Korupsi bagaikan benalu yang menggerogoti sendi-sendi bangsa Indonesia. Fenomena ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik, dan mengikis nilai-nilai moral bangsa.
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan secara berkelanjutan, namun hasilnya masih belum optimal. Diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, dengan melibatkan berbagai pihak, untuk membasmi penyakit kronis ini.
Dalam upaya memahami kompleksitas permasalahan korupsi dan mencari solusi yang berkelanjutan, kita perlu menengok ke masa lampau dan mempelajari pemikiran para leluhur.
Tulisan ini akan mengupas pemikiran Ranggawarsita, Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu, empat intelektual terkemuka dari era Jawa Kuno, dan kaitannya dengan fenomena korupsi di Indonesia.
Dengan memahami perspektif mereka, kita dapat memperoleh wawasan berharga tentang akar persoalan dan merumuskan strategi yang tepat untuk memerangi korupsi di masa kini.
1. Apa (What): Memahami Makna Korupsi dan Dampaknya
Ranggawarsita, dalam karyanya "Serat Kalatidha", menggambarkan korupsi sebagai "pamrih" atau keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara yang tidak sah.
Kalasuba, dalam "Serat Wujil", mendefinisikan korupsi sebagai "kolu", yaitu tindakan curang yang dilakukan oleh pejabat untuk memperkaya diri sendiri.
Katatidha, dalam "Serat Nitisastra", menegaskan bahwa korupsi adalah "dursila" atau perbuatan tercela yang dapat merusak tatanan sosial dan moral masyarakat.
Kalabendhu, dalam "Serat Arjuna Wiwaha", mengibaratkan korupsi sebagai "raksasa" yang menelan kekayaan negara dan merenggut keadilan dari rakyat.