Pembangunan ekonomi suatu negara merupakan proses yang harus dilakukan oleh suatu negara untuk memenuhi taraf hidup sosial yang sejahtera di negaranya. Tapi, tidak semua negara bisa dengan mudah mewujudkan hal tersebut. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. Sementara di sisi lain, usaha pengerahan dana untuk membiayai  pembangunan tersebut mengalami berbagai kendala.
Tidak semua negara yang sedang berkembang atau negara dunia ketiga merupakan negara miskin yang tidak memiliki sumber daya ekonomi yang baik. Banyak negara dunia ketiga yang mempunyai sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Hanya saja sumber daya alam tersebut masih bersifat potensial, belum bisa dimanfaatkan secara optimal.Â
Dikarenakan sumber daya manusia yang belum sepenuhnya siap untuk memaksimalkan sumber daya alam tersebut. Sumber daya manusia yang relatif besar belum dipersiapkan secara optimal, dalam artian masih menjalani proses pendidikan serta mengasah keterampilan untuk menjadi pelaku pembangunan yang berkualitas serta berproduktivitas yang tinggi.
Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang menggunakan pinjaman luar negeri dalam kegiatan ekonomi. Kebijakan utang luar negeri selama ini telah menjadi warisan kebijakan ekonomi Indonesia dari masa ke masa. Utang luar negeri dalam jangka pendek sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutupi kondisi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar, sedangkan utang luar negeri dalam jangka panjang sangat merugikan Indonesia karena dapat menimbulkan beban utang luar negeri berupa cicilan pokok dan bunga pinjaman bertambah besar dari tahun ke tahun. Kebijakan utang luar negeri untuk menutupi defisit APBN membuat Indonesia ketergantungan pada luar negeri sehingga tidak bisa mandiri.
Pada umumnya Utang Luar Negeri merupakan pinjaman yang dilakukan oleh pihak pemerintah yang didapatkan dari pihak luar negeri. Baik itu melalui lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, Asian Development Bank) ataupun dari pihak negara lain. Utang luar negeri dapat diartikan berdasarkan berbagai aspek.Â
Berdasarkan aspek materiel, pinjaman luar negeri merupakan arus masuk modal dari luar negeri ke dalam negeri yang dapat digunakan sebagai penambahan modal di dalam negeri. Berdasarkan aspek formal, pinjaman luar negeri merupakan penerimaan atau pemberian yang dapat digunakan untuk meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Sedangkan berdasarkan aspek fungsinya, pinjaman luar negeri merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan (Triboto, 2001:3)[1].
Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia
Sejarah mencatat, salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag, Belanda adalah Indonesia harus membayar semua utang-utang luar negeri Hindia Belanda sebagai salah satu syarat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda. Akibatnya, terhitung sejak tahun 1950 Indonesia memiliki utang warisan Hindia Belanda sebesar US$ 43 miliar, harga mahal dari sebuah pengakuan kedaulatan Indonesia. Saat itu, Presiden Soekarno menyadari betul bahwa Indonesia perlu sumber pembiayaan alternatif salah satunya utang luar negeri untuk membangun perekonomian Indonesia yang masih terpuruk akibat kolonialisme yang panjang.Â
Meski Soekarno pernah menyatakan "go to hell with your aid" terhadap Amerika Serikat yang berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik, namun Soekarno bukan anti utang. Tercatat jumlah utang pada akhir Pemerintahan Soekarno sebesar Rp 3,8 milliar untuk memenuhi pembangunan perekonomian Indonesia dan mewujudkan hasrat politik luar negerinya. Namun Pemerintahan Soekarno-Hatta sangat wasapda dan menerapkan aturan ketat terhadap setiap perundingan peminjaman utang luar negeri. Hatta misalnya, menetapkan syarat-syarat: Negara pengutang tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri Indonesia, bunga tidak boleh lebih dari 3 - 3,5% per tahun, dan jangka waktu pembayaran utang yang lama.Â
Dan ketika pada rezim Soeharto, utang Indonesia semakin menumpuk dan akibat salah pengelolaan utang luar negeri menjadi penyebab utama Indonesia jatuh dalam krisis moneter 1997. Pasca reformasi hingga sekarang, utang Indonesia pun tidak berkurang, malah semakin meningkat. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia pada tahun ini sebesar US$ 323 miliar (Rp 4.199 triliun), utang pemerintah US$ 159,7 miliar dan utang swasta sebesar 163,3 miliar.Â
Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia menarik utang baru sebesar 492,8 Trilyun, sedangkan tahun 2015 naik menjadiRp 607,2 trilyun. Di saat yang bersamaan, pembayaran bunga utang terus meningkat, pada tahun 2015 misalnya, beban bunga hutang Rp 156 Triliun, dan tahun 2016 pembayaran beban utang menjadi Rp 189 triliun (Kompas, 29 Oktober 2016).Â
Sungguh sebenarnya hal yang luar biasa, namun sudah dianggap biasa. Meski Menkeu Sri Mulyani mengatakan jika kemampuan pemerintah menjaga rasio utang terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) masih sehat, namun tak salah jika Pemerintah harus hati-hati. Pemerintah harus selalu lebih hati-hati dan belajar dari pengalaman masa lalu agar pengalaman di masa lalu (krisis moneter 1997-1998) jangan sampai lagi terulang. Jadi utang kita yang menumpuk (Rp 4.199 triliun) yang ada saat ini bukan kesalahan mutlak rezim saat ini, namun merupakan tumpukan-tumpukan utang yang telah dilakukan sejak rezim-rezim sebelumnya.
Kondisi Utang Luar Negeri Saat Ini
Jumlah utang luar negeri Indonesia pada awal November 2017 bertambah US$ 5,5 miliar menjadi US$ 347,29 miliar setara Rp 4.618,9 triliun, dengan kurs Rp 13.300 per dolar Amerika Serikat. Jumlah tersebut terdiri atas utang pemerintah senilai US$ US$ 176,63 miliar atau Rp 2.349,2 triliun dan utang swasta US$ 170,65 miliar atau Rp 2.269,7 triliun. Rasio utang jangka pendek pemerintah berdasarkan jangka waktu asal terhadap total utang sebesar 13,86 persen. Sementara rasio utang jangka pendek berdasarkan jangka waktu asal terhadap cadangan devisa mencapai 36,93%. Sedangkan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 32%.
Untuk utang luar negeri swasta, sebanyak US$ 29,58 miliar merupakan pendanaan bagi perbankan dan US$ 141,07 miliar merupakan pendanaan untuk non bank. Berdasarkan penggunaannya, utang luar negeri swasta terdiri atas US$ 55,37 miliar untuk modal kerja, US$ 52,17 miliar untuk investasi, sebanyak US$ 20,45 miliar untuk refinancing, dan US$ 24,78 miliar untuk penggunaan lainnya.Â
Utang luar negeri Indonesia pada akhir Desember 2017 mencapai US$ 352,247 miliar atau setara Rp 4.772,24 triliun dengan kurs Rp 13.548/ US Dollar. Jumlah tersebut tumbuh sekitar 10% dibanding tahun sebelumnya. Meskipun mengalami kenaikan, rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sekitar 33% dan jauh di bawah rasio utang pada 2005 yang mencapai 46%. Jadi, utang Indonesia relatif masih terkendali dan di bawah rasio utang luar negeri beberapa negara maju dan negara anggota ASEAN lainnya. Meski begitu, rasio utang Indonesia mengalami tren kenaikan sejak 2012-2015 kemudian sedikit turun pada 2016.
Berdasarkan data Bank Dunia, rasio utang Indonesia masih lebih rendah dibanding negara besar lainnya seperti Jepang sebesar 74% terhadap PDB, Jerman (147%), dan Amerika Serikat (109%). Walaupn rasio utang luar negeri Indonesia mencapai 34% terhadap PDB, yang harus diperhatikan adalah penggunaan utang tersebut haruslah tepat sasaran, yakni pembangunan yang dapat memacu daya ungkit pertumbuhan ekonomi. Selain itu, perhitungannya harus cermat agar tidak menjadi bom waktu di masa yang akan datang. Sebagai informasi, PDB Indonesia akhir tahun 2017 sebesar Rp 13.589 triliun setara US$ 1 triliun.
