Dengan hadirnya PT Capitol Cassagro, para petani yang telah menjual lahannya pada perusahan ditarik oleh perusahaan untuk bekerja di PT tersebut. Namun disaat bersamaan dengan hadirnya PT tersebut, bukan justru mensejahterakan rakyat, tapi  malah terjadi PHK Sepihak terhadap karyawan yang bekerja di PT tersebut. Alih-alih dari PHK sepihak tersebut yang pada akhirnya karyawan pun  banyak di rumahkan, shingga pada akhirnya memicu amarah rakyat.Â
Tak hanya itu, bahkan petani yg bersikeras menduduki lahan yang telah di kompensasi tersebut mulai mengorganisir,  dan pada akhirnya  terjadilah konflik antara pihak perusahaan dan petani yang menduduki lahan dikala itu.
Kemudian di Tahun 2015-2016 ketika konflik memuncak, rakyat meminta Gubernur Malut untuk segera hadir dengan maksud untuk mengambil sikap dan solusi atas  konflik tersebut, namun hasilnya nihil yang pada akhirnya amarah daripada petani semakin membludak dan terjadilah pemberontakan, pemboikotan dan oerlawanan secara besar-besaran.Â
Disaat konflik terjadi akat vital milik perusahaan pun jadi korban, tak hanya itu, bahkan dari pihak petani pun ditangkap, yang pada akhirnya dipenjara dan sebagainya.Â
Jika kita mengurai riwayat perlawanan petani Galela memang sudah terjadi sejak tahun  (1990-an-2016), (2020) hingga pergerakan  nasional (2019-2023),terhitung kurang-lebih  32 tahun.  Namun sampai sejauh ini, pemerintah pusat Hingga daerah bukan justru dengan sikap keberpihakannya terhadap rakyat. Namun justru turut melegitimasi investor (perusahaan).Â
Resistensi Perlawanan.
Resistensi petani merupakan suatu reaksi defensif akibat tidak terjaminnya kehidupan rakyat dan pula jaminan lahan yang dijanjikan perusahaan. Â Dengan tidak terjaminnya lahan cadangan petani, maka perilaku resistensi tersebut dipakai sebagai (survival strategy) dalam menghadapi ketidak-pastian (uncertainty).Â
Perilaku ini bukan saja menggambarkan tindakan pengingkaran petani terhadap pemegang kebijakan yaitu negara, melainkan juga menjadi pertanda aksi yang berprinsip dahulukan selamat (safety first) di tengah tidak terjaminnya tanah mereka.  Jika kita terus mengamini kebijakan negara yang hegemonik dan tidakada keberpihakan terhadap rakyat kecil, maka tentunya mereka selalu  menerima segala resiko yang terjadi.
Menifestasi ketidak berpihakan negara terhadap petani itulah yang melatari resistensi yang melatari resistensi ribuan petani.  Mereka menganggap resistensi tersebut sebagai satu-satunya aksi sebagai sikap politik yang tepat,terukur, efektif, konkret, dan memiliki bargaining position bagi perbaikan ekonomi dan kehidupan mereka di kemudian hari. Namun di balik itu, resistensi tersebut sebenarnya muncul manakala karena ingin menolak kebijakan negara dalam masalah agraria yang cenderung eksploitatif dan tak ada sikap keberpihakan sama sekali. Ironis memang, tapi itulah realitas yang selalu disuguhkan oleh negeri yang bercorak agraris ini.
Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika ideologi [developmentalism] menjadi pilihan paradigma pembangunan rezim Orde Baru [yang ironisnya konsep ini bukan sepenuhnya produk elite negara, melainkan hasil konstruksi kekuatan capital global] yang kenyataannya sangat problematik bagi petani- dengan ditopang investasi modal asing secara besar-besaran melalui industrialisasi untuk keperluan operasionalnya sangat memerlukan ketersediaan tanah (Fauzi, 2001: 286).Â
Akibatnya, tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Proses ini tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya ke dalam sistem kapitalisme melalui ekpansi pasar dengan fasilitas intervensi kebijakan negara.