Tak banyak yang tahu sosok Arifin yang namanya dijadikan sebagai nama jalan tersebut. Mengutip dari surakarta.go.id, kisah Arifin berkaitan dengan pendudukan tentara Jepang di Solo pada 1945.
Saat itu, tentara Kekaisaran Jepang memiliki kesatuan polisi militer bernama Kenpeitai atau Kempeitai. Usai Jepang kalah perang dari Amerika dan sekutunya, upaya perundingan pun dilakukan di Solo pada 12 Oktober 1945.
Perundingan itu terjadi atas inisiasi Ketua Komite Nasional Indonesia, Pimpinan Barisan Rakyat, dan Barisan Keamanan Rakyat (BKR), yang mengutus beberapa wakilnya ke Solo. Delegasi ini menemui Komandan Kempetai Surakarta, Kapten Sato.
Delegasi dari Indonesia ini meminta agar Jepang segera menyerahkan kekuasaannya. Dalam perundingan itu, Kempeitai setuju untuk menyerah dengan syarat penyerahan dilakukan di Tampir, Boyolali. Saat itu, Tampir, Boyolali, memang menjadi pertahanan Jepang.
Keinginan Jepang pun membuat Pimpinan Barisan Rakyat dan Badan Keamanan Rakyat tak puas dan tetap menginginkan penyerahan senjata dilakukan di Surakarta.
Mereka akhirnya nekat menyerbu markas Kempeitai pada malam hari. Penyerbuan itu mengejutkan pihak Jepang yang kalang kabut meladeni pertempuran para pejuang Solo.
Pertempuran yang berlangsung semalaman itu membuat Jepang menyerah pada pagi harinya, 13 Oktober 1945. Dalam pertempuran sengit tersebut, seorang pemuda bernama Arifin gugur dan beberapa lainnya luka-luka.
Pengorbanan Arifin yang gigih bertempur di depan markas Kempeitai pun membuahkan hasil. Oleh teman-teman Arifin, tentara Jepang yang kalah dalam pertempuran tersebut dilucuti senjatanya.
Mereka juga digiring masuk ke penjara Surakarta. Tak lama berselang, pasukan Jepang yang kalah pun dibawa ke Tampir, Boyolali, untuk menghindari aksi balas dendam rakyat Solo. Penyerahan pasukan Jepang yang menyerah pada 13 Oktober 1945 itu menandai berakhirnya kekuasaan Jepang di kawasan Solo.