, seperti foto-foto yang ada di tulisan teman saya. Pada bagian bawah tebing, saya melihat beberapa batu ditata sebagai tempat duduk, menyerupai amphitheater. Rupanya inilah panggung terbuka yang dinamai ‘Tlatar Seneng’ yang bisa digunakan untuk aktivitas seni dan budaya masyarakat.
Penetapan tersebut bukan tanpa dasar. Riset tentang batuan Tebing Breksi yang menjadi naskah akademis dilakukan oleh UPN Yogyakarta dan Tim Geologi Kementerian ESDM. Hasil riset tersebut selanjutnya diinventarisasi oleh Biro Administrasi Pembangunan Pemda DIY bersama UPN Yogyakarta pada tahun 2013.
Saya berusaha melacak tentang sejauh mana keterlibatan pemerintah daerah dalam mengurus Tebing Breksi. Seorang kawan yang sehari-harinya bertugas di Dinas Pariwisata DIY segera saya kontak. Setelah berbasa-basi sebagai pembuka obrolan, pertanyaan-pertanyaan pun segera dijawab tanpa jeda panjang.
“Pengembangan Breksi anggarannya sampai berapa Mas dari kantor Njenengan (kamu)?”, tanya saya.
“Bukan Mas, anggaran bukan dari tempat kami. Tebing Breksi itu dari rekening bantuan Pak Gubernur DIY.
“Tenane? (beneran?)”
“Iya, itu langsung antara Pak Gubernur dengan Pemerintah Desa. Nah, Dinas Pariwisata DIY yang mengawal kegiatan-kegiatannya.”
Apa yang dilakukan Gubernur DIY dengan memberi perhatian kepada sebuah tempat, segera menimbulkan resonansi tindakan dan memicu gerak para bawahannya. Dari Dinas Pariwisata DIY, Dinas Kebudayaan DIY, Pemerintah Kabupaten Sleman maupun instansi lain ikut ‘nyengkuyung’ (menopang bersama) dengan menyelenggarakan berbagai program maupun event di Tebing Breksi.
Sebagai contohnya, salah satu rangkaian event akbar tahunan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) digelar di Tebing Breksi beberapa waktu yang lalu. Sebuah acara off-road juga diselenggarakan di sini September 2016 kemarin. Kemudian beberapa hari lagi, musisi kenamaan Dewa Budjana akan menggelar konser di tempat yang dulunya menjadi area tambang ini.
Roda ekonomi mulai bergerak dari turunan sektor pariwisata. Kuliner menjadi salah satu hal yang mulai digiatkan oleh masyarakat. Jika awalnya penambangan bersifat eksploitatif, maskulin, dan penuh risiko, kini Tebing Breksi berubah wajah lewat pariwisata yang lebih lestari, mampu merangkul ibu-ibu untuk ikut ambil bagian, dan ramah bagi berbagai kalangan.
Sultan Memberi Tantangan Kepada Kepala Desa
“Selain Tebing Breksi, mana lagi yang menjadi perhatian pemerintah?” kembali saya menanyai teman di Dinas Pariwisata DIY.
“Mangunan, Mas. Kawasan Mangunan juga sama, pengembangannya langsung dari rekening bantuan Pak Gubernur”.
“Oh ya?”
“Iya. Coba Njenengan ke Mangunan. Monggo dicek sendiri bagaimana kondisinya di sana.”
Mangunan adalah sebuah desa di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Di kawasan yang jaraknya sekitar 23 km dari pusat Kota Yogyakarta ini terdapat hutan lindung seluas 130 ha yang ditanami berbagai pohon dan dikelola oleh Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta. Salah satu tanaman yang banyak ditanam adalah pinus yang getahnya merupakan salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Booming media sosial kembali menjadi pelumas pengembangan Mangunan. Setelah kebun buah, hutan pinus menjadi icon baru pariwisata DIY yang menyerap kedatangan wisatawan dari berbagai penjuru.
