Sudah lebih dari satu tahun pandemi Covid-19 melanda tanah air. Dengan angka penambahan kasus yang sangat bayak, pemerintah pun berupaya menekan penyebaran virus Covid-19. Presiden Joko Widodo megambil langkah pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dalam peraturan ini masyarakat diminta untuk menjaga jarak fisik dan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.Â
Tak sampai di sini saja upaya pemerintah, setelah itu muncul kebijakan baru yaitu pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada awal bulan Januari 2021. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat diterapkan dalam beberapa level Dalam beberapa kurun waktu.
Lantas bagaimana kegiatan bekerja dan proses belajar mengajar dilaksanakan agar tetap berjalan dengan baik? Dalam hal ini bekerja dan belajar dari rumah atau work from home dan school from home diambil sebagai jalan keluar. Media daring dipakai karena dinilai efektif diterapkan dalam kondisi pandemi Covid-19.Â
Dengan teknologi yang semakin canggih permasalahan tersebut bisa teratasi dengan tersedianya beberapa aplikasi yang bisa digunakan  seperti Zoom, Google Meet, Google Duo, Skype, dan lain-lain. Kegiatan perniagaan juga dialihkan melalui sistem pesan antar atau delivery order. Dapat dikatakan, bahwa pandemi Covid-19 merubah berbagai aspek dalam kegiatan sehari-hari
Berbagai upaya yang dilakukan pun membuahkan hasil. Wiku Adisasmito, Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mengatakan, kasus positif Covid-19 di tingkat nasional bergerak turun hingga 23,3 persen dalam sepekan terakhir.Â
Banyak fasilitas umum yang kembali dibuka, seperti perkantoran, sekolah-sekolah, mall, dan masih banyak lagi yang tentunya tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat.Â
Proses vaksinasi juga dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity. Dengan begitu proses pemulihan berbagai kegiatan bisa berjalan dengan baik, karena masyarakat sudah terlindungi oleh vaksinasi.
Namun, sadarkah kita bahwa dengan dipulihkanya berbagai kegiatan seperti bekerja dan bersekolah secara tatap muka ternyata memunculkan sebuah problematika baru.Â
Selama lebih dari satu tahun masyarakat diharuskan melakukan pembatasan sosial, yang artinya interaksi mereka dengan orang lain benar-benar dibatasi. Hal ini berpengaruh terhadap berubahnya karakteristik setiap individu. Mereka yang awalnya sering berinteraksi dengan tetangga, teman di lingkungan kerja maupun di lingkungan sekolah, di masa pandemi mereka jarang sekali bisa berinteraksi secara langsung.Â
Mereka sudah terbiasa dengan ketidakhadiran orang lain dan berada dalam situasi yang bisa dikatakan jauh dari keramaian. Saat bekerja maupun belajar kembali dilaksanakan secara tatap muka, mereka akan merasa asing dan dituntut beradaptasi dengan lingkungan tersebut meskipun itu bukan hal yang baru.
Situasia seperti ini bisa saja karena mereka tengah mengalami yang namanya antisosial atau biasanya disingkat "ansos". Antisosial merupakan sikap dimana seseorang enggan bergaul dan menutup diri dari lingkungan masyarakat. Hal ini bukan terjadi tanpa sebab, dalam waktu yang cukup lama mereka melakukan pembatasan sosial yang berarti interaksi mereka benar-benar dibatasi.Â
Padahal, interaksi dengan individu lain sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan, meningkatkan rasa peduli antar individu, dan membangun relasi atau hubungan antar individu.
Seseorang atau individu yang mengalami antisosial, dalam hal ini mereka akan kesulitan dan merasa sangat tidak nyaman apabila berkumpul disuatu tempat dengan individu lainya. Rasa canggung dan tidak percaya diri selalu membebani dalam aktivitasnya di luar rumah.Â
Mereka akan mudah mengalami stres ketika merasa tertekan dengan keadaan lingkungan sekitar yang sulit bagi mereka untuk beradaptasi. Ternyata antisosial yang mereka alami tidak hanya berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mental mereka, kesehatan fisik mereka juga akan mudah terganggu .
University of Chicago melakukan penelitian di mana mereka memeriksa sampel setiap urin dan darah dari 141 partisipan, yang sebelumnya mereka telah diteliti oleh penelitian lain. Mereka sebelumnya disurvei tiap tahun mengenai isolasi sosial dan tingkat kesepian yang dialami.Â
Para peneliti kemudian mengemukakan bahwa kesepian atau kesendirian yang tinggi  mempunyai tingkat norepinefrin, yang artinya berguna untuk mengubah jumlah sel darah putih di dalam sistem tubuh. Tingkat norepinerfin yang tinggi inilah yang menjadikan mereka mudah terkena flu, infeksi, dan lainya akibat penurunan daya tahan tubuh.
Pada siapa problematika ini bisa dialami? Dalam kasus ini anak usia remaja yang biasanya beraktivitas di sekolah dan bermain bersama teman-temanya, mereka terpaksa berada di dalam rumah dalam waktu yang tak menentu. Berbagai kegiatan yang seharusnya mereka lakukan di luar rumah terpaksa diberhentikan.Â
Awalnya mereka berharap pandemi dapat segera berahir agar mereka bisa kembali bertemu dengan teman-temanya dan melakukan kegiatan belajar mengajar secara langsung. Namun lantaran pandemi yang tak kunjung usai mereka mulai terbiasa melakukan berbagai aktivitasnya seperti belajar dan bermain di dalam rumah. Banyak waktu mereka pakai untuk bermain media sosial untuk mengisi kebosanan.
Satu tahun lebih para remaja tersebut diharuskan belajar dari rumah, pertemuan dengan teman-temanya pun hanya dilakukan secara virtual.Â
Sebagian besar dari mereka merasa kurang nyaman dan ingin segera kembali melakukan pembelajaran secara tatap muka, biasanya hal ini terjadi pada seseorang dengan kepribadian ekstrovert karena mereka mudah beradaptasi dan suka berinteraksi dengan banyak orang.Â
Namun, sebagaian ada juga yang sudah nyaman melakukam pembelajaran di rumah dan enggan untuk kembali melakukan pembelajaran tatap muka, hal inilah yang dialami seseorang dengan kepribadian introvert yang lebih suka menyendiri.
Mereka yang enggan jika pembelajaran dilaksakan secara tatap muka disebabkan oleh berbagai faktor, sebagian dari pelajar tersebut bisa saja meraskan kurang percaya diri apabila bertemu dengan teman-temanya. Terlalu lama membatasi interaksi menjadikan mereka tak nyaman berada di lingkungan yang ramai.Â
Mereka juga merasakan culture shock di mana mereka kaget dan  kesulitan dalam menyesuaikan diri di lingkungan yang baru, terutama bagi mereka yang jenjang pendidikanya telah berbeda.
Ada beberapa cara yang bisa diterapkan dalam upaya meminimalisir terbentuknya pribadi yang antisosial yaitu: (1) Tetap menjalin keakraban dengan teman, kita bisa melakukan pertemuan secara virtual dan membicarakan bermacam hal seperti candaan, saling mendengarkan curhatan, dan sebagainya.Â
Dengan begitu keakraban akan tetap terjalin walau hanya berkomunikasi secara virtual, jadi jangan hanya bertemu saat ada kelas saja. (2) Menjaga komunikasi dengan anggota keluarga, saat melakukan pembatasan interaksi yang bisa kita temui secara langsung hanyalah keluarga.Â
Kita bisa membincangkan hal-hal yang ringan untuk menghidupkan suasana di rumah agar terasa ramai dan menunjukkan adanya interaksi di sana. (3) Lakukan aktivitas seperti menyapu halaman dan berolahraga di luar rumah, kita masih dapat sekedar bertegur sapa dengan tetangga di sekitar rumah. Terlihat sepele memang namun, hal ini yang melatih diri untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar dan interaksi dengan orang lain tetap terjalin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H