Jalan Slamet Riyadi Kota Solo pada Ahad pagi (21/4/2024) digunakan untuk acara Car Free Day atau CFD. Selama lebih kurang 3 jam sejak pukul 06.00 WIB ditutup total.
CFD di kota manapun senantiasa menjadi milik warga. Rupa-rupa kegiatan: mulai bersepeda, gerak badan bersama sanak sodara, hingga menikmati berbagai tontonan.
Saya  merasa bersyukur bisa mendapat hotel di daerah Singosaren. Tak jauh dari tempat menginap saya sempat sarapan 'Nasi Liwet' di lorong emperan sebuah toko.
Lalu, jalan kaki tak sampai 5 menit sudah berada di Jalan Slamet Riyadi. Â Sebuah foto besar RA Kartini terpampang di ujung jalan. Tanggal 21 April diperingati sebagai kelahiran RA Kartini.
Tanggal itu menjadi momen spesial sejarah wanita Indonesia. Bahkan sejarah dunia. Sosoknya dikenang dengan parade penampilan dan festival domestik.
RA Kartini diangkat menjadi pahlawan oleh Presiden Soekarno karena kesadaran dan semangat revolusioner yang langka dimiliki perempuan di masanya.
Pemerintahan Bung Karno menganggap Kartini patut diberi penghargaan atas jasa-jasanya menentang penjajahan di Indonesia yang terdorong oleh rasa cinta tanah air dan bangsa.
Kartini bukan satu-satunya perempuan penggerak perubahan dalam sejarah Indonesia, tetapi catatan pergumulan batin dan nalar kritisnya yang kuat membuat gagasan Kartini lebih mudah ditelusuri.
Sosoknya yang progresif dan kritis baru muncul kembali semenjak masa reformasi ketika sejarah alternatif mulai mewarnai diskursus sejarah Indonesia.
Perempuan wartawan
Kartini disebut juga sebagai perempuan wartawan pertama. Karena Kartini telah mengajarkan betapa pentingnya membaca dan mengemban pendidikan setinggi-tingginya.
Semangat menulis Kartini mendorong saya untuk berkunjung ke Museum Pers yang kebetulan berada di Solo.
Melihat Monumen Pers teringat mubaligh namanya Ustadz Akhmad Arqom. Pada ceramah peringatan Nuzulul Quran Ramadan 2024 lalu, disinggung peran Kartini.
Ustadz Arqom cerita: Tahun 1800-an ulama ternama KH. Muhammad Sholeh Darat mengisi pengajian di pendopo Kabupaten Jepara. Mendengat ceramah itu Kartini terlihat sangat kritis.
Pada waktu itu Kartini bertanya: "Mbah KH. Muhammad Sholeh Darat kami ini orang Jepara hanya bisa membaca Al Quran tapi kami tidak tahu artinya dan harus berbuat apa dengan Al Quran. Mohon Mbah Sholeh Darat berkenan menulis terjemahan dan tafsir Al Quran"
Pertanyaan Kartini itu isyarat: pengetahuan yang diperoleh dari seseorang merupakan cara untuk mencapai kebahagiaan bagi individu atau sekelompok orang.
Solo juga punya petilasan sejarah yang selama ini jarang diketahui. Diabadikan menjadi sebuah jalan: namanya Arifin. Saya sengaja meliwati jalan ini sebanyak tiga kali.
Ruas jalannya cukup panjang, membentang dari Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan hingga ke utara mengarah ke Jalan Margoyudan.
Jalan Arifin memiliki ciri ruas jalan yang cukup unik. Disebut unik, karena mulai dari arah selatan, lebar jalannya cukup lebar mengarah ke utara. Hingga sampai pertigaan SMPN 13 Solo, jalan semakin menyempit.
Tak banyak yang tahu sosok Arifin yang namanya dijadikan sebagai nama jalan tersebut. Mengutip dari surakarta.go.id, kisah Arifin berkaitan dengan pendudukan tentara Jepang di Solo pada 1945.
Saat itu, tentara Kekaisaran Jepang memiliki kesatuan polisi militer bernama Kenpeitai atau Kempeitai. Usai Jepang kalah perang dari Amerika dan sekutunya, upaya perundingan pun dilakukan di Solo pada 12 Oktober 1945.
Perundingan itu terjadi atas inisiasi Ketua Komite Nasional Indonesia, Pimpinan Barisan Rakyat, dan Barisan Keamanan Rakyat (BKR), yang mengutus beberapa wakilnya ke Solo. Delegasi ini menemui Komandan Kempetai Surakarta, Kapten Sato.
Delegasi dari Indonesia ini meminta agar Jepang segera menyerahkan kekuasaannya. Dalam perundingan itu, Kempeitai setuju untuk menyerah dengan syarat penyerahan dilakukan di Tampir, Boyolali. Saat itu, Tampir, Boyolali, memang menjadi pertahanan Jepang.
Keinginan Jepang pun membuat Pimpinan Barisan Rakyat dan Badan Keamanan Rakyat tak puas dan tetap menginginkan penyerahan senjata dilakukan di Surakarta.
Mereka akhirnya nekat menyerbu markas Kempeitai pada malam hari. Penyerbuan itu mengejutkan pihak Jepang yang kalang kabut meladeni pertempuran para pejuang Solo.
Pertempuran yang berlangsung semalaman itu membuat Jepang menyerah pada pagi harinya, 13 Oktober 1945. Dalam pertempuran sengit tersebut, seorang pemuda bernama Arifin gugur dan beberapa lainnya luka-luka.
Pengorbanan Arifin yang gigih bertempur di depan markas Kempeitai pun membuahkan hasil. Oleh teman-teman Arifin, tentara Jepang yang kalah dalam pertempuran tersebut dilucuti senjatanya.
Mereka juga digiring masuk ke penjara Surakarta. Tak lama berselang, pasukan Jepang yang kalah pun dibawa ke Tampir, Boyolali, untuk menghindari aksi balas dendam rakyat Solo. Penyerahan pasukan Jepang yang menyerah pada 13 Oktober 1945 itu menandai berakhirnya kekuasaan Jepang di kawasan Solo.
Kemenangan Solo atas Jepang tentu karena perjuangan para pemuda Solo, termasuk sosok Arifin sang pemberani. Hal ini lah yang kemudian membuat namanya diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Solo.
Sejarah RA Kartini dan Arifin mengguncang dunia. Bagi saya, sangat luar biasa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H