Jauh-jauh hari sebelum empat pilar kebangsaan didengungkan dan dikampanyekan, KH. Maimoen Zubair; Pimpinan Pondok Pesantren al-Anwar Sarang, Rembang Jawa Tengah sudah sering menyampaikan nilai-nilai ini pada hampir pada tiap pengajian umumnya. Hanya saja bahasa yang beliau angkat lebih mudah diingat oleh banyak orang yakni PBNU(Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945).
Dalam sejarahnya, memang pesantren merupakan salah satu garda terdepan dalam mencetuskan dan mengamalkan empat pilar kebangsaan. Mulai pembentukan Pancasila dan penyusunan undang undang dasar negara, BPUPKI selalu intens berkomunikasi dengan para kiai. Tidak heran jika kemudian sampai saat ini slogan NKRI harga mati selalu menggaung di bumi santri dengan kesadaran bahwa menjaga persatuan dan kerukunan negeri ini adalah jihad tersendiri.
Surabaya sebagai Kota Pahlawan menjadi saksi bahwa para kiai dan santri adalah tonggak lahirnya perjuangan melawan Belanda dan para sekutu dengan lahirnya Resolusi Jihad, sehingga peristiwa itu mengurat syaraf pada setiap santri apalagi kemudian lahirlah hari santri di era Presiden Joko Widodo pada tanggal 22 Oktober 2015 sebagai bukti tanda adanya perjuangan itu.
Apa yang terjadi saat ini dengan munculnya pesantren dengan gaya berbeda dengan para pendahulu merupakan tantangan tersendiri. Bagaimana tidak mereka mengaku santri namun kebencian terhadap ideologi negara begitu luar biasa hebatnya, bahkan sampai derajat mengharamkan hormat terhadap bendera sang saka merah putih.
Bahkan tidak sedikit yang marah-marah dan mengatakan bahwa Pancasila adalah thoghut alias berhala. Mengenai apa-apa yang menjadi faktornya, penulis pernah mengulasnya di Kompasiana dengan judul "Jihad Amalkan Pancasila untuk Benar-benar Merdeka" pada tanggal 17 Agustus 2017 lalu yang telah dibaca oleh 12 ribu lebih pembaca.
Sedikit bocoran saja, salah satu faktor yang menjadikan generasi kini mudah marah-marah adalah minimnya kesadaran membaca. Maka tidak salah apa yang dikatakan oleh Sekjen MPR, Ma'ruf Cahyono dalam pertemuan "Ngobrol Bareng" dengan para Netizen Surabaya (04/10/2017),
"Kalau mereka suka marah, jangan-jangan mereka tidak membaca."
Agar Sosialiasi tidak Basi
Kampanye secara masif atas empat pilar kebangsaan yang dilakukan oleh MPR dan menyusur hampir seluruh lapisan masyarakat sudah berada dijalur yang benar dan harus ditingkatkan terutama di kalangan anak-anak muda. Karena merekalah generasi penerus bangsa. Di tangan mereka wajah Indonesia akan terlihat di mata dunia.
Maka, mereka yang ikut serta dalam kampanye sosialisasi ini seharusnya mempunyai kesadaran tinggi secara pribadi untuk benar-benar mandalami materi serta bertanggung jawab moral untuk menyebarkannya ke masyarakat sekitar.
Salah satu bukti kongkrit itu adalah setiap tempat tinggal mereka harus menjadi tempat yang ramah untuk dijadikan anak-anak kecil maupun remaja untuk membaca buku. Tempat yang ramah untuk berdiskusi dan bermusyawarah. Meminimalkan mereka untuk bermain game dari HP dan hal-hal yang tidak berguna entah bagaimana caranya. Sebagai santri, dalam hal ini penulis mendirikan Gubuk Santri yang siapapun bisa membaca buku maupun bermusyawarah di tempat tersebut.
Aksi nyata dalam bentuk yang kongkrit lagi adalah dengan menjadi pribadi-pribadi yang dermawan di tengah masyarakat. Jika sudah mengikuti kegiatan yang membahas empat pilar namun dia tetap medit alias pelit dengan tetangga kanan, kiri, depan dan belakang maka sesungguhnya dia tidak memahami isinya terlebih sila yang ke lima dalam Pancasila yakni Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hehe...
Contoh kecil sebagai blogger, netizen ataupun apa istilahnya yang sering review makanan sehingga bisa makan gratis di sebuah restoran, jika dia orang yang Pancasialis tentu tidak sekedar pamer makanan di sosial media, namun juga berusaha membeli dan membungkus minimal untuk satu tetangga terdekatnya. Itulah kampanye di masyarakat yang sesungguhnya.
Ya. Karena satu aksi nyata itu lebih itu lebih dahsyat dampaknya daripada seribu kata-kata.
Sebagai penutup, mari kita simak sebuah catatan kecil penulis sebagai bahan renungan kita hari ini;
Jika sosialisasi hanya sekedar basa-basi...
Maka hasilnya juga akan basi...
Mari awali dari diri sendiri...
Betapa banyak sosialisasi yang menggunakan uang rakyat...
Namun hasilnya tidak merakyat...
Wahai saudara...Ini bukan saatnya berwacana...
Namun waktunya aksi nyata...
Ini baru Indonesia...
Â
Sidoarjo -- Surabaya, 05-11-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H