Bapak dua anak ini mengungkapkan, “Setelah Hutan Pinus Mangunan dijadikan kawasan wisata, perubahan secara nyata dialami masyarakat”. Dari dulu masyarakat menyadari, bahwa hutan pinus di kawasan Mangunan adalah milik pemerintah. Masyarakat hanya menumpang saja, dan berusaha melestarikan. Tetapi, secara riil masyarakat butuh sumber penghidupan untuk operasional dan mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
“Pilihannya ya merantau ke Kota Yogya atau ke Ibukota Mas, kalau ndak bisa mengembangkan usaha di sini”, sambung Pak Paryanto.
“Kapan Mangunan mulai berkembang begitu pesat Pak?”, tanyaku
“Tahun 15 (2015) Mas. Saat itu, Ngarso Dalem (Gubernur DIY) datang kemari. Kami juga ndak tahu Mas, ada apa dan ada siapa saja di balik kedatangan beliau. Pokoknya setelah kunjungan tersebut, berbagai perhatian hadir di sini.”, kata Pak Paryanto. Pak Paryanto kemudian bercerita bahwa pada saat Gubernur DIY berkunjung ke hutan pinus, tantangan diberikan kepada Kepala Desa Mangunan.
Seperti apa tantangan yang diberikan? Antara Yogya menuliskan dalam sebuah berita tentang kunjungan tersebut:
"Saya kembalikan ke pak lurah, dan silakan kumpulkan warga untuk berembug bersama, saya ingin tahu perencanaannya seperti apa, yang penting nanti bisa membuat masyarakat maju dan sejahtera," kata Sultan.
Sultan mengatakan, pihaknya memberikan waktu sekitar satu hingga dua bulan kepada lurah setempat untuk menyusun perencanaan pengembangan wisata Mangunan, kemudian menyampaikan ke Gubernur untuk mendapatkan bantuan biaya.
"Harus jelas juga yang rembugan berapa orang, apa yang akan dikembangkan, kami minta agar cepat disampaikan, karena kalau tidak bantuan Gubernur saya pakai untuk yang lain, satu atau dua bulan lagi silakan undang saya," katanya.
Perhatian Kepala Daerah setingkat provinsi tersebut benar-benar dibuktikan. Setelah menyaring masukan dan mengatur agenda, pertengahan tahun ini Sultan HB X kembali menyusuri Mangunan. Kehadirannya untuk mengecek sejauh mana pemanfaatan bantuan yang diberikannya kepada masyarakat desa.
Puncak Becici, Bukit Panguk, Sendang Mangunan, Homestay, thiwul (salah satu kuliner tradisional), dan berbagai atraksi serta elemen-elemen turunan pariwisata berkembang di Mangunan. Kawasan hutan Dlingo yang dulu tampak rungkut (rimbun) dan cenderung wingit (angker), kini berubah menjadi energi penggerak perekonomian masyarakat.
Hal-hal story behind the ceremony yang meneduhkan seperti ini seharusnya menjadi isu menarik ditengah tumpukan SPJ maupun cibiran negatif tentang beberapa kasus yang dilakukan oleh oknum plat merah.
Sementara itu, pekerjaan rumah pemerintah masih banyak. Monitoring secara berkala dan terus kreatif dalam mendampingi serta menjadi fasilitator masyarakat harus terus dilakukan, bukan hanya sekadar menyerap anggaran. Tim public engagement juga seyogyanya ekstra rajin mengulas kerja-kerja nyata yang dilakukan oleh pemerintah agar masyarakat mengetahui apa yang sedang diupayakan pemerintah.
Lebih-lebih di Jogja, kekuatan komunal begitu kuat terasa. Jika komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat berjalan lebih baik, gayeng, dan guyub, sangat mungkin masyarakat akan ikut berpartisipasi menyukseskan program-program yang dijalankan pemerintah. Bagaimana pun juga, kolaborasi yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat menjadi prestasi sekaligus kebanggaan tersendiri bagi para pelayan-pelayan negeri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI