Mohon tunggu...
AArdi
AArdi Mohon Tunggu... Buruh - buruh

menulis dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayangan di Balik Papan Tulis

14 Juli 2024   08:25 Diperbarui: 14 Juli 2024   08:27 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KAMPUS  kecil di pinggiran kota, ada seorang dosen separuh baya bernama Iksan. Dia adalah sosok yang sederhana, idealis, dan sangat disukai oleh mahasiswa-mahasiswanya. Setiap kali Iksan masuk kelas, para mahasiswa selalu merasa bersemangat karena metode pengajarannya yang inspiratif dan penuh makna.


Suatu hari, di awal semester, seorang mahasiswi bernama Wida memasuki kelas Iksan. Wida bukanlah mahasiswa biasa; dia adalah anak pemilik yayasan lembaga pendidikan tempat Iksan mengajar. Wida terkenal arogan dan semaunya sendiri. Karena merasa memiliki kekuasaan, Wida kerap bertindak seenaknya di kampus.


Namun, Iksan tak memedulikan status Wida. Baginya, semua mahasiswa sama. Di mata Iksan, pendidikan adalah cara untuk membentuk karakter, bukan sekadar formalitas. Konflik mulai muncul ketika ujian tengah semester tiba. Di hari ujian, Wida tampak santai dan tidak serius mengerjakan soal-soal yang diberikan. Setelah ujian, Iksan memeriksa hasil pekerjaan para mahasiswa.


Suatu pagi, di ruang dosen, Iksan dipanggil oleh rekan kerjanya, Dr. Firman, seorang kolega yang juga pejabat di kampus. Firman, meski memiliki gelar doktor dari luar negeri, sering kali terlihat plin-plan dan lebih memilih mencari aman demi jabatannya.


"Pak Iksan, ada yang perlu kita bicarakan," kata Firman sambil menutup pintu ruangannya.


"Ada apa, Pak Firman?" tanya Iksan dengan tenang.


"Ini tentang Wida. Dia mengeluh nilainya tidak keluar. Orang tuanya juga sudah bertanya-tanya. Anda tahu siapa dia, bukan?"


Iksan tersenyum tipis. "Saya tahu, Pak. Tapi kita harus adil. Wida memang tidak mengerjakan soal-soal ujian dengan baik. Nilainya memang tidak layak keluar."


Firman menghela napas. "Saya mengerti, Pak Iksan. Tapi Anda harus paham, kita bekerja di sini. Ada baiknya kita sedikit fleksibel. Ini demi kelangsungan kita semua."


Iksan menatap Firman dengan pandangan penuh arti. "Pendidikan, Pak Firman, bukanlah warung tegal yang bisa dikelola dengan cara seenaknya. Ini tentang membentuk masa depan."


Firman terdiam, merasa terpojok dengan kata-kata Iksan. "Saya paham idealisme Anda, Pak Iksan. Tapi realita tidak selalu seindah itu."


Hari demi hari, ketegangan antara Iksan dan Wida semakin memuncak. Wida merasa dipermalukan di depan teman-temannya karena nilainya tidak keluar. Dia sering kali mengeluh ke orang tuanya, berharap bisa menekan Iksan untuk memberikan nilai yang lebih baik.


Suatu pagi, saat Iksan sedang mengajar, Wida masuk ke kelas dengan wajah penuh amarah. Tanpa basa-basi, dia menginterupsi pelajaran.


"Pak Iksan, saya ingin tahu kenapa nilai saya belum keluar sampai sekarang!" serunya di depan kelas.


Iksan menatap Wida dengan tenang. "Wida, saya sudah memberi penjelasan. Nilai adalah hasil dari usaha dan kerja keras. Anda tidak menunjukkan itu di ujian."


Wida mengepalkan tangannya. "Anda pikir Anda siapa? Saya bisa membuat Anda dipecat kapan saja!"


Suasana kelas menjadi tegang. Para mahasiswa lain terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Iksan menghela napas panjang. "Wida, jika Anda merasa saya tidak adil, Anda bisa mengajukan keberatan melalui prosedur yang benar. Tapi ancaman bukanlah cara yang tepat."


Setelah kejadian itu, tekanan demi tekanan datang menghampiri Iksan. Firman, meski di dalam hati mendukung Iksan, tidak berani berbicara banyak karena posisinya di kampus. Sementara itu, orang tua Wida terus mencoba menekan pihak yayasan untuk mengambil tindakan terhadap Iksan.


Akhirnya, pada suatu hari, Iksan memutuskan untuk mundur dari lembaga itu. Dia merasa bahwa kondisinya di kampus sudah tidak kondusif lagi untuk mengajar dengan hati nurani yang bersih.


Dalam surat pengunduran dirinya, Iksan menulis, "Pendidikan adalah pilar bangsa. Mengelola pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cara warung kopi dan kekuasaan. Saya berharap, kampus ini bisa menemukan jalan terbaik untuk mendidik generasi muda dengan integritas dan kejujuran."


Kepergian Iksan meninggalkan duka bagi banyak mahasiswa. Mereka kehilangan sosok dosen yang tidak hanya mengajar dengan ilmu, tapi juga dengan hati. Namun, kepergian Iksan juga membuka mata banyak orang di kampus itu. Mereka mulai menyadari bahwa pendidikan membutuhkan lebih dari sekadar fasilitas dan kekuasaan. Pendidikan membutuhkan hati yang tulus dan dedikasi yang nyata.


Pesan Iksan akhirnya menggema di seluruh kampus. Dan meski dia tidak lagi mengajar di sana, nilai-nilai yang dia tanamkan tetap hidup dalam diri para mahasiswa. Mereka belajar bahwa pendidikan bukanlah soal angka dan gelar semata, tapi tentang menjadi manusia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun