Sebagai wilayah dengan salah satu kawasan Hutan Hujan tropis terbesar kedua setelah hutan Amazon, Indonesia memiliki keragaman flora dan fauna yang sangat tinggi (FFI, 2018).Â
Namun, Seiring dengan berkembangnya zaman keberadaan flora & fauna tersebut terancam akibat adanya penggundulan hutan secara illegal, perubahan iklim, perubahan tata guna lahan, dan keberadaan spesies invasif, bahkan menurut penelitian yang dilakukan di hutan amazon dampak dari penggundulan hutan dan perubahan iklim diproyeksikan/diperkirakan pada tahun 2050 bahwa akan terjadi sebanyak 58% kekayaan spesies pohon di amazon menurun, dengan 19-36% akibat penggundulan hutan dan 31-37% karena perubahan iklim (Evnike, 2013; Gomes dkk., 2019).
 Hal-hal tersebut berpotensi tinggi dalam menyebabkan ancaman terhdap keberlangsungan dan kelestarian suatu spesies flora dan fauna dapat terancam (Gardner dkk., 2019).Â
Selain itu indonesia juga merupakan negara yang kaya akan spesies tanaman endemik yaitu sebanyak 39% dari tanaman endemik yang tumbuh di Indonesia tidak ditemukan di wilayah lain di dunia (Widjaja dkk., 2014). Tanaman endemik adalah spesies tanaman yang hanya dapat ditemukan di lokasi geografis tertentu dan tidak ada di tempat lain.Â
Misalnya, di Indonesia, terdapat banyak tanaman endemik yang memiliki adaptasi khusus terhadap kondisi iklim dan lingkungan setempat. Keberadaan tanaman endemik tersebut menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki Indonesia dibanding negara lain. Salah satu tanaman endemik indonesia adalah Vatica bantamensis (Hassk.) Benth. & Hook.f. ex Miq atau yang dikenal dengan nama lokal Kokoleceran.
Tanaman tersebut merupakan salah satu tanaman endemik khas Provinsi Banten yang menjadi salah satu identitas Provinsi Banten menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) Nomor 48 tahun 1989. Tumbuhan ini hanya tumbuh dan dilestarikan diwilayah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan status terancam punah atau berada pada daftar merah (Ashton, 1998).Â
Populasi kokoleceran sangat terbatas, dengan wilayah sebaran geografis yang sangat sempit sebagai spesies endemik yaitu sekitar 8 km (Robiansyah, 2018). Hal ini membuat kokoleceran sangat rentan terhadap kepunahan. Saat ini, status populasinya berada dalam kondisi kritis. Karena itu, diperlukan upaya konservasi melalui pembudidayaan untuk meningkatkan jumlahnya agar spesies ini tidak punah.Â
Kokoleceran termasuk kedalam famili Dipterocarpaceae yaitu satu famili dengan kayu meranti yang teramasuk kedalam tumbuhan komersil untuk keperluan bangunan dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kapal. Kokoleceran adalah pohon yang bisa tumbuh hingga setinggi 30 meter. Batangnya yang masih muda ditutupi oleh bulu-bulu halus dan padat.Â
Daun tanaman ini berbentuk jorong atau lanset, dengan tangkai daun yang panjangnya bisa mencapai 2,2 cm. Perbungaannya berbentuk malai, tumbuh di ujung atau ketiak daun, dengan panjang bunga mencapai 7 cm.Â
Buahnya berbentuk agak bulat dengan tangkai pendek sekitar 5 mm dan berisi biji berdiameter hingga 1 cm. Kokoleceran berkembang biak melalui biji dan memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan Resak Hiru (Vatica rassak). Batangnya sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan untuk pembuatan kapal. Dalam melakukan tindakan tersebut tentunya perlu untuk memahami kondisi iklim dan geografi yang dapat mendukung keberlangsungan tanaman Kokoleceran di wilayah Provinsi Banten.
Kondisi Geografis Provinsi Banten
Provinsi Banten terletak di ujung barat Pulau Jawa, berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Sunda di barat, Jawa Barat di timur, dan Samudra Hindia di selatan. Banten memiliki topografi yang beragam mulai dari pesisir pantai hingga pegunungan, variasi topografi tersebut menyebabkan variasi fenomena cuaca lokal dan kondisi iklim mikro di wilayah Provinsi Banten (Hadi dkk., 2002).Â
dengan iklim tropis yang berfluktuasi antara suhu 19.6 -- 37.40 derajat Celsius dengan curah hujan perbulannya adalah 0 sampai 436.7 mm/bulan (Yayat Ruhiat, 2022). Daerah administratif Banten terdiri dari empat kabupaten dan empat kota dengan serang sebagai ibukotanya. Wilayah pantai seperti Anyer dan Carita menjadi destinasi wisata populer, sementara perbukitan dan pegunungan di bagian tengah dan selatan, seperti Gunung Pulosari, mendukung keanekaragaman hayati di Banten.Â
Di wilayah Banten, terdapat banyak sungai besar, seperti Sungai Ciujung dan Cidurian, yang mengalir dari pegunungan hingga bermuara di Laut Jawa. Sungai-sungai ini mendukung aktivitas pertanian dan perikanan di dataran rendah, yang merupakan sumber mata pencaharian penting bagi masyarakat setempat. Kondisi geografis yang beragam ini juga mendukung keanekaragaman flora dan fauna, seperti keberadaan hutan alami di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang menjadi habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), spesies langka yang dilindungi.Â
Selain itu TNUK juga merupakan habitat dari tanaman khas endemik Provinsi Banten atau Kokoleceran. Kokoleceran sendiri tumbuh di habitat dengan karakteristik geografis wilayah yang topografinya lereng dan pegunungan dengan ketinggian rata-rata 300 -- 500 meter diatas permukaan laut (Robiansyah dkk., 2019).Â
Topografi wilayah ujung kulon yang terdiri dari pesisir, perbukitan, dan pegunungan membuat wilayah ini menjadi cocok untuk pertumbuhan tanaman kokoleceran. Selain itu kokoleceran mendapatkan manfaat dari kondisi topografi Ujung Kulon yang kaya akan sumber daya air, tanah yang subur, dan kelembaban tinggi---kondisi ideal bagi pertumbuhannya. Respon tanaman Kokoleceran terhadap berbagai ketinggian yaitu sebagai berikut :
- Dataran Rendah dan Rawa: Ujung Kulon memiliki dataran rendah yang lembap dan kaya akan tanah aluvial yang subur. Kokoleceran tumbuh baik di lingkungan ini karena kebutuhan utamanya akan tanah yang kaya nutrisi dan kelembaban tinggi. Dataran rendah dengan curah hujan tinggi dan ketersediaan air yang stabil membantu mempertahankan kelembaban tanah, sehingga mendukung pertumbuhan akar kokoleceran secara optimal (Murti & Maya, 2021).
- Perbukitan: Meskipun kokoleceran lebih umum di dataran rendah sampai menengah, perbukitan rendah di Ujung Kulon menawarkan variasi ketinggian yang berfungsi sebagai penyangga iklim mikro. Ini menciptakan lingkungan yang sejuk dan tidak terlalu ekstrem bagi kokoleceran, yang membutuhkan kelembaban tetapi sensitif terhadap kondisi kekeringan dan perubahan suhu yang drastis. Lereng bukit juga memungkinkan drainase air yang baik, mencegah akar kokoleceran dari kondisi tergenang yang berlebihan.
- Kedekatan dengan Sumber Air: Sungai-sungai kecil, rawa, dan daerah berair lainnya di Ujung Kulon menyediakan cadangan air yang berkelanjutan bagi habitat kokoleceran. Ketersediaan air dari sungai dan curah hujan yang tinggi menjaga kelembaban tanah di sekitarnya, yang penting untuk pertumbuhan tanaman ini, terutama selama musim kemarau.
Kondisi klimatologis Provinsi Banten
Provinsi Banten terletak di bagian barat Pulau Jawa dan memiliki iklim tropis lembap, yang sangat dipengaruhi oleh pola angin monsun dan lokasi geografisnya yang dekat dengan Laut Jawa serta Samudera Hindia.Â
Daerah ini memiliki dua musim utama, yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung dari bulan November hingga Maret, dengan curah hujan tertinggi pada Desember hingga Februari. Rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini berkisar antara 2.000 hingga 4.000 mm, tergantung pada ketinggian dan jarak dari laut.Â
Wilayah pegunungan di Banten, seperti sekitar Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, biasanya menerima curah hujan lebih tinggi daripada daerah dataran rendah dan pesisir (Sambas dkk., 2018). Suhu di Banten rata-rata berkisar antara 23C hingga 33C sepanjang tahun, dengan kelembapan relatif yang tinggi, umumnya di atas 70%.Â
Kelembapan ini membuat udara terasa lembap dan mendukung berbagai tipe vegetasi tropis, termasuk hutan hujan dataran rendah dan mangrove di daerah pesisir. Faktor-faktor seperti ketinggian dan jarak dari pantai memengaruhi suhu di daerah-daerah tertentu. Misalnya, daerah pegunungan di wilayah selatan cenderung lebih sejuk dibandingkan dengan kawasan perkotaan dan pesisir yang panas (Linacre, 1982).Â
Pengaruh angin monsun juga cukup signifikan terhadap pola iklim di Banten. Angin monsun barat daya yang lembap membawa curah hujan tinggi pada musim hujan, sedangkan angin monsun timur yang kering menyebabkan penurunan curah hujan selama musim kemarau, umumnya dari Mei hingga September.Â
Fenomena perubahan iklim global, seperti peningkatan suhu dan perubahan pola hujan, diperkirakan akan berdampak pada kestabilan iklim di Banten. Hal ini mengancam ekosistem lokal, termasuk keberlanjutan spesies endemik seperti Vatica bantamensis, yang sangat bergantung pada kondisi iklim yang stabil.
Selain itu Provinsi Banten juga dipengaruhi oleh fenomena Variabilitas Iklim global yang mencakup wilayah antar benua dan samudera, seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD).Â
Selama peristiwa El Nio, Banten biasanya mengalami penurunan curah hujan, yang menyebabkan musim kemarau yang lebih panjang dan kondisi kekeringan. Penurunan curah hujan ini dapat berdampak serius terhadap pertumbuhan tanaman karena kurangnya suplai air (Wandayantolis dkk., 2023).Â
Sebaliknya, selama peristiwa La Nia, Banten cenderung mengalami peningkatan curah hujan, yang dapat menyebabkan banjir dan genangan air (Prasetyo & Nabilah, 2017). Fluktuasi iklim ini, yang terjadi secara tidak teratur setiap 2 hingga 7 tahun, dapat berlangsung dari beberapa bulan hingga lebih dari setahun, menciptakan tantangan signifikan bagi pertanian dan infrastruktur di provinsi ini.Â
Ketika kekurangan air pada saat fase ENSO. Ketika terjadinya fase El Nino pertumbuhan dari tanaman Kokoleceran dapat terhambat karena tidak adanya nutrien yang menjadi energi bagi pertumbuhan tanaman, sedangkan pada saat fase La Nina dapat menyebabkan bencana alam banjir dan longsor yang dapat merusak tanaman kokoleceran.