Belajar dari Sejarah
Harus diakui, walaupun saat ini Indonesia masuk ke dalam One Trilliun Dollars Club (sebutan untuk negara-negara yang PDBnya mencapai USD 1 Triliun per tahun), sekarang ini kita masih sangat tergantung pada utang luar negeri, dari tahun ke tahun jumlah utang luar negeri kita semakin meningkat.Â
Begitu juga dengan beban bunga utang yang kita bayar juga semakin meningkat, sebagian dari utang yang kita peroleh kita bayarkan untuk membayar bunga utang tidaklah terbantahkan, seperti sebuah lirik lagu pepatah gali lobang lobang, pinjam uang bayar utang, cocok untuk menggambarkan kondisi utang luar negeri kita. Dan sebagian lagi utang digunakan untuk membiayai pembangunan berbagai sektor di Indonesia, seperti kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, mengungkapkan pembangunan sejumlah sektor di Indonesia masih bergantung pada bantuan modal utang luar negeri (Tempo, 24 Oktober 2016). Jika dilihat sekilas, kondisi ini seperti sudah menjadi kecanduan bagi pemerintah kita untuk ngutang.Â
Kemudian apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi sekarang, terutama agar tidak kecanduan ngutang. Yang pertama kita lakukan adalah intropeksi diri. Belajar dari sejarah, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan utang luar negeri kita menumpuk dan menjadi beban bagi perekonomian Indonesia yaitu: kesalahan pengelolaan, korupsi, bunga terlalu tinggi, dan agenda agenda terselubung dari pemberi utang.
Pertama, kesalahan pengelolaan. Krisis moneter 1997 adalah bukti salah pengelolaan yang pernah dilakukan oleh elit negeri ini, terutama pada rezim orde baru yang melakukan pinjaman uang tanpa memperdulikan kemampuan untuk membayar utang dalam jangka panjang. Kedua, korupsi. Tidak bisa disangkal lagi, masalah utang yang mengemuka seiring dengan krisis ekonomi Indonesia berakar dari maraknya korupsi dan praktek nepotisme sepanjang kekuasaan rezim Orde Baru dibawah Soeharto. Selama 32 tahun, sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh lingkaran elit birokrasi dan bisnis yang menggunakan praktek korupsi dan koneksi politik guna menggerogoti kekayaan Negara. Dan hal ini masih bisa saja terjadi hingga hari ini.Â
Ketiga, bunga yang terlalu tinggi. Bila pada pemerintahan Soekarno-Hatta mensyaratkan bunga tidak lebih dari 3,5%, maka sejak rezim Soeharto hingga sekarang, Pemerintah terlalu lunak untuk menerima bantuan utang luar negeri dengan pinjaman yang tinggi. Entah berapa bunga dari setiap utang yang diterima Pemerintah Indonesia, namun bila dilihat dari beban bunga yang harus dibayar tahun ini (Rp 189 Triliun) dibanding dengan jumlah total utang (RP 4.199 triliun) maka kurang lebih 4,5%, jumlah yang cukup besar. Keempat, adanya agenda-agenda terselubung. Biasanya banyak agenda terselubung dari utang yang diberikan Kreditur kepada pemerintah kita, yang kadang kerap kali merugikan Negara. Salah satunya adalah ketika kita terpaksa menerima bantuan IMF dengan LOI (Letter of Intent) yang dipersyaratkan yang katanya untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis moneter.Â
Seperti yang pernah diungkapkan mantan Menteri Ekonomi, Kwik Kian Gie (2004), LOI yang disetujui Pemerintah Indonesia memaksa kita untuk melakukan 327 dalam bidang restrukturisasi perbankan yang dipaksakan, 114 dalam bidang restrukturisasi utang perbankan, 41 dalam bidang desentralisasi, 44 dalam bidang lingkungan hidup, 168 dalam bidang fiskal, 82 dalam bidang perdagangan luar negeri, 59 deregulasi dan perbankan, 131 dalam bidang pinjaman dan pemulihan asset, 105 dalam kebijakan moneter dan Bank Sentral, 26 lain-lain, dan 120 dalam bidang privatisasi BUMN.
