Edo seorang mahasiswa tahun kedua jurusan Sastra di Universitas Bumilangit. Dikenal sebagai kutu buku sejati, Edo sering menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan kampus yang luas dan kuno, mencari referensi untuk tugas-tugasnya.
Perpustakaan kampus ini adalah sebuah bangunan megah dengan arsitektur neo-gotik yang berdiri kokoh sejak abad ke-19. Bangunan ini memiliki menara tinggi yang menjulang di sudutnya, memberikan kesan anggun dan menakutkan sekaligus. Dinding-dindingnya terbuat dari batu bata merah dengan jendela-jendela kaca patri yang menampilkan berbagai adegan mitologis dan sejarah kampus.
Saat Edo melangkah masuk, suara derit pintu kayu tua menyambutnya. Udara di dalam perpustakaan selalu terasa sejuk dan sedikit lembab, dengan aroma khas buku-buku tua yang memenuhi setiap sudut ruangan. Langit-langitnya yang tinggi dihiasi dengan balok-balok kayu gelap yang berukir rumit, menambah nuansa misterius dan megah.
Rak-rak buku yang menjulang tinggi hingga hampir mencapai langit-langit, dipenuhi dengan ribuan buku dari berbagai zaman dan genre, menciptakan labirin pengetahuan yang menunggu untuk dijelajahi. Lampu-lampu gantung bergaya klasik menggantung dari langit-langit, memancarkan cahaya kuning hangat yang memberikan suasana tenang dan kondusif untuk membaca.
Di sudut-sudut tertentu, terdapat meja-meja kayu besar dengan kursi-kursi empuk yang mengundang pengunjung untuk duduk dan tenggelam dalam bacaan mereka. Di salah satu sudut yang jarang dijamah, terdapat rak buku yang terlihat lebih tua dan berdebu daripada yang lain. Di sinilah Edo menemukan buku tua yang tersembunyi, dengan sampul kulit berdebu dan tanpa judul, yang menarik perhatiannya.
Tanpa ragu, Edo mengambil buku itu dan membawanya ke meja bacanya. Ia membuka halaman pertama yang sudah menguning dan mulai membaca. Kata-kata yang tertulis dalam bahasa kuno itu terasa aneh, namun Edo merasa tertarik untuk terus membacanya. Tidak lama setelah itu, ia mulai merasakan keanehan. Bayangan gelap muncul di sudut matanya, suara-suara berbisik di telinganya, dan mimpi buruk yang semakin hari semakin nyata.
Apa yang terjadi padaku? pikir Edo. Apakah ini hanya imajinasi belaka? Atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar buku tua ini? Edo mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman itu, tetapi semakin ia mencoba, semakin nyata bayangan-bayangan dan bisikan itu terasa. Mengapa aku tidak bisa menghilangkan perasaan ini? Edo bertanya-tanya dalam hati. Mungkin aku harus berhenti membaca buku ini. Tapi... kenapa aku merasa seolah ada yang menghalangiku untuk melakukannya?
Edo menceritakan pengalamannya kepada kedua sahabatnya, Dwi dan Lena. Mereka bertiga sering belajar bersama di perpustakaan dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas. Namun kali ini, mereka dihadapkan pada sesuatu yang jauh lebih menakutkan.
"Edo, apa yang terjadi denganmu?" tanya Lena dengan cemas. "Kamu terlihat sangat tertekan."
"Aku menemukan buku ini," jawab Edo sambil menunjukkan buku tua tersebut. "Sejak aku mulai membacanya, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada makhluk yang mengawasiku."
Dwi, yang selalu skeptis terhadap hal-hal supernatural, meraih buku itu dan memeriksanya. "Ini hanya buku tua, Edo. Mungkin kamu terlalu banyak membaca novel horor," katanya sambil tertawa.
Namun Lena, yang memiliki pengetahuan tentang sejarah okultisme, merasa ada yang tidak beres. "Edo, buku ini sepertinya bukan buku biasa. Lihat, ini tulisan dalam bahasa Latin kuno. Mungkin ada hubungannya dengan sesuatu yang berbahaya."
Lena adalah sosok yang memancarkan keanggunan misterius dan pesona yang sulit diabaikan. Wajahnya cantik dengan kulit seputih pualam, membingkai mata cokelat yang tajam dan penuh rahasia. Setiap kali ia menatap seseorang, seolah ia bisa menembus jiwa mereka, membaca setiap pikiran dan perasaan yang tersembunyi. Sorot matanya yang tajam dan menawan itu sering kali membuat orang lain merasa terbuka dan terpapar, seolah tidak ada yang bisa disembunyikan darinya.
Rambut Lena yang panjang dan bergelombang mengalir seperti sungai sutra hitam, menambah kesan lembut pada penampilannya. Senyumnya yang tipis namun hangat bisa mencairkan ketegangan dan memberikan rasa nyaman kepada siapa pun yang berbicara dengannya. Gaya bicara Lena lembut dan tenang, dengan suara yang menenangkan dan penuh kebijaksanaan, sering kali membuat orang terpesona dan terdorong untuk mendengarkan setiap kata yang diucapkannya.
Lena memiliki kecenderungan mendalami okultisme, sebuah bidang yang sering dianggap menyeramkan oleh banyak orang. Namun, ia memandangnya sebagai jalan untuk memahami rahasia alam semesta dan menemukan kedamaian dalam kekacauan dunia. Di rumahnya, Lena memiliki sudut khusus yang dipenuhi dengan buku-buku kuno, lilin-lilin beraroma, dan berbagai alat ritual. Ia menghabiskan waktu berjam-jam mempelajari teks-teks kuno, mempraktikkan meditasi, dan melakukan ritual-ritual magis.
Okultisme adalah istilah yang mengacu pada praktik dan studi ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kekuatan dan fenomena supernatural, gaib, atau tersembunyi yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan konvensional. Istilah ini mencakup berbagai macam tradisi dan disiplin ilmu, seperti Alkimi, praktik dan filsafat kuno yang bertujuan untuk mengubah logam biasa menjadi emas, mencari eliksir kehidupan, dan mencapai pencerahan spiritual. Astrologi yaitu  Studi tentang pengaruh posisi dan gerakan benda-benda langit (seperti planet dan bintang) terhadap kehidupan dan peristiwa di bumi, lalu Magis adalah  penggunaan ritual, mantra, dan alat tertentu untuk mempengaruhi dunia fisik dan spiritual. Dan terakhir adalah Ilmu Klenik dimana praktik dan pengetahuan yang berkaitan dengan kekuatan gaib, sihir, dan makhluk lain.
Ketegangan meningkat ketika makhluk jahat yang menghantui Edo semakin agresif. Bayangan itu mulai menyerangnya secara fisik, meninggalkan bekas luka di tubuhnya. Dwi, yang awalnya skeptis, kini mulai merasa takut. "Kita harus melakukan sesuatu, Edo. Ini bukan lagi lelucon."
Dari pengetahuan yang di miliki akhirnya Lena menemukan bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan adalah dengan membakar buku tersebut di tempat di mana buku itu pertama kali ditemukan---di sebuah rumah tua yang kini menjadi reruntuhan di pinggiran kota.
"Kita harus bertindak sekarang," kata Lena tegas. "Jika tidak, kutukan ini bisa membunuh kita semua."
Edo mengangguk. "Kamu benar. Kita harus segera pergi ke rumah tua itu."
Mereka bertiga melakukan perjalanan ke reruntuhan rumah tua tersebut, menghadapi berbagai rintangan supernatural di sepanjang jalan. Di sana, mereka menemukan bahwa rumah tersebut adalah bekas tempat tinggal penyihir jahat itu dan penuh dengan jebakan magis. Dalam pertempuran terakhir melawan makhluk jahat yang muncul dari buku, Edo, Dwi, dan Lena harus menggunakan keberanian dan kecerdasan mereka untuk menyelesaikan ritual pembakaran.
Ketika mereka sampai di reruntuhan rumah tua, suasana semakin mencekam. Angin dingin bertiup kencang, membuat bayangan-bayangan panjang dari pepohonan di sekitar mereka tampak seperti tangan-tangan jahat yang mencoba meraih mereka. Lena membuka buku itu dan mulai membaca mantra pembakaran dalam bahasa Latin, sementara Dwi dan Edo menjaga agar makhluk jahat tidak mendekat.
Dengan nyala api yang membakar buku terkutuk tersebut, makhluk jahat mengeluarkan jeritan terakhirnya sebelum lenyap dalam kepulan asap. Kutukan itu akhirnya terangkat, dan kedamaian pun kembali. Namun, Lena tiba-tiba terjatuh. Wajahnya pucat, dan ia kesulitan bernapas.
"Lena, apa yang terjadi?" teriak Edo panik.
Lena tersenyum lemah. "Aku tahu ini akan terjadi,"ujar Lena pendek.
Air mata mengalir di wajah Edo dan Dwi saat mereka menyaksikan Lena menghembuskan nafas terakhirnya
Keesokan harinya, di koran kampus, muncul berita mengejutkan. Lena, yang selama ini dikenal sebagai mahasiswa dengan pengetahuan tentang okultisme, ternyata memiliki hubungan darah dengan penyihir jahat itu Dalam artikel tersebut terungkap bahwa nenek moyangnya adalah saudara dari penyihir yang dihukum mati
Edo dan Dwi membaca artikel itu dengan perasaan campur aduk. Mereka menyadari bahwa meskipun kutukan buku itu telah dihentikan, misteri dan bahaya dari masa lalu Lena masih mengintai di bayang-bayang. Mereka bertanya-tanya apakah mereka benar-benar telah terbebas dari kutukan, atau jika ada lebih banyak rahasia gelap yang menunggu untuk terungkap. . Mereka tidak tahu bahwa Lena telah mengetahui kutukan tersebut sejak awal dan sebenarnya berusaha membalas dendam atas kematian nenek moyangnya dengan mengarahkan Edo untuk menemukan buku itu.
"Edo, apakah kita benar-benar tahu siapa Lena sebenarnya?" tanya Dwi dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Tidak, kita tidak pernah tahu sepenuhnya siapa dia," jawab Edo dengan tatapan kosong. "Tapi kita belajar bahwa kebenaran terkadang lebih menakutkan daripada fiksi."
"Dalam setiap manusia, ada sisi gelap yang kadang tidak kita sadari," lanjut Dwi. "Mungkin Lena hanya korban dari nasib yang tak bisa ia kendalikan."
Edo mengangguk. "Ya, dan mungkin kita semua, pada suatu titik, harus menghadapi kegelapan dalam diri kita sendiri. Yang penting adalah bagaimana kita memilih untuk menghadapinya."
Dwi menatap langit yang mulai gelap. "Hidup ini penuh dengan pilihan yang sulit, dan kadang kita harus membayar harga yang mahal. Lena sudah pergi, tapi kita harus melanjutkan hidup kita dengan belajar dari apa yang telah terjadi."
Dengan perasaan waspada dan tekad untuk menjaga satu sama lain  , meninggalkan kenangan tentang Lena yang terkutuk namun berusaha melindungi mereka. Dunia ini penuh dengan rahasia yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya, tetapi dengan persahabatan dan keberanian, mereka siap menghadapi apapun yang akan datang.
Sementara, di sudut perpustakaan yang sepi, sebuah rak berdebu bergeser perlahan, membuka sudut gelap lainnya. Dan di sana, tersembunyi di antara bayang-bayang, terletak sebuah buku tua dengan sampul kulit yang tidak berjudul, menunggu korban berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H