Krisis ekonomi membuat kondisi keuangan cukup runyam. Kami sering bertengkar. Kelahiran David pun tidak luput dari kesulitan ini. Untunglah bidan yang membantu istriku melahirkan sungguh baik hati. Dia rela dibayar kalau kami sudah ada uang. Sayangnya sebelum kami bisa membayar tunggakannya, dia keburu meninggal karena kecelakaan. Pernah suatu kali, persisnya, dua tahun lalu, hanya gara-gara uang sudah menipis kami berbincang hebat hingga tengah malam. Istriku bersikeras merantau ke Hong Kong mencari uang. Aku tidak setuju karena David masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayang seorang ibu. Tapi akhirnya diputuskan bahwa istriku akan bekerja di Hong Kong seperti orang-orang di sekitar rumahku. Mereka yang bekerja di Hong Kong memang bernasib baik. Ekonomi terangkat dan keluarga mereka pun mulai terpandang. Rumah-rumah dibenahi dan tanah mereka luas berkat uang yang rutin dikirim dari luar negeri itu. Pokoknya dari ekonomi pas-pasan mereka mampu membeli ini-itu.
Tergiur oleh tawaran tetanggaku yang sudah berhasil, istriku pun terpikat untuk bekerja ke luar negeri. Aku pun setuju tapi aku sedikit khawatir. Kekhawatiranku cukup beralasan. Keluarga-keluarga di sekitarku pada umumnya berakhir dengan perceraian. Ada yang berpisah, tidak jarang anak-anak mereka terlantar karena kekurangan kasih sayang orang tua. Hong Kong memang menjadi primadona bagi keluarga-keluarga miskin seperti aku. Bahkan beberapa gadis di kampungku rela merantau keluar negeri demi mendapatkan dolar. Bertahun-tahun mereka mengais dolar dan hasilnya memang menakjubkan. Sudah menjadi kebiasaan di sana orang selalu mengejar dolar. Sekarang, istriku pergi ke sana.
David kini berumur 5 tahun. Dia merengek-rengek untuk masuk sekolah seperti teman-temannya. Aku mendaftarkannya di Sekolah Dasar. Tapi kepala sekolah tidak mengijinkannya dengan alasan umur belum mencukupi. Namun David memaksa. Lagi-lagi aku yang harus sibuk. Dulu aku membayangkan hidup perkawinanku akan bahagia. Kami mempunyai anak yang lucu dan pintar. Aku dan istriku mengajari mereka berdoa dan ke Gereja. Mereka bersekolah, dan tumbuh besar hingga akhirnya mereka juga membangun keluarga. Begitulah aku kerap bermimpi. Namun apa daya kenyataan tidak semanis dalam angan.
Handphoneku berdering. Nomor istriku muncul di layar.
“Halo, Sri?”
“Mas, aku kirim uang untuk David. Jangan dihabiskan ya! Sisakan uangnya untuk tabungan. Aku di sini baik-baik saja. Majikanku ramah dan perhatian sama karyawatinya.”
Aku senang dan bahagia mendengar suara istriku.
“Kapan kamu pulang ke Indonesia?” Tanyaku.
“Gak tau Mas. Pokoknya kalo uangnya udah banyak, aku akan pulang. Gimana kabar David, anak kita? Aku mau bicara sama anakku.” Jawabnya.
“Sri. Aku kangen kamu. David baik-baik di sini. Dia lagi jalan sama temannya. Kamu baik-baik di sana ya.”
“Ya, mas. Aku juga kangen sama kamu dan David. Sudah ya Mas!” tut tut tut.