Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"BER[T]ANI" Karena "BENAR" dan Riwayat Perlawanan Petani Galela Halmahera Utara

24 September 2024   20:16 Diperbarui: 24 September 2024   20:45 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika diperhatikan secara cermat, latar belakang konflik pertanahan di pedesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan [baik yang difasilitasi negara maupun swasta] dan rakyat petani. 

Akar Persoalan Konflik Agraria.

Ketika kita melacak lebih jauh, akar persoalan konflik agraria di satu sisi didapat dari sejarah lahirnya hak [erfpacht] yang kemudian dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU) pada tanah perkebunan. Pengelolaan HGU tersebut dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan peruntukan, penguasaan, dan pengasingan terhadap masyarakat sekitar, atas peran ko[eksistensi] sehingga memicu manifestasi konflik laten.

Dari beberapa permasalahan agraria yang menghantui sosio-ekonomi politik masyarakat Indonesia, perlu bagi kita untuk mengetahui asal-muasal munculnya sistem kapitalisme itu sendiri. Sebab berbagai permasalahan yang terjadi sekarang, tak terlepas dari aspek historis munculnya akar permasalahan tersebut.

Bernstein menganalisis munculnya kapitalisme dan perkembangannya yang disebabkan oleh akumulasi primitif. Akumulasi primitif dijelaskan sebagai proses masyarakat pra-kapitalis dalam mendapatkan "surplus" non-pasar dengan ekspoitasi atau "paksaan ekstra ekonomi." Melalui akumulasi primitif inilah sehingga petani mulai dipisahkan dari alat produksinya secara perlahan. Bernstein menggunakan studi kasus yang terjadi di Inggris, Prusia dan Amerika dalam analisanya terhadap munculnya kapitalisme.

Pada permulaan transisi zaman perbudakan menuju zaman kapitalisme, kelas kapitalis dibagi menjadi empat, yaitu: Kelas bangsawan pemilik tanah, kelas pedagang yang meminjamkan kredit dan barang-barang untuk pemilik tanah, kapital agraria yang mengurus langsung di lapangan dan kelas perbankan yang mendanai segala kegiatan produksi.

Selanjutnya, Bernstein menerangkan bahwa zaman kolonial (yang dipelopori oleh Colombus pada tahun 1492) telah membuka gerbang munculnya kapitalisme agraria yang kemudian menjadi kapitalisme industri. Komodifikasi produksi akibat tuntutan pasar global menjadi faktor negara-negara kolonial mencoba merampas hasil alam serta budak negara koloninya. Hal ini didukung oleh pernyataan Marx bahwa "Tanah dan budak menjadi komoditas penting dalam moda produksi serta munculnya kapitalisme dagang, menjadi sebab umum mengapa bangsa Eropa ingin memiliki negara koloni."

Terakhir sebagai penutup, bahwa petani Galela telah mengukir sejarah perlawanan yang cukup lama. Yang walaupun di intimidasi , di represif, bahkan dipenjara sekalipun. Namun pada prinsipnya mereka terus menanam komoditas lokal [apapun itu], demi sejingkal tanah, mereka siap mewakafkan diri mereka dengan segala resiko yang mereka terima. Sebab, tanah merupakan sumber penghidupan, tak hanya itu,jika  tanah merupakan sumber kehidupan dan masa depan anak-cucu dikemudian hari. Maka menanam ialah bagian daripada Melawan. ***

#Selamat hari Tani Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun