Esok paginya, aku pergi mengecek uang kiriman istriku. Kulihat saldonya. 30 juta rupiah. Uang yang cukup besar. David, sekarang kamu bisa beli seragam baru, buku baru, dan mainan baru, batinku.
“Emak mana Pak?”
“Emak kamu belum bisa pulang tahun ini.”
David tertunduk. Aku tahu bahwa dia sangat merindukan emaknya. Begitu juga pun diriku sangat merindukannya.
Beberapa tahun berlalu. Tidak ada tanda-tanda istriku akan pulang, meskipun dia selalu rutin untuk mengirim uang. Aku selalu mendoakan dia agar dia bahagia dan selamat di sana. Tidak lupa, aku selalu menanyakan kepada tetanggaku yang baru pulang dari Hong Kong tentang situasi di sana. Mereka bilang baik-baik. Syukurlah, perasaanku menjadi tenang. Tetapi yang sekarang membuatku prihatin perangai anakku yang kurang baik. Dia suka jalan-jalan dengan teman-temannya sampai larut malam. Kadang dia mengajak pacar barunya ke rumah.
“Siapa ini nak?”
Tapi David menolak bicara denganku. Dia sama sekali tidak menghiraukanku. Ya sudahlah. Ingin kumarahi anakku, tapi aku menahannya.
Akhirnya, Sri pulang.
“Sri, aku rasa kamu ndak usah balik ke Hong Kong lagi. Toh uang kita sudah banyak. Kasihan David. Dia selalu mencarimu.” Pintaku.
"Mas, coba mas bayangkan. Zaman sekarang serba susah. Semua diukur dengan uang. Kita butuh uang mas.” Sri menimpali.
“Iya Sri, aku tahu. Sekarang biar aku yang bekerja.” Kataku.