Suasana kelas menjadi tegang. Para mahasiswa lain terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Iksan menghela napas panjang. "Wida, jika Anda merasa saya tidak adil, Anda bisa mengajukan keberatan melalui prosedur yang benar. Tapi ancaman bukanlah cara yang tepat."
Setelah kejadian itu, tekanan demi tekanan datang menghampiri Iksan. Firman, meski di dalam hati mendukung Iksan, tidak berani berbicara banyak karena posisinya di kampus. Sementara itu, orang tua Wida terus mencoba menekan pihak yayasan untuk mengambil tindakan terhadap Iksan.
Akhirnya, pada suatu hari, Iksan memutuskan untuk mundur dari lembaga itu. Dia merasa bahwa kondisinya di kampus sudah tidak kondusif lagi untuk mengajar dengan hati nurani yang bersih.
Dalam surat pengunduran dirinya, Iksan menulis, "Pendidikan adalah pilar bangsa. Mengelola pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cara warung kopi dan kekuasaan. Saya berharap, kampus ini bisa menemukan jalan terbaik untuk mendidik generasi muda dengan integritas dan kejujuran."
Kepergian Iksan meninggalkan duka bagi banyak mahasiswa. Mereka kehilangan sosok dosen yang tidak hanya mengajar dengan ilmu, tapi juga dengan hati. Namun, kepergian Iksan juga membuka mata banyak orang di kampus itu. Mereka mulai menyadari bahwa pendidikan membutuhkan lebih dari sekadar fasilitas dan kekuasaan. Pendidikan membutuhkan hati yang tulus dan dedikasi yang nyata.
Pesan Iksan akhirnya menggema di seluruh kampus. Dan meski dia tidak lagi mengajar di sana, nilai-nilai yang dia tanamkan tetap hidup dalam diri para mahasiswa. Mereka belajar bahwa pendidikan bukanlah soal angka dan gelar semata, tapi tentang menjadi manusia yang lebih baik.