Mohon tunggu...
Arifin Biramasi
Arifin Biramasi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Pegiat Sosial, Politik, Hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"BER[T]ANI" Karena "BENAR" dan Riwayat Perlawanan Petani Galela Halmahera Utara

24 September 2024   20:16 Diperbarui: 24 September 2024   20:45 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[Catatan refleksi Hari Tani Nasional]

"Jika menanam ialah Melawan. Maka teruslah menanam benih-benih perjuangan dan Perlawanan. Agar dapat dituai hasilnya. Yakni kesejahteraan Sosial (rakyat) itu sendiri".

Sepanjang sejarah bangsa, konflik pertanahan memang selalu menyeruak di negeri agraris ini. Dari rekaman berbagai kasus sengketa tanah yang pernah ada, mulai dari zaman pemerintahan kolonial Hin- dia Belanda hingga rezim Orde Baru, mulai dari kasus Cilegon Banten (1888), Cimacan Bandung (1989), Jenggawah Jember (1995), Kalibakar Malang Selatan (1997), Hingga Petani Galela 2016 selalu saja menempatkan petani dalam posisi berhadap-hadapan dengan penguasa.

Dalam posisi seperti ini, sudah barang tentu resistensi petani tak bisa dielakkan, indonesia, sebagai negara yang pernah menjadi koloni bangsa-bangsa Eropa dan Jepang, menjadi negara yang mengatur produksi, produktivitas, dan reproduksi petani-petani marginal.

Sebagai negara yang ingin menancapkan taringnya di kancah ekonomi internasional, pemerintah mengulurkan karpet merah kepada investor lokal maupun internasional. Bahkan, pemerintah tak segan mengorbankan ruang hidup para petani, seperti yang menimpa nasib rakyat yang terakumulasi dalam 10 Desa kecamatan Galela  dengan PT. Capitol Cassagro Indonesia (yang merupakan Badan Usaha Milik Negara) berkonflik dengan warga. 

Ber[T]Ani karena Benar.

Konflik yang berada di atas lahan seluas berkisar 30 HA tersebut, telah berlangsung sejak mulai tahun 1991 hingga 2023. Lahan tersebut awalnya merupakan lahan masyarakat sejak  nenek moyang (belum adanya) perusahaan. Namun pada tahun 1991, PT. Global Agronusa Indonesia [PT. GAI] datang membeli lahan tersebut dengan harga yang cukup murah. Namun disaat bersamaan, para petani yang berkebun dilahan mereka, bersikeras untuk tidak mau memberikan tanah mereka yang dibelj pihak PT. Sehingga pada akhirnya PT melalui tangan pemerintah dan pihak aparatur melakukan tindakan kesewenang-wenangan dan representatif, tak hanya itu bahkan para petani Galela dikalah itu pun kerap diancam dan bahkan dipenjara ketika masih terus bersikeras untuk [tak mau menjual] lahannya kepada pihak perusahaan. Alhasil karena rasa takut, dan penjara, sehingga tanah-tanah yang telah digarap sejak nenek moyang tersebut dijual secara paksa namun dengan syarat yang diberikan perusahaan bahwa, akan menggantikan lahan cadangan yang telah digusurnya.

Dan pada akhirnya perusahaan pun melakukan penggusuran lahan-lahan petani dikalah itu. Disaat yang sama, ketika telah berhasil menggusur tanah rakyat. Perusahaan pun beroperasi bergerak dengan begitu pesat. Mereka merekrut masyarakat local hingga nasional untuk bekerja pada perusahaan tersebut. 

Konflik Horizontal 

Tak memerlukan waktu yang cukup lama kemudian Ketika ditahun 2000-2001, Maluku Utara mengalami konflik horizontal yang terelakan,  sehingga pada akhirnya perusahaan pun mengalami kemacetan produksi hingga tahun 2002. 

Selanjutnya ditahun yg sama, perusahaan kembali beroperasi di lahan tersebut, namun bukan lagi atas nama PT GAI, Melainkan PT. WBLM  namun PT. WBLM  tak bertahan lama, dan diambil alih lagi oleh  pihak ketiga dengan nama PT. Capitol Cassagro (peralihan Status) dari perusahaan Pisang ke Tapioka. 

 Dengan hadirnya PT Capitol Cassagro, para petani yang telah menjual lahannya pada perusahan ditarik oleh perusahaan untuk bekerja di PT tersebut. Namun disaat bersamaan dengan hadirnya PT tersebut, bukan justru mensejahterakan rakyat, tapi  malah terjadi PHK Sepihak terhadap karyawan yang bekerja di PT tersebut. Alih-alih dari PHK sepihak tersebut yang pada akhirnya karyawan pun  banyak di rumahkan, shingga pada akhirnya memicu amarah rakyat. 

Tak hanya itu, bahkan petani yg bersikeras menduduki lahan yang telah di kompensasi tersebut mulai mengorganisir,  dan pada akhirnya  terjadilah konflik antara pihak perusahaan dan petani yang menduduki lahan dikala itu.

Kemudian di Tahun 2015-2016 ketika konflik memuncak, rakyat meminta Gubernur Malut untuk segera hadir dengan maksud untuk mengambil sikap dan solusi atas  konflik tersebut, namun hasilnya nihil yang pada akhirnya amarah daripada petani semakin membludak dan terjadilah pemberontakan, pemboikotan dan oerlawanan secara besar-besaran. 

Disaat konflik terjadi akat vital milik perusahaan pun jadi korban, tak hanya itu, bahkan dari pihak petani pun ditangkap, yang pada akhirnya dipenjara dan sebagainya. 

Jika kita mengurai riwayat perlawanan petani Galela memang sudah terjadi sejak tahun  (1990-an-2016), (2020) hingga pergerakan  nasional (2019-2023),terhitung kurang-lebih  32 tahun.  Namun sampai sejauh ini, pemerintah pusat Hingga daerah bukan justru dengan sikap keberpihakannya terhadap rakyat. Namun justru turut melegitimasi investor (perusahaan). 

Resistensi Perlawanan.

Resistensi petani merupakan suatu reaksi defensif akibat tidak terjaminnya kehidupan rakyat dan pula jaminan lahan yang dijanjikan perusahaan.  Dengan tidak terjaminnya lahan cadangan petani, maka perilaku resistensi tersebut dipakai sebagai (survival strategy) dalam menghadapi ketidak-pastian (uncertainty). 

Perilaku ini bukan saja menggambarkan tindakan pengingkaran petani terhadap pemegang kebijakan yaitu negara, melainkan juga menjadi pertanda aksi yang berprinsip dahulukan selamat (safety first) di tengah tidak terjaminnya tanah mereka.  Jika kita terus mengamini kebijakan negara yang hegemonik dan tidakada keberpihakan terhadap rakyat kecil, maka tentunya mereka selalu  menerima segala resiko yang terjadi.

Menifestasi ketidak berpihakan negara terhadap petani itulah yang melatari resistensi yang melatari resistensi ribuan petani.  Mereka menganggap resistensi tersebut sebagai satu-satunya aksi sebagai sikap politik yang tepat,terukur, efektif, konkret, dan memiliki bargaining position bagi perbaikan ekonomi dan kehidupan mereka di kemudian hari. Namun di balik itu, resistensi tersebut sebenarnya muncul manakala karena ingin menolak kebijakan negara dalam masalah agraria yang cenderung eksploitatif dan tak ada sikap keberpihakan sama sekali. Ironis memang, tapi itulah realitas yang selalu disuguhkan oleh negeri yang bercorak agraris ini.

Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika ideologi [developmentalism] menjadi pilihan paradigma pembangunan rezim Orde Baru [yang ironisnya konsep ini bukan sepenuhnya produk elite negara, melainkan hasil konstruksi kekuatan capital global] yang kenyataannya sangat problematik bagi petani- dengan ditopang investasi modal asing secara besar-besaran melalui industrialisasi untuk keperluan operasionalnya sangat memerlukan ketersediaan tanah (Fauzi, 2001: 286). 

Akibatnya, tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Proses ini tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya ke dalam sistem kapitalisme melalui ekpansi pasar dengan fasilitas intervensi kebijakan negara.

Jika diperhatikan secara cermat, latar belakang konflik pertanahan di pedesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan [baik yang difasilitasi negara maupun swasta] dan rakyat petani. 

Akar Persoalan Konflik Agraria.

Ketika kita melacak lebih jauh, akar persoalan konflik agraria di satu sisi didapat dari sejarah lahirnya hak [erfpacht] yang kemudian dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU) pada tanah perkebunan. Pengelolaan HGU tersebut dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan peruntukan, penguasaan, dan pengasingan terhadap masyarakat sekitar, atas peran ko[eksistensi] sehingga memicu manifestasi konflik laten.

Dari beberapa permasalahan agraria yang menghantui sosio-ekonomi politik masyarakat Indonesia, perlu bagi kita untuk mengetahui asal-muasal munculnya sistem kapitalisme itu sendiri. Sebab berbagai permasalahan yang terjadi sekarang, tak terlepas dari aspek historis munculnya akar permasalahan tersebut.

Bernstein menganalisis munculnya kapitalisme dan perkembangannya yang disebabkan oleh akumulasi primitif. Akumulasi primitif dijelaskan sebagai proses masyarakat pra-kapitalis dalam mendapatkan "surplus" non-pasar dengan ekspoitasi atau "paksaan ekstra ekonomi." Melalui akumulasi primitif inilah sehingga petani mulai dipisahkan dari alat produksinya secara perlahan. Bernstein menggunakan studi kasus yang terjadi di Inggris, Prusia dan Amerika dalam analisanya terhadap munculnya kapitalisme.

Pada permulaan transisi zaman perbudakan menuju zaman kapitalisme, kelas kapitalis dibagi menjadi empat, yaitu: Kelas bangsawan pemilik tanah, kelas pedagang yang meminjamkan kredit dan barang-barang untuk pemilik tanah, kapital agraria yang mengurus langsung di lapangan dan kelas perbankan yang mendanai segala kegiatan produksi.

Selanjutnya, Bernstein menerangkan bahwa zaman kolonial (yang dipelopori oleh Colombus pada tahun 1492) telah membuka gerbang munculnya kapitalisme agraria yang kemudian menjadi kapitalisme industri. Komodifikasi produksi akibat tuntutan pasar global menjadi faktor negara-negara kolonial mencoba merampas hasil alam serta budak negara koloninya. Hal ini didukung oleh pernyataan Marx bahwa "Tanah dan budak menjadi komoditas penting dalam moda produksi serta munculnya kapitalisme dagang, menjadi sebab umum mengapa bangsa Eropa ingin memiliki negara koloni."

Terakhir sebagai penutup, bahwa petani Galela telah mengukir sejarah perlawanan yang cukup lama. Yang walaupun di intimidasi , di represif, bahkan dipenjara sekalipun. Namun pada prinsipnya mereka terus menanam komoditas lokal [apapun itu], demi sejingkal tanah, mereka siap mewakafkan diri mereka dengan segala resiko yang mereka terima. Sebab, tanah merupakan sumber penghidupan, tak hanya itu,jika  tanah merupakan sumber kehidupan dan masa depan anak-cucu dikemudian hari. Maka menanam ialah bagian daripada Melawan. ***

#Selamat hari Tani Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun