Saat itu waktu menunjukkan pukul 01.20 dini hari. Kami melewati satu gampong bernama Asam Peutik, Matang Setui, dalam perjalanan untuk mendistribusikan 11 ekor sapi amanah dari donatur THK Dompet Dhuafa untuk disalurkan ke pelosok terdalam kota Langsa.
Aspal yang kami lewati cukup mulus untuk ukuran daerah pelosok yang jauh dari peradaban ibukota. Sejenak saya berdecak kagum atas kemampuan pemda setempat dalam mengelola anggaran infrastruktur. “Di Langsa, tak ada jalan yang tak di aspal”, bangga sang mitra THK yang murah senyum ini berkisah di lain waktu.
Motor scoopy yang kami tunggangi memacu kencang menembus dinginnya malam, berusaha mengejar mobil bak pengangkut sapi kurban yang telah jauh berada di depan. Bang Doli – begitu saya memanggil mitra THK ini – bercerita tentang seramnya wilayah yang sedang kita lewati ini.
“Mas arif, dulu kalau kita lewat daerah ini, jam-jam segini, saya bisa pastikan kita tidak bisa keluar selamat. Ini daerah rawan”, ucapnya tegas.
Saya tertegun.
Mata saya bergerilya ke kiri-kanan, mencoba mencerna kalimat tersebut dengan menggali “informasi” dari apa yang bisa saya lihat.