Selain ENSO fenomena variabilitas lain yang berpengaruh terhadap Provinsi Banten adalah Indian Ocean Dipole (IOD). IOD merupakan fluktuasi suhu permukaan laut antara wilayah barat dan timur Samudra Hindia, yang mempengaruhi pola hujan, suhu, dan angin di Indonesia (Saji dkk., 1999).Â
IOD memiliki tiga fase utama: fase positif, fase negatif, dan fase netral. Masing-masing fase ini memiliki dampak yang berbeda terhadap kondisi cuaca di Provinsi Banten. Pada fase positif IOD, suhu permukaan laut di bagian barat Samudra Hindia (dekatan dengan Afrika) lebih hangat dibandingkan dengan suhu di bagian timur (dekatan dengan Indonesia dan Australia).Â
Dampak dari fase ini di Provinsi Banten adalah peningkatan risiko musim kemarau yang lebih panjang dan lebih kering. Hal ini disebabkan oleh pola tekanan rendah yang berkembang di barat Samudra Hindia yang mengarah pada pengurangan curah hujan di wilayah Indonesia, termasuk Banten.Â
Fenomena ini dapat menyebabkan penurunan curah hujan selama musim hujan yang seharusnya terjadi, meningkatkan potensi kekeringan dan stres air di kawasan pertanian dan sumber daya alam lainnya. pada fase negatif IOD, suhu permukaan laut di bagian timur Samudra Hindia lebih hangat dibandingkan dengan di bagian barat. Pada fase ini, curah hujan di Indonesia cenderung meningkat, yang termasuk Provinsi Banten.Â
Fase negatif IOD menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan atmosfer di bagian barat Samudra Hindia dan penurunan tekanan atmosfer di timur Samudra Hindia, yang mendorong peningkatan monsun barat daya yang membawa hujan. Akibatnya, musim hujan di Banten menjadi lebih intens dan panjang, dengan kemungkinan terjadinya banjir atau tanah longsor di daerah dataran rendah dan perbukitan. Kondisi ini dapat menguntungkan bagi sektor pertanian yang bergantung pada hujan, tetapi juga meningkatkan risiko bencana alam.Â
Secara keseluruhan, pengaruh IOD terhadap Provinsi Banten sangat tergantung pada fase IOD yang terjadi. Fase positif IOD berpotensi meningkatkan kekeringan dan mengurangi curah hujan, yang dapat mengganggu pertanian dan menyebabkan kekurangan air. Di sisi lain, fase negatif IOD meningkatkan curah hujan, yang dapat menyebabkan potensi banjir, terutama di wilayah pesisir dan dataran rendah.
Pengaruh Iklim terhadap kelangsungan hidup Vatica bantamensis
Seperti banyak spesies endemik lainnya, Vatica bantamensis sangat bergantung pada kondisi iklim lokal untuk dapat bertahan hidup (Syamsuri & Nurdiana, 2020). Iklim di Provinsi Banten yang cenderung tropis dengan curah hujan tinggi dan suhu yang relatif stabil sepanjang tahun menjadi faktor krusial dalam menentukan keberlangsungan hidup tanaman ini.Â
Akan tetapi, perubahan iklim yang terjadi secara global dan berdampak lokal di wilayah ini mengancam habitat alaminya serta kemampuan spesies ini untuk terus berkembang biak.Â
Provinsi Banten mengalami pola curah hujan yang signifikan, dengan musim hujan yang lebat dari bulan November hingga Maret dan musim kemarau yang relatif kering dari bulan April hingga Oktober. Tanaman Vatica bantamensis memerlukan tingkat kelembapan yang tinggi serta tanah yang kaya nutrisi dan stabil dalam hal kelembapan untuk dapat tumbuh secara optimal (Robiansyah dkk., 2019).Â
Dengan adanya perubahan iklim yang menyebabkan variasi yang lebih ekstrem dalam pola cuaca, seperti curah hujan yang lebih deras dalam waktu singkat atau kemarau yang lebih panjang, tanaman ini menghadapi risiko kekeringan atau bahkan banjir yang dapat merusak akar serta sistem penyerapan nutrisi di dalam tanah.Â
Keberadaan varibilitas iklim di wilayah provinsi Banten juga berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup tanaman ini, hal tersebut menyebabkan adanya ancaman terhadap tanaman tersebut.Â