Salah satu contoh teranyar yang sangat bermanfaat bagi Indonesia adalah krisis Yunani. Kasus Yunani mengingatkan kita tentang beban utang yang tidak dikelola dengan benar akan menjadi sumber kejatuhan sebuah negara. Masalah ini memang terkait juga dengan politik dan pengelolaan kinerja pemerintahan. Indonesia telah mengalami hal serupa terkait krisis keuangan pada 1997 dan diingatkan bahwa masalah serupa tampaknya belum sepenuhnya bisa dibersihkan. Belakangan ini, bahkan menunjukkan ada kecenderungan meningkat, terutama dengan menurunnya nilai rupiah hingga posisi tertinggi sebelum krisis itu.
Namun demikian, kita juga harus melihat bahwa kegagalan pengelolaan utang sebuah negara akan merusak aspek kehidupan secara luas. Hal itu umumnya dipicu oleh kejatuhan ekonomi atau kegagalan mengelola politik. Hiruk-pikuk politik di Indonesia dan situasi rupiah bisa menjadi gabungan faktor yang mengarah pada situasi yang berat. Dalam dekade kedua abad ke-21 ini kita menyaksikan banyak negara jatuh dan gagal karena dipicu oleh politik yang kacau, seperti di Afrika dan Timur Tengah, dan kejatuhan ekonomi di Yunani. Hal ini harus menjadi pelajaran penting bagi Indonesia.
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dan mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri mulai dipertanyakan dan tampaknya akan sulit terjadi. Meskipun pemerintah berdalih bahwa rasio utang terhadap PDB cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, nyatanya argumentasi itu kurang tepat.Â
Kita tahu bahwa PDB pada hakikatnya merupakan total output produksi yang dihasilkan di dalam negeri, terlepas dari siapa yang memproduksi output tersebut (swasta asing atau swasta pribumi). Jika ternyata output perekonomian didominasi oleh swasta asing, tentu argumentasi dengan membandingkan jumlah utang luar negeri terhadap PDB menjadi kurang relevan. Seharusnya, pemerintah menggunakan rasio utang luar negeri terhadap PNB/Produk Nasional Bruto (akumulasi output perekonomian yang dihasilkan oleh swasta pribumi, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri).
Penggunaan utang luar negeri sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan selama digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif. Jika berhasil, output perekonomian akan meningkat dan pertumbuhan ekonomi akan naik. Naiknya angka pertumbuhan merupakan salah satu faktor (selain stok cadangan devisa dan pengembangan alokasi APBN) yang menjadi pertimbangan dalam pemberian peringkat utang oleh lembaga-lembaga internasional pemeringkat kredit dunia. Jika suatu negara dikategorikan sebagai investment grade, tentu itu akan berdampak baik bagi perekonomian domestik.Â
Status investment grade ini akan menekan biaya penerbitan obligasi negara yang diterbitkan oleh pemerintah atau swasta domestik karena dianggap memiliki resiko gagal bayar yang rendah. Akibatnya, banyak investor asing akan tertarik untuk menanamkan modalnya di dalam negeri, sehingga ruang untuk melakukan ekspansi dalam perekonomian pun semakin lebar.
Akan tetapi, utang luar negeri juga bisa menjadi bumerang bagi republik ini. Alih-alih digunakan untuk sektor-sektor yang produktif, penggunaan utang luar negeri yang tidak tepat sasaran akan menyebabkan permasalahan serius di kemudian hari. Kasus yang paling banyak terjadi antara lain penyalahgunaan pinjaman dan lemahnya pengawasan proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri membuat praktik-praktik korupsi di pemerintahan menjadi sangat subur. Oleh karena itu, justifikasi terhadap penggunaan utang luar negeri yang semakin bertambah tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi di atas. Jika tidak, yang terjadi adalah dept trap yang tidak berkesudahan dimana negara pengutang kesulitan membayar bunga dan pokok cicilan.
Sebenarnya, peringatan agar selalu waspada terhadap utang luar negeri yang diberikan oleh pihak asing sudah banyak dilakukan oleh para ekonom dan sarjana-sarjana di Indonesia. Akan tetapi, kita harus selalu mengingatkan kembali agar Pemerintah Indonesia saat ini harus belajar dari pengalaman sejarah agar tidak kembali terpuruk dalam kriris ekonomi lagi dengan melihat sejarah pengelolaan utang luar negeri. Pemerintah harus tegas dan bertekad untuk mengakhiri kecanduan terhadap utang luar negeri. Semoga!
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H