ALANGKAH bahagia hamba jika Engkau, ya, Allah, berkenan mencabut nyawa hamba sekarang juga, di Tanah Suci ini. Matikan hamba, ya, Allah. Ada saat-saat perjalanan, ada saat sampai.
Ibadat haji sesungguhnya saat manusia bergabung kembali dengan kehidupan esensinya. Apakah hamba telah jadi idiot dengan pura-pura tidak tahu ketika Engkau menempa cincin pertalian Kita: Allah, Allah, Allah. Maha Suci Engkau, ya, Allah yang telah menciptakan ibadat haji. Ada bumbu pasir, gunung batu, tanaman kering, dan udara panas yang berseru: di sini sudah dibangun tempat menyatu.
Masjid Nabi-Mu, Masjidil Haram-Mu adalah udara yang mengangkat semua jemaah hingga kaki-kaki tak menyentuh tanah lagi. Siapa mendorong salatmu, napas yang bertalu-talu: Allah, Allah, Allah. Ibadat ifrad yang ditempuh adalah jalan menuju penyatuan itu, matikan hamba, ya, Allah.
Tidak ada yang perlu hamba pertahankan di dunia ini hamba hanya, suatu tempat yang tidak cocok, suatu tempat yang bikin gerah. Peluh dan air mata hamba sama derasnya berlelehan.
Dunia adalah suatu cita-cita yang tidak tercapai. Apa yang perlu hamba pertahankan terhadap suatu tempat yang sesungguhnya asing, tak pernah kami berkenan sebelumnya, ya, Allah, Engkau tahu itu. Apakah ada niat kesengajaan? Ya, Allah, hanya kematian yang dapat menentramkan jiwa hamba yang rusuh ini.
Hamba telah sampai batas dengan memahami penderitaan ini. Ini bukan tempat seharusnya hamba dilahirkan, dunia, dunia, dunia, semoga dibungkus kembali dan diberikan kepada yang tepat.
Bisakah ditanggungkan lagi, berdiri di suatu tempat di mana kejenuhan memenuhi segala-galanya. Tanpa mengurangi rasa syukur hamba kepada-Mu, ya, Allah, apa gunanya ini semua, suatu properti yang pada dasarnya kurang berguna, dibuat-buat dan mokal.
Lihatlah hamba, termangu-mangu di suatu tempat yang Engkau tidak ada. Betapa sengsaranya. Di mana Engkau meliputi, di sini hamba hidup. Ya, di sini, di Tanah Suci ini. Maka matikan hamba. Matikan.
Dua puluh malam telah saya lewatkan dengan tidur di depan Ka'bah atau lantai Masjidil Haram, dengan harapan untuk tidak bangun kembali. Jika doa saya itu diterima Allah, saya bayangkan bagaimana saya melepask an diri dari daging pakaian saya yang hina dina itu, plong, kelegaan yang luar biasa karena diliputi kasih sayang yang tak terhingga. Lalu roh saya itu, atau apa pun namanya, yang telah diampuni Allah, berjalan-jalan di surga.
Barangkali saya saat itu sudah merupakan cahaya atau baiklah disebut saja kunang-kunang, yang melenting ke sana-kemari dengan begitu riangnya, di suatu tempat yang panas tidak panas, dingin tidak dingin. Apakah itu bukan sebagus-bagusnya jelmaan dan sebagus-bagusnya tempat. Segala berakhir sudah. Sampai di sini. Tak ada nama lain bagi diri saya waktu itu kecuali gumpalan kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan kecuali doa yang dikabulkan.
"Apakah Pak Abidin kepingin mati di Tanah Suci?" Tanya saya kepada Pak Abidin dari Majalah Tempo. "Tidak saya harus membesarkan anak-anak dulu," jawab bapak yang naik haji bersama sang istri itu.
Sebelumnya saya mengira Pak Abidin juga memohon mati seperti saya. Wah, saya bisa salah duga  dengan jemaah yang lain. Konon Kiai Bisri Syansuri (Pimpinan NU) berkali-kali memohon mati di Tanah Suci, ketika beberpa kali menunaikan ibadt haji. Beliau meninggal di Jombang.
Yang bahagia adalah Subchan Z.E. dan Bung Tomo, yang "berhasil" meninggal di Tanah Suci. Juga Kamino, teman serombongan yang sebaya dengan saya.
Pagi itu 22 September, saya mau mengumrahkan almarhum ibu saya, setelah ibadat haji saya selesai sehari sebelumnya. Kamino, seorang suami yang belum punya anak, pergi haji sendirian, karena sang istri sudah hajah setahun yang lalu.
Pagi itu badannya panas dan tidak kuat berdiri. Saya bersama seorang bapak memapahnya ke balai pengobatan KBRI yang jaraknya hanya 200 meter. Rupanya perutnya menolak makanan. Meski lemas, semangatnya masih kuat. Di balai pengobatan dengan bersemangat ia minta diinfus. Boleh juga Kamino dalam menebak kondisi tubuhnya. Memang ia diinfus. Namun tak tertolong, ia meninggal malamnya. Ia terkena sengatan matahari.
Tengah malam menjelang kami kembali ke tanah air, pintu kamar diketuk. Setelah dibuka tak ada seorang pun. Lalu ketukan berulang dan dibuka lagi, namun tak ada siapa pun yang mengetuknya.
Kami lalu menganggap Kamino yang telah berada di alam barzah yang mengetuknya. Barangkali ingin mengucapkan selamat jalan. Ketukan itulah yang mengingatkan saya kepada istrinya, di Tanjung Priok, yang kemudian saya bawakan 10 liter air Zam-Zam sebagai oleh-oleh.
"Alangkah bahagianya Kamino meninggal di Mekkah ini," ujar saya kepada teman-teman. Sebelum dikuburkan, Kamino disalatkan di Masjidil Haram, di antara doa ratusan ribu jemaah, ketika salat Asar. Kamino mestinya kamu mengajak saya. Enak saja kamu pergi sendirian, meninggalkan saya yang terbengong-bengong di depan Ka'bah. Kamu sekarang pasti bahagia, ya, 'kan.
Lalu kamu mencari-cari teman-temanmu. "Lho ke mana Ahmad Sukarno dan Danarto yang memapah saya tadi?" Barangkali kamu bergumam seperti itu. Ah, siwalan kamu Kamino, pergi nggak ngajak-ngajak.... (Buku "Orang Jawa Naik Haji")
[Obituari: Danarto (27 Juni 1940 -- 10 April 2018) seorang cerpenis, penyair, dramawan, dan pelukis yang dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah. Kumpulan cerpennya; Dodlob, Adam Makrifat, Berhala, Orang Jawa Naik Haji, Gerak-Gerak Allah, Asmaraloka, dan Setangkai Melati di SayapJibril]
Buku Orang Jawa Naik Haji karya Danarto, sebuah laporan perjalanan yang dimuat secara bersambung di Majalah Mingguan ZAMAN. Danarto menuturkan pengalamannya secara lugu dan didasari persepsinya -persepsinya orang Jawa- terhadap berbagai aspek ibadah haji: mulai dari perjalanan sampai ritualnya. Buku ini diterbitkan pada tahun 1984, dan beberapa kali cetak ulang ; 1987, 1991, 1993 dan 1994.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H