Perubahan-perubahan ekstrem ini mengganggu pola pertumbuhan serta proses reproduksi alami, yang pada akhirnya mengancam keberadaan tanaman ini secara jangka panjang (Purwaningsih, 2021). Selain curah hujan yang tidak menentu, kenaikan suhu juga berdampak langsung pada Vatica bantamensis.Â
Kenaikan suhu dapat memengaruhi ekosistem di mana tanaman ini berada, seperti perubahan dalam pola interaksi dengan spesies lain dan meningkatnya risiko serangan hama serta penyakit (Widiarti dkk., 2022). Dalam kondisi yang semakin panas, pertumbuhan tanaman dapat terhambat, dan proses reproduksi seperti penyerbukan dan penyebaran benih pun menjadi lebih sulit.Â
Ditambah lagi, tekanan manusia seperti konversi lahan untuk keperluan pertanian atau perkebunan turut mempersempit habitat tanaman ini, yang sudah terbatas pada kawasan hutan yang tersisa. Jika kondisi iklim dan habitatnya terus memburuk, keberadaan Vatica bantamensis akan semakin terancam, dan spesies ini berpotensi mengalami kepunahan di habitat aslinya.
Pengaruh Iklim terhadap persebaran Vatica bantamensis
Tanaman ini memiliki persebaran terbatas, khususnya di hutan-hutan tropis primer dengan kondisi mikroklimat tertentu. Iklim yang stabil dengan curah hujan tinggi dan suhu yang relatif konstan menjadi faktor utama dalam persebaran tanaman ini. Di wilayah tropis seperti Banten, pola curah hujan yang musiman mempengaruhi kondisi kelembapan dan kualitas tanah yang sangat dibutuhkan oleh Vatica bantamensis untuk tumbuh dengan optimal.Â
Tanaman ini bergantung pada musim hujan untuk mendapatkan cukup air dan nutrisi dari tanah (Syamsuri & Nurdiana, 2020). Ketika curah hujan tidak menentu akibat perubahan iklim, persebaran alami tanaman ini pun terancam.Â
Perubahan iklim yang terjadi secara global telah berdampak pada pola cuaca lokal di Banten, yang berpotensi menghambat persebaran Vatica bantamensis. Peningkatan suhu global dan ketidakpastian musim hujan telah menciptakan kondisi lingkungan yang kurang stabil, mengganggu pola tumbuh dan menyebarnya spesies ini.Â
Curah hujan yang berlebihan atau musim kemarau yang berkepanjangan mengakibatkan perubahan pada tingkat kelembapan tanah, yang secara langsung mempengaruhi perkembangan akar dan penyerapan nutrisi oleh tanaman ini (Purwaningsih, 2021). Selain itu, perubahan pola cuaca menyebabkan potensi banjir pada musim hujan yang ekstrem, sehingga memperbesar risiko kematian bibit muda Vatica bantamensis yang sensitif terhadap genangan air.
Fluktuasi iklim juga berdampak pada ekosistem tempat Vatica bantamensis tumbuh. Kenaikan suhu dan perubahan kelembapan dapat memengaruhi interaksi antara tanaman ini dengan organisme lain di sekitarnya, seperti penyerbuk alami dan mikroorganisme tanah.Â
Gangguan pada ekosistem ini menyebabkan ketidakmampuan tanaman untuk berkembang secara alami, karena penyerbukan dan proses regenerasi terganggu. Selain itu, hutan tempat spesies ini tumbuh mulai terfragmentasi akibat penggundulan hutan dan konversi lahan, yang diperparah dengan ketidakpastian iklim.Â
Hal ini membatasi ruang gerak Vatica bantamensis untuk berkembang biak dan menyebar, sehingga memperkecil peluangnya untuk mempertahankan keberlanjutan populasi di alam liar (Ministry of Environment and Forestry, 2019). Kondisi iklim yang tidak menentu juga meningkatkan risiko tanaman Vatica bantamensis terhadap serangan hama dan penyakit.Â
Peningkatan suhu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi beberapa jenis hama dan patogen yang sebelumnya kurang aktif. Hal ini mengancam keberlangsungan hidup tanaman yang sudah terancam oleh habitat yang semakin terbatas.Â
Ketika populasi Vatica bantamensis menyusut, kemampuan tanaman ini untuk menyebar ke area baru dan mempertahankan persebarannya di alam pun ikut berkurang. Jika perubahan iklim dan faktor lingkungan tidak segera ditangani, besar kemungkinan spesies ini akan menghadapi risiko kepunahan di masa depan (Widiarti dkk., 2022).
Pengaruh Variabilitas Iklim terhadap persebaran Vatica bantamensis
Variabilitas iklim yang disebabkan oleh fenomena El Nio-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan dan pertumbuhan tanaman Vatica bantamensis di Banten. ENSO dan IOD memengaruhi pola cuaca di wilayah Indonesia, termasuk curah hujan, suhu, dan kelembapan yang sangat dibutuhkan oleh tanaman hutan tropis seperti Vatica bantamensis.Â
Saat El Nio terjadi, biasanya akan ada pengurangan curah hujan di wilayah Indonesia, termasuk Banten. Kondisi ini dapat memicu kekeringan yang berdampak negatif pada tanaman Vatica bantamensis, yang bergantung pada tingkat kelembapan tanah yang tinggi untuk proses fotosintesis dan pertumbuhan optimal (Hidayat & Andiani, 2019).Â
Sebaliknya, La Nia yang membawa lebih banyak curah hujan juga memiliki potensi bahaya. Selama La Nia, curah hujan yang berlebihan dapat mengakibatkan banjir di beberapa wilayah, termasuk habitat Vatica bantamensis. Tanaman ini, terutama pada tahap bibit, cukup rentan terhadap genangan air yang berlebihan, yang bisa merusak akar dan mengurangi kemampuan tanaman untuk menyerap nutrisi.
 Akumulasi air yang berlebihan dapat memicu penyakit pada akar dan batang, yang dalam jangka panjang bisa mengurangi kelangsungan hidup spesies ini (Syamsuri & Nurdiana, 2020). Selain itu, peningkatan kelembapan akibat La Nia meningkatkan risiko infeksi jamur dan mikroorganisme patogen lainnya, yang mengancam tanaman yang berada di lingkungan dengan sirkulasi udara rendah.
Indian Ocean Dipole (IOD) juga memberikan dampak yang signifikan terhadap iklim di Indonesia. Ketika IOD positif terjadi, suhu permukaan laut di Samudra Hindia bagian timur menjadi lebih dingin, sehingga mengurangi penguapan dan menurunkan curah hujan di wilayah barat Indonesia, termasuk Banten. Dampak ini mirip dengan kondisi El Nio, yang menyebabkan musim kering yang berkepanjangan dan menurunkan ketersediaan air tanah.Â
Tanaman Vatica bantamensis yang bergantung pada air tanah untuk mempertahankan kelembapan tanah akan menghadapi stres air yang dapat memperlambat pertumbuhan dan menghambat proses fotosintesis.Â
Di sisi lain, ketika IOD negatif terjadi, curah hujan bisa meningkat secara drastis, yang berpotensi menimbulkan banjir dan kerusakan tanah. Secara keseluruhan, variabilitas iklim yang disebabkan oleh ENSO dan IOD menciptakan kondisi lingkungan yang tidak stabil bagi Vatica bantamensis. Ketidakstabilan ini tidak hanya memengaruhi kondisi fisik tanaman tetapi juga memengaruhi ekosistem secara keseluruhan.Â
Dengan perubahan-perubahan cuaca yang semakin ekstrem akibat ENSO dan IOD, habitat alami Vatica bantamensis terus terancam, dan adaptasi tanaman ini terhadap kondisi yang dinamis menjadi semakin sulit. Jika fenomena iklim ini semakin sering terjadi atau semakin intens, keberlangsungan jangka panjang Vatica bantamensis di habitat aslinya akan menghadapi ancaman serius.
Upaya Pelestarian Vatica bantamensisÂ
Dalam menanggapi perubahan iklim, terdapat beberapa upaya pelestarian yang dapat diterapkan untuk mempertahankan keberlangsungan Vatica bantamensis di tengah tantangan perubahan iklim:
- Pemantauan dan Pengelolaan Kondisi Mikroklimat
Pemantauan kondisi mikroklimat secara berkala di habitat Vatica bantamensis penting untuk mengidentifikasi perubahan pola curah hujan, suhu, dan kelembapan tanah yang diakibatkan oleh variabilitas iklim seperti ENSO dan IOD. Dengan menggunakan data dari pemantauan ini, pihak berwenang dapat mengembangkan model prediktif untuk memetakan pola cuaca ekstrem dan meresponnya dengan tepat. Misalnya, pada tahun-tahun dengan potensi El Nio, pengelolaan air di area konservasi dapat diperketat untuk memastikan ketersediaan air bagi tanaman. Selain itu, teknologi pengelolaan kelembapan tanah, seperti irigasi tetes atau penutup tanah organik, dapat digunakan untuk menjaga kelembapan yang dibutuhkan oleh tanaman ini. - Pembangunan Kebun Bibit dan Pengkayaan Habitat
Mengingat habitat alami Vatica bantamensis semakin terancam oleh perubahan iklim dan penggundulan hutan, pembangunan kebun bibit dan kawasan konservasi yang dilindungi sangat penting. Kebun bibit ini berfungsi sebagai cadangan untuk menjaga keberlanjutan spesies, terutama pada periode iklim yang tidak menentu. Tanaman yang sudah tumbuh di kebun bibit dapat dikembalikan ke hutan ketika kondisi ekosistem lebih stabil. Upaya ini perlu dilakukan di daerah yang relatif terlindungi dari ancaman banjir atau kekeringan untuk meningkatkan peluang hidup tanaman saat dipindahkan ke habitat aslinya (Syamsuri & Nurdiana, 2020) - Restorasi Ekosistem Berbasis Vegetasi Asli
Dalam upaya pelestarian, strategi restorasi berbasis vegetasi asli sangat penting. Hal ini melibatkan penanaman spesies lokal di sekitar habitat Vatica bantamensis untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan tanaman ini dan melindunginya dari ancaman iklim ekstrem. Penanaman vegetasi penyangga yang memiliki toleransi tinggi terhadap kekeringan dan kelembapan tinggi dapat membantu menstabilkan kelembapan tanah, mengurangi risiko banjir, dan mencegah pengikisan tanah di sekitar akar tanaman Vatica bantamensis. Strategi ini juga berfungsi sebagai perlindungan dari suhu ekstrem yang bisa membahayakan tanaman pada fase pertumbuhan muda (Purwaningsih, 2021).
 Penguatan Kebijakan Perlindungan dan Edukasi Publik
Upaya pelestarian Vatica bantamensis juga memerlukan dukungan kebijakan yang kuat serta partisipasi masyarakat. Pemerintah daerah dan lembaga konservasi perlu mengembangkan kebijakan yang melindungi habitat Vatica bantamensis dari aktivitas yang merusak, seperti pembalakan liar dan konversi lahan.Â
Edukasi publik mengenai pentingnya spesies ini dan dampak perubahan iklim terhadap kelangsungan hidupnya akan mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam upaya pelestarian. Keterlibatan masyarakat dapat diwujudkan melalui program penghijauan, pemeliharaan bibit, serta pelaporan apabila ada kerusakan atau ancaman terhadap habitat tanaman ini (Ministry of Environment and Forestry, 2019